Dinka merangkak ke pintu saking takutnya melihat benda pusaka Abid yang mengerikan itu.
Takut kalau Abid sungguh meminta pertanggung jawabannya, sebab telah menyembuhkan penyakit kejantanan yang dideritanya.
"Elus lagi, Din ... biar makin keras dan besar! Ini belum mengembang maksimal!" Abid terkekeh. Meski masih sakit, dia menahan diri untuk tetap menggoda Dinka.
Mata Dinka makin melebar. Dia menjerit panik dan bergegas membuka pintu. Dia harus menyelamatkan diri. Persetan dengan denda atau apapun! Lagian kenapa sih pakai acara ganti rugi segala kalau salah satu pihak ingkar janji?
Tepat ketika pintu terbuka, Dinka melihat Bee berdiri di depan pintu.
Dinka memekik senang dan langsung memeluk Bee erat untuk beberapa saat. Jalan pikiran Dinka berputar, lantas dia melepaskan diri dari Bee. Ditatapnya lekat wajah Bee yang datar dan malas, kemudian dia berkata dengan senyum ceria.
"Bee mau tidur sama Uncle Papa? Boleh ... silakan tidur sama Uncle Papa, biar Tante tidur sama Honey dan Embak pengasuh, ya! Sana-sana, bobok sama Papa kamu!" Dinka sedikit mendorong tubuh Bee agar segera masuk ke kamar.
Abid kaget melihat Bee yang masuk dengan dorongan dari Dinka. "Bee?!"
Mendengar suara Abid, Dinka mendorong Bee makin keras, dan dia langsung melesat pergi.
Abid menyongsong Bee, "kenapa nyusul Papa?"
"Oma yang nyuruh," jawab Bee malas.
Abid menghela napas lalu berjongkok di depan Bee. Dielusnya kepala Bee pelan. "Bee minta maaf sama Tante Dinka, ya. Gimana pun, Tante Dinka sekarang adalah istrinya Papa, yang artinya Mamanya Bee dan Honey."
Bee menaikkan wajah, menatap Abid dengan sorot mata penuh protes. "Bee nggak suka sama dia! Dia itu jahat!"
"Kok Bee ngomong gitu? Tante baik loh orangnya, mau nerima Papa yang masih sakit, mau urus Papa dan kalian berdua." Abid mengatakan itu lembut. Bee tidak bisa dikasari, walau kadang memang menyebalkan dan bikin emosi naik.
"Pokoknya Bee cuma mau Tante Olla yang jadi mamanya Bee! Bee nggak mau Tante itu!" Bee mendengus seraya membuang muka. "Bee ngambek sampai Uncle Papa balikan sama Tante Olla."
"Bee, Papa nggak akan balik sama Tante Olla sampai kapanpun. Bee tau itu, kan? Apalagi udah ada Tante Dinka sekarang."
Bee malah bersedekap dan memutar badan. Bibirnya manyun dan matanya penuh dendam. "Kalau gitu, jangan salahkan Bee kalau Bee masih nakal!"
Abis menarik napas panjang seraya berdiri. Bee memang begitu, dan dia tidak bisa memaksa anak kecil agar mengerti bagaimana dunia orang dewasa bekerja.
"Ya udah, kalau nggak mau jadi anak baik. Papa nggak bisa maksa Bee. Tapi Bee harus tau, baik buruknya seseorang itu akan dipertanggungjawabkan sendiri. Tante Dinka dibenci Bee juga nggak akan bikin Tante Dinka rugi, malah pahala kesabaran Tante Dinka yang bertambah. Anak nakal pahalanya berkurang, dosanya nambah. Ih, Papa takut ah ... Papa mau jadi Papa yang baik, baik sama Tante Dinka biar pahalanya makin banyak. Nanti Papa bisa masuk surga." Abid berkata seraya berjalan menuju ranjang. Dia merebah dan berpura-pura memejamkan mata.
Bee mendengus kesal, kemudian dia memilih duduk di sofa, menatap Papanya yang sudah tidur. "Pokoknya Bee akan bikin Tante itu nggak betah tinggal sama Uncle Papa!"
Abid mendengar itu dan menggulingkan badan membelakangi Bee.
Dia tahu hidupnya tidak akan tenang setelah ini. Astaga ....
***
Sementara di restoran hotel, Dinka bertemu Paman Abid yang baru datang. Dia melihatnya tadi di acara, tetapi tidak sempat ngobrol panjang.
Keluarga besar Abid sebagian besar tahu kondisi Abid yang seperti itu, jadi mereka dengan hati yang lega menerima kehadiran Dinka.
Mereka mengucapkan terimakasih kepada Dinka sebab telah menyelamatkan muka keluarga besar mereka.
"Dinka, Papa pulang dulu." Akhirnya Rendi memilih pamit. Bukan tanpa sebab, karena Desy terus saja menekuk wajah menahan kesal. Dipikirnya, anaknya ini apa? Tameng? Benteng? Dipuja karena jadi tumbal buat apa?
Bahkan di mata Desy, Dinka mirip seekor kerbau yang diarak ke kawah gunung berapi diiringi tari-tarian, nyanyi-nyanyian penuh suka cita. Dinka tidak tahu kalau dibalik sanjung puji—juga hadiah-hadiah besar, yang diterimanya itu hanya akan membawanya pada kehancuran.
Dinka mengangguk dan menyalami Papanya. "Hati-hati dijalan, ya, Pa."
"Jaga diri baik-baik, ya, Din. Papa selalu berdoa agar kehidupan pernikahan kamu bahagia, langgeng sampai ke surga." Rendi merasakan hatinya teriris. Kini dia baru mempercayai kalau Dinka akan dilepasnya untuk berkeluarga. Sayang caranya agak berbeda dan unik, juga aneh.
Rendi sebenarnya ingin mendoakan agar anaknya segera diberi keturunan, tetapi ucapan Desy seminggu lalu, membuat dirinya urung mengucapkan itu.
Desy lain lagi, dia tidak berkata apa-apa, bahkan ketika Dinka mengantarnya ke lift, Desy malah mengusirnya.
"Mama tau jalan pulang, nggak usah diantar!"
"Tapi cium tangan dulu." Dinka merangkul manja lengan mamanya.
Desy terpaksa mengulurkan tangannya. Tetapi Dinka justru memeluk Desy.
"Mama nggak doain aku? Dari tadi Mama marah terus ke aku. Kan aku udah nurutin kemauan Mama—"
"Mama doakan kamu cepat hamil dan punya anak sepuluh!" Desy menukas. Dilepaskannya pelukan itu, dan dia mendapati Dinka pura-pura kesal.
"Doa kalau diucapkan sambil marah nggak akan terkabul, Ma."
"Siapa bilang, Mama doa tiap malam. Sambil nangis, sambil bersujud. Kapok kamu!" Desy langsung masuk ke dalam lift.
"Ma ... kok Mama gitu!" Dinka tadi berniat bercanda. Ya, walau bagaimanapun, semua memperlakukannya dengan baik, kan? Kenapa mamanya malah kesal? Apa Mama Desy mau Dinka diperlakukan nggak baik oleh keluarga suaminya? Ini langkah awal yang bagus, kan?
"Hanya itu yang mama mau dari pernikahan kamu, Din! Mama nggak butuh yang lain, jadi usahakan dengan baik."
Begitu selesai berkata, Desy langsung menarik Rendi dan menutup pintu lift, membiarkan Dinka jengkel sendiri.
"Ma, ganti doanya, ya! Nanti malam doakan Dinka kaya! Banyak anak buat apa kalau nggak kaya!" Dinka tertawa akhirnya setelah sempat khawatir.
"Nggak semua doa ibu terkabul, kan? Dulu pernah disumpahi nggak ada yang mau, eh sekarang udah nikah aja! Ini bisa jadi nggak terkabul juga." Dinka memutar badan seraya bersiul.
"Siapa bilang? Doa Mamamu, aku yang akan mewujudkan!"
"Astaga Tuhan!" Dinka kembali berjingkat mundur dengan mata membeliak lebar. Dipegangi dadanya dengan kedua tangan, seakan takut jantungnya melompat keluar.
Abid bersedekap, memandang Dinka dengan senyum liciknya. "Ingat, nggak ada penolakan untuk se ks!"
Napas Dinka sejenak terhenti mendengar itu. Kepalanya menggeleng. Matanya perlahan turun ke bawah perut dimana benda tadi bersemayam. Kemudian naik lagi ke atas, dan bertemu wajah Abid yang penuh aura jahat.
Dinka menggeleng seraya mundur.
"Kamu nggak bisa pergi lagi, Dinka!"
*
*
*
*
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
'Nchie
hayo Lo Dinka anak 10 hahaha
2024-01-10
1
🌹🪴eiv🪴🌹
ha ha ha ha ha ha
aamiin ma , ntar dapat cucu 10
2023-05-20
2
UTIEE
Aamiin...
doa orang tua biasanya manjur
2023-05-20
0