"Apa?!"
Dinka nyaris terjengkang ketika Papa, Darren, Jen, bahkan Ace berteriak bersamaan usai dia mengatakan akan menikah dengan anak dari pelanggan mamanya yang nyaris dicancel.
Gadis yang tak lagi muda itu mengusap dada. Ace juga. Anak itu kaget karena teriakan orang tuanya.
"Ya Allah, kalian kenapa sih?" Dinka menyapukan pandangan heran ke arah mereka. Harusnya, kejujurannya kali ini diapresiasi, kan? Tau gini mending nggak usah jujur, nggak usah kasih tau, tau-tau nanti pas jelang akad, baru kasih tau mereka. Biar nggak ada keributan kaya gini.
Desy sedari tadi diam, menatap seluruh anggota keluarganya yang syok berat karena ulah Dinka. Dia sudah lebih dulu jantungan seharian kemarin, bolak-balik bangun pas tidur, berharap ucapan Dinka hanya candaan absurd anak ingusan itu, berharap semua hanya mimpi buruk saking inginnya melihat Dinka menikah. Tetapi, Resti memberi tahu kalau mereka berdua ketemuan, dan sepakat menikah—begitu kata Abid sore ini, 7 hari mendatang di hari yang telah dipersiapkan. Tak ada cancel apapun, dan Resti akan melunasi seluruh biaya, tanpa sepeser pun memungut dari Desy dan keluarga.
Wanita itu menenggak air putih entah ke berapa gelas, sampai perutnya terasa penuh.
"Kamu yang kenapa Dinka!" Darren menatap adiknya penuh amarah. "Tau artinya jadi pengganti?"
"Kamu juga pengganti, kan? Kamu juga nikah karena salah paham!" balas Dinka cuek.
Jen semula ingin ikut ngomeli adik iparnya itu, tapi jawaban Dinka benar adanya. Jadi dia mundur lagi dan membuang muka.
"Ya, tapi aku kenal sama Jen, nggak kaya kamu yang nggak tau apa-apa soal calon suamimu!" Darren kukuh tidak setuju.
"Siapa bilang? Kami udah kenalan tadi, dan sudah deal, kok."
Secuek itu Dinka ini. Keras kepala dan ngeyel. Siapapun yang berdebat dengan Dinka sudah dipastikan akan kalah.
Darren frustrasi, sampai mengusap wajahnya kasar. "Dinka ... nikah bukan soal deal or not! Ini soal hidup kamu selamanya sama suami kamu! Ini disaksikan Allah, lo, Dek."
"Ya, makanya aku nggak akan main-main. Aku serius," jawab Dinka bersikukuh seraya menatap sang Papa.
"Papa harus setuju sama Dinka, atau Dinka nggak mau nikah seumur hidup."
Rendi menoleh. Melihat putrinya berapi-api, Rendi hanya bisa menghela napas. "Kakak kamu benar, jadi kamu harus berpikir ribuan kali, Dinka! Kamu harus bertanggung jawab atas apa yang kamu putuskan—"
"Ini udah tanggung jawab, Pa! Kalau enggak, aku udah ajak nikah si Abid, tanpa bicara sama kalian."
Dinka kerasukan apa sebenarnya?
"Dia—"
"Dia dokter di rumah sakit Om Harris, mandiri, punya dua anak. Aku mandiri secara finansial dan sayang anak-anak. Kami punya pandangan hidup yang sama, siap berkomitmen, saling menerima keadaan satu sama lain, dan kami seiman. Itu cukup untuk aku memilih dia sebagai calon suami." Dinka berorasi tepat di depan hidung pria yang membesarkannya. Yang punya pengalaman jauh lebih banyak dari siapapun di rumah ini.
"Cinta?" Darren bertanya. Bocah biasanya memuja cinta sebagai pondasi utama hubungan. No cinta no relationship. "Kamu yakin bisa cinta sama dia suatu saat nanti?"
"Bagiku cinta nomer sekian, selama dia mau diajak komit dan kerja sama!"
Dinka sudah memutuskan. Keputusan diskusi ini tidak akan mengubah apapun. Jadi wanita itu berdiri. "Nggak ada alasan Papa nggak kasih restu ke kami, dia baik ...."
"Dia harus ketemu Papa." Rendi menyela.
"Suka atau tidak, Papa harus merestui. Ini satu-satunya kesempatan jika kalian ingin melihat aku menikah!"
Dinka pergi begitu saja meninggalkan meja sidang yang berlangsung di ruang tengah. Sikap yang aneh ini membuat semuanya tidak bisa untuk tidak curiga. Setan apa yang merasuki Dinka?
Pikirkan betapa dingin dan cuek anak itu pada pria manapun. Dia hanya pergi ke kandang kucing dan menyebut salah satu dari mereka Ayang. Hanya Dinka yang tidak kenal pria tampan. Tidak suka pada pria manapun di dunia.
"Ma—"
"Jangan suruh Mama buat bikin Dinka mengubah keputusan, Mama sudah lelah! Bisa-bisa Mama mati berdiri hadapi anak itu, Pa." Desy meneguk lagi gelas yang isinya tinggal setengah. Tatapan wanita itu kosong. "Mama nggak sanggup kalau berdebat sama anak keras kepala itu!"
"Jadi Mama setuju?" Rendi menghela napas.
"Kecuali kalau Papa mau Dinka nggak nikah ya, silakan Papa nggak restui. Tapi kalau Papa setujui, siap-siap kalau suatu saat mereka akan bercerai dan jadi janda." Desy berdiri. Melangkah meninggalkan mereka semua dengan langkah terseok. Desy sedang sangat marah, tapi tidak bisa meluapkan. Dia sedih, tapi dia tidak bisa menangis.
"Lebih baik jadi janda, kan? Setidaknya pernah nikah, walau gagal! Daripada dicap perempuan nggak laku, yang masih perawan sampai mati." Dinka muncul entah dari mana. Tangannya membawa botol waferware model terbaru.
Darren sekarang pusing sepusing-pusingnya. Sial kan, saat dia harus melepas adiknya menikah, tapi dengan pilihan yang nggak ada baik-baiknya sama sekali.
"Dinka benar, sih!" Rendi bergumam tak jelas. Darren melihat betapa Papanya ini sedang senewen, hanya saking bingungnya, dia hanya bisa terpaku menatap meja. "Tapi juga salah."
"Udah, iya in aja! Aku nggak bakal merepotkan Papa! Aku bakal cari tempat tinggal sendiri andai jadi janda nanti."
Darren menaikkan pandangan ke arah Dinka yang sudah membawa botolnya yang penuh dengan air itu. Tanpa menoleh, Dinka berlalu begitu saja kembali ke kamar.
Seluruh kata yang hendak digunakan untuk menasehati Dinka lenyap entah kemana. Jika Dinka sudah sesiap itu, Darren bisa apa?
"Papa butuh obat sakit kepala." Rendi bangkit, lalu menuju kamar tanpa mengucap apapun pada cucu dan mantunya.
Mereka bertiga menatap kepergian Sang papa dalam diam.
"Ante nikah, kok kalian pada pusing? Aku malah seneng Ante ada yang mau. Apa Mami sama Papi nggak seneng karena nggak ada yang kalian suruh jaga kami pas kalian tinggal pacaran?" Ace memerhatikan sejak tadi.
"Kakek sama Nenek juga, apa kalau Ante nikah, mereka nggak punya orang lagi buat diomeli? Nggak ada yang disuruh-suruh lagi?"
"Ace!" Jen memperingati Ace, sehingga Ace langsung diam. Walau dia malu setengah mati pada ucapan anaknya. Sebagian benar, tapi juga enggak! Dia butuh Dinka buat jaga Jena sekarang, tapi mau gimana lagi? Dinka sudah memutuskan demikian.
"Ya udah sih! Biar aja nikah sama Abid! Aku yakin Abid baik, dan bisa memperlakukan Dinka selayaknya seorang istri." Jen akhirnya bersuara. Dia tahu sesuatu tentang Abid, dan Dinka tampaknya perlu bersama pria selurus Abid agar jadi wanita yang lebih peduli dan terbuka.
"Hah!" Darren membuang napas keras, menatap Jen kesal. "Kamu sama Dinka itu frekuensinya sama. Mikirnya instan, maunya cepet, nggak peduli resiko!"
"Ya emang kalau dia nggak nikah, kamu seneng? Bener kata dia nggak apa-apa janda, yang penting pernah nikah. Daripada dicap perawan nggak laku." Jen mencebik. Darren selalu begitu menilai dirinya, tapi dia tidak pernah keberatan. Kan itu benar.
"Ck, pantas aku nggak sukses-sukses, yang dukung aku bukan istri yang—"
"Sembarangan! Aku hebat, ya ... buktinya udah isi lagi ini perut!" Jen mendelik tak terima.
"Itu bukan hebat, Mi," sela Ace. "Tapi kalian kebanyakan pacaran."
Darren dan Jen balik mendelik ke arah Ace, menutup muka anak itu dengan kedua tangan mereka. Dasar Ace!
*
*
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Ayachi
Enteng bnget tuh mulut, bangga bener suatu saat nnti jdi janda😭
2024-07-28
0
ireneeee_
punya anak malah di suruh orang lain ngejagain. mending ga usah kawin. perancangan keluarga out!
2023-08-09
3
Yenny Argha
udah ky ntn film indo komedi 😂
2023-05-30
0