Apa ada yang lebih menyebalkan dari melihat kamar pengantinmu masih bertahtakan nama wanita lain?
Oke, Dinka mengerti kalau dirinya hanya pengganti dan tidak boleh merasa kesal apalagi marah atas kesalahan teknis kecil seperti ini. Tapi, segala sesuatu yang terjadi di ruang resepsi sesiangan tadi, sudah berhasil meminimalisir pertanyaan: kok pengantin wanitanya beda? Namun, coba lihat ke sini, ke ranjang yang akan ditempati mereka berdua—meski tidak akan terjadi apa–apa, ada nama Olla terpampang memenuhi permukaan kasur dan di tembok tertempel balon dengan nama yang sama. Susah ya, beli lagi balon atau kasih tau WO buat ganti nama jadi Dinka?
"Gila aja ini orang." Dinka duduk dengan gaun lebarnya yang mirip kurungan ayam. Tulisan dari kelopak bunga mawar itu disentuhnya perlahan. "Di luar aja kaya menghargai aku, nggak taunya di sini begini, haih!"
Itu mungkin hanya awal dan sesepele masalah nama. Dinka baru sadar apa arti ucapan Darren beberapa waktu lalu. Gaun pasti tidak ada yang tahu, makanan, dekorasi pelaminan, dan konsep pernikahan, semua orang pasti berpikir: tidak ada yang tidak bisa dilakukan oleh orang tua Abid, meski pengantinnya telah berganti. Tapi di kamar ini, hati Dinka tidak bisa tidak merasa kalau dia murni hanya orang lain yang secara ajaib menggantikan posisi Olla.
"Dinka ... kamu nggak boleh kesel! Ingat, hanya Abid yang bisa bikin kamu damai lahir batin seumur hidup." Dinka berkata pada dirinya sendiri, kemudian dia berdiri untuk melepas seluruh perhiasan yang melekat di badannya.
Beberapa set seserahan yang Dinka sendiri bantu membuat, teronggok di kaki ranjang, mas kawin yang dibuat oleh Mamanya bersandar di pigura besar dekat meja rias, bersebelahan dengan tas miliknya yang berisi pakaian ganti. Dinka menarik napas panjang. Pernikahan ini terasa tidak terlalu istimewa, sebab dia bukan wanita yang seharusnya menerima semua itu. Rasa menjadi pengganti benar–benar terasa saat ini.
Tapi dia tidak bisa mundur lagi. Ini bukan waktunya memikirkan hal yang sudah diketahuinya sejak awal. Dia harus yakin pernikahan ini akan bahagia. Dia harus memikirkan bagaimana membuat pernikahan ini langgeng selamanya.
"Eh ...!" Abid masuk begitu saja dan kaget bukan main saat melihat ranjang dan balon yang tergantung di tembok. Dia sudah mengatakan pada WO kalau nama pengantinnya berubah. Tapi ....
"Din, maaf—"
"Nggak apa–apa, Mas." Dinka memutar badan dengan lembut dan manis. "Jangan dipermasalahkan. Kita harus siap–siap buat makan malam sama keluarga kita."
Abid mana bisa tidak curiga jika wanita itu manis begini. Tapi dia juga tidak mau membahas lebih jauh. Tidak apa–apa artinya ya, sudah ... nggak perlu diomongin lagi. Selesai di sini soal ini.
Abid langsung masuk ke kamar mandi, dengan pikiran masih tertuju pada nama itu. Siapa yang menggantinya?
Dinka hanya mengendik. Lagian mereka siapa, kalau mau saling peduli atau mengucapkan kata–kata yang hangat?
***
Setengah jam kemudian, Dinka turun dari kamar ke restoran hotel, dimana kedua keluarga melangsungkan makan malam. Abid jelas tidak menunggunya, untuk apa? Biar terlihat akur? Ayolah, semua orang tahu bagaimana hubungan mereka saat ini. Sebatas pengganti yang sesungguhnya.
"Mbak nekat juga?"
Dinka kaget mendengar suara Olla dari arah belakangnya. Langkah wanita itu terdengar mendekat, hingga Dinka terpaksa menoleh.
"Apa sih, Mbak?" Dinka agak risih dengan tatapan Olla. "Nggak ada yang menghentikan aku juga, kan? Jadi apa masalahnya? Masih nggak rela?"
Olla bersedekap. Pakaian formal masih melekat di badan wanita itu, tampak sekali kalau dia datang tergesa-gesa usai bekerja. "Abid impoten, Mbak Dinka."
"Ya terus, masalahnya apa? Urusannya sama Mbak Olla apa?" Dinka kali ini tidak bisa menyembunyikan tawa meremehkan dari mulutnya. Kelihatan sekali, sih, Mbak Olla ini! Kelihatan kalau nggak rela posisinya diganti wanita lain.
"Mbak tau kan, alasan aku putus sama dia bukan karena Bee atau Honey?" Olla berusaha menjelaskan apa yang tidak bisa disampaikannya kemarin di hadapan Abid.
"Saya tau sekali, Mbak ... saya sudah dengar dari Mama Resti langsung." Dinka memasang gesture santai dan tidak peduli. "Terus apa? Mau nyuruh aku mundur juga?"
Olla mengerutkan kening. Jujur saja dia tidak percaya kalau cinta tulus dan menerima apa adanya itu ada, semua itu hanya ada di dongeng karangan Disney belaka. Oh, ayolah ... mempesona di luar saja tidak cukup. Abid baik, tampan, keren, mapan, shaleh, tapi barang miliknya tidak berfungsi. Jadi bagaimana dia akan bahagia, punya anak dan langgeng?
"Di bayar berapa sama Abid, kamu?" Olla to the point menuduh. "Nggak mungkin kalau kamu tulus sama dia, Mbak Dinka! Abid pasti bayar kamu untuk menyelamatkan muka."
Dinka tertawa. "Ya Allah, Mbak ... apa muka saya ini muka kekurangan uang? Saya meski nggak sekaya Embak, tapi saya punya usaha. Saya hanya butuh suami, Mbak ... yang akan menuntun jalan saya ke surga. Saya nikah bukan cuma untuk memuaskan nafsù saja, bukan untuk mendapatkan keturunan semata, tetapi saya menyempurnakan ibadah saya."
Ya elah, Din ... ceramah ustazah siapa yang kamu copy itu?
"Inshaa Allah, Mbak ... saya nikah cari berkah. Andai Mas Abid sakit, akan saya dukung pengobatannya. Kami akan berusaha bersama–sama, Mbak ... bukan malah ditinggal pergi begitu saja."
Olla memalingkan wajahnya dengan perasaan jengkel. Dia merasa digurui oleh gadis kecil ingusan yang tidak tahu apa–apa. "Aku nggak butuh ceramah kamu, ya—"
"Sama kaya aku juga nggak butuh pemberitahuan nggak penting itu dari Mbak Olla. Yang datang kemari kan Mbak Olla, yang cari perkara kan bukan saya!" balas Dinka dengan gaya santainya. "Yang niat banget bikin saya mundur kan Mbak Olla, saya hanya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi."
Olla berdecih. "Tunggu aja sampai kamu tertampar sendiri sama ucapanmu yang sok ini! Kita lihat sejauh apa kamu bertahan dengan omongan sok agamis mu itu!"
"Baik ... saya nggak takut, Mbak!" Dinka bersedekap seraya menaikan wajah membalas tatapan Olla yang penuh kekesalan.
Olla membuang muka usai beradu pandang penuh permusuhan dengan Dinka. Wanita itu melangkah cepat meninggalkan Dinka.
"Aya–aya wae nih dedemit satu!" Dinka bergegas menuju restoran dimana dia sudah ditunggu sama kelaurga besarnya.
Bee masih dengan wajah tidak sukanya menatap Dinka, walau begitu dia pasrah saja ketika dia harus duduk bersebelahan dengan Dinka, bahkan dia tidak keberatan dengan usapan juga senyum manis wanita itu.
"Ah, Sayang ... ayo segera makan!" Resti langsung menyilakan Dinka makan tanpa bertanya dari mana atau kenapa terlambat. Berbeda dengan sang Mama yang sudah siap menyemburkan api kemarahan padanya.
"Makasih, Ma ...." Dinka sudah kelaparan, jadi dia langsung mengambil menu pembuka dan melahapnya cepat, tetapi masih dalam batas kesopanan yang wajar.
Namun, Dinka menghentikan suapan saat dirasa mulutnya terasa panas hingga ke hidung. Rasa pedas dan tajam itu membuat Dinka memejamkan mata, wajahnya merah padam. Tangannya menggapai gelas, namun benda yang tadi berada di sekitar piringnya itu lenyap mendadak.
Dinka terbatuk-batuk, merasakan seluruh wajahnya terbakar. "Sial, siapa yang naruh wasabi di supku!" batin Dinka.
"Ya Allah, Dinka ... kamu kenapa?" Mama Resti langsung menyodorkan gelas berisi air, lantas berteriak menghardik Bee.
"Bee, apa yang kamu lakukan pada Mama Dinka?!"
*
*
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Daniah Andini
abee yang agak2, kalo honey anaknya menyenangkan kayaknya
2024-10-29
0
'Nchie
siap2 Dinka anak2 Abid luar biasa 😄
2024-01-10
0
Yenny Argha
😂🤣
2023-05-30
1