Selamat Membaca💫💫💫💫💫💫💫💫💫
Aku berjalan keluar dari rumah mertuaku dengan air mata yang berlimpah ruah. Aku menangis hingga sesak nafas bahkan beberapa kali ku pukul dadaku menghilangkan segala sesak yang tersesat disana.
"Hiks hiks hiks." Dadaku naik turun seolah hendak meledak.
Berjalan keluar pagar. Hujan turun dengan deras membasahi tubuhku yang hanya ku balut dengan sweater rajut. Aku menangis dibawah guyuran hujan sambil berjalan dengan langkah tertatih sambil memeluk kedua lenganku.
"Hiks hiks hiks."
Hujan, apakah dia ikut menangis bersamaku? Apakah dia hendak menemani segala kegundahan dan patah hati yang membuat jantungku remuk redam? Setiap tetes butiran hujan yang menjatuhi kulitku seolah menandakan dia lebih terluka parah dari pada aku. Tidakkah dia tahu bahwa akulah yang paling patah.
Suamiku, cinta pertamaku. Lelaki yang selalu aku banggakan dalam setiap ceritaku ternyata adalah laki-laki yang menghempaskan tubuhku dengan kasar hingga hancur berkeping-keping.
"Kenapa kamu tega sama aku Mas. Kenapa kamu tega Mas?" Aku berteriak dibawah guyuran hujan
"Tuhan aku ingin mati saja." Teriak ku tak peduli seperti orang gila.
Aku tidak punya siapa-siapa. Tidak punya saudara dan orangtua. Orangtua yang kumiliki satu-satunya hanya Ibu. Tapi Ibu tinggal sangat jauh mengikut suaminya dikampung, sedangkan aku menetap tinggal bersama suamiku di Pontianak setelah menikah.
Aku anak haram, tidak ada Kakak atau adik yang menjadi sandaran dan tempat ku mengadu. Bahkan aku tidak tahu Ayah ku dimana. Seperti apa wajahnya. Aku sendirian. Aku hidup dalam kesepian.
Orang yang satu-satunya kumiliki adalah suamiku, Mas Reza. Tapi lihatlah, justru dia pun meninggalkan aku sendirian. Apa aku benar-benar tak boleh bahagia? Apa hidupku memang hanya untuk menderita. Aku, aku ingin pergi. Aku, aku lelah. Aku, aku ingin menyerah.
Tin tin tin tin tin tin
Aku terkejut ketika mendengar suara klakson mobil dari arah berlawanan. Walaupun aku ingin mati tapi sesungguhnya aku belum siap mati. Aku belum siap bertemu Tuhan aku malu dengan diriku yang sekarang.
"Aaaaaaaaaaaaaaaaaa."
Aku sudah pasrah, ku pastikan jika mobil itu menghantam tubuhku pasti tubuhku akan hancur lebur bahkan mungkin takkan berbentuk.
Aku menutup wajahku dengan tangan. Apalagi pancaran lampu mobil menerangi wajahku dengan jelas. Mungkin setiap orang yang menghadapi kematian akan takut luar biasa namun aku justru pasrah. Jika saatnya aku pergi mungkin ini adalah akhir dari segala penderitaan ku selama ini. Mungkin Tuhan sudah kasihan melihatku yang setiap hari bermandikan air mata. Mungkin saatnya aku menghilang dan pergi serta melepaskan Mas Reza untuk kebahagiaan nya bersama wanita lain.
Namun kenapa mobil itu tak menghantam tubuhku. Aku masih dalam posisi berdiri dengan tangan yang menutup wajah. Nyatanya aku hanyalah manusia biasa yang takut pada kematian.
"Kamu baik-baik aja?" Aku melihat kaki seseorang yang berjalan dengan tergesa-gesa sambil membawa payung berwarna hitam melalui sela-sela jari tanganku.
"Kamu baik-baik aja kan?" Tanya suara itu sekali lagi, terdengar panik dan khawatir.
Aku membuka wajahku. Apakah aku sudah mati dan mungkin saja orang yang bertanya ini adalah malaikat maut yang hendak membawaku meninggalkan badanku?
"Senja."
Aku mengangkat kepalaku dan melihat orang yang memanggil namaku.
"Mas Langit." Lirihku.
"Senja kamu baik-baik aja kan?" Dia langsung memayungi ku "Apa yang kamu lakukan disini kenapa hujan-hujanan?" Tanyanya. Kenapa wajah nya panik.
Aku hanya menggeleng. Sebenarnya aku malu karena mataku pasti bengkak. Kali ini aku benar-benar rapuh secara fisik dan batin.
"Ayo masuk kedalam mobil." Mas langit merangkul bahu ku dan memapahku masuk kedalam mobilnya.
Dia membuka pintu mobil agar aku bisa. Kenapa aku sangat nyaman saat pria ini perhatian padaku? Rasa perhatian yang tak pernah aku dapatkan dari suamiku sendiri.
Lalu dia mengitari mobil dan masuk. Tak lupa dia menutup payung dan menyimpan payung itu dibangku belakang.
Dia membuka jas putih yang membungkus tubuhnya. Seperti nya benar jika Mas Langit adalah seorang dokter.
"Kamu pake ini ya? Kamu pasti kedinginan!" Dia memasang kan jas berwarna putih itu ke tubuhku.
Aku mengangguk dan menurut karena jujur saja seluruh tenagaku serasa habis. Dinginnya air hujan itu meresap sampai ketulang-tulang. Tidak hanya itu, wajahku pucat fasih tanpa sadar dan bibirku tak berasa apapun seolah mati rasa.
"Tahan ya?" Dia menyalakan mobilnya
"M-mas." Lirihku.
Pandangan ku mulai kabur. Seperti nya tidak hanya hatiku yang lelah tapi juga jiwa dan perasaan ku.
Brakkkkkkkkkkk
"SENJA."
.
.
.
.
Aku merasa kepalaku sangat berat dan seperti nya memang ada sesuatu yang sengaja di tempelkan dikeningku.
Aku membuka mataku perlahan. Mataku masih berat untuk dibuka, entah kenapa?
"Bunda....."
Satu suara yang beberapa hari ini menghantui pikiran ku. Aku membuka mataku dan melihat seorang pria kecil mengenggam tanganku dengan wajah paniknya. Bagaimana bisa wajah sepolos itu bisa terlihat panik?
"B-bintang." Lirihku menatap pria kecil itu
"Bunda." Bintang berhambur memelukku yang masih berbaring "Hiks hiks Bunda jangan tidul lagi Bintang takut Bunda pelgi lagi ninggalin Bintang." Dia menangis segugukan sambil memeluk perut ku.
Aku mengigit bibir bawahku menahan tangis. Tuhan ternyata masih ada orang yang takut jika aku pergi. Dia adalah Bintang, pria kecil yang bahkan baru ku kenal.
"Sayang." Tanganku terukur mengusap kepalanya yang bersandar didadaku "Bintang jangan nangis lagi ya? Bunda janji gak akan pergi." Rayuku.
Bintang melepaskan pelukannya. Air mata membasahi pipi tampannya.
"Bintang takut Bunda. Bintang takut Bunda gak bangun lagi." Sambil menyeka air matanya.
Aku terkekeh pelan tapi air mataku justru menetes terharu. Andai saja aku memiliki anak setampan selucu Bintang pasti aku akan jadi Ibu paling bahagia didunia.
"Kamu udah bangun?"
Mas Langit masuk dengan membawa nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air putih.
"Mas."
"Sebentar saya periksa."
Dia mengambil alat yang ditempelkan dikedua telinganya lalu ditekankan pada dadaku untuk menetralisir kinerja jantungku.
Lalu dia mengambil alat pengukur suhu yang sengaja dia tempelkan diketiakku.
"Panas kamu udah turun. Kamu sarapan dulu ya, setelah sarapan nanti minum obat." Dia mengambil mangkuk berisi bubur itu.
"Ayah bial Bintang yang suapi Bunda." Pinta pria kecil itu.
"Emang Bintang bisa?" Godanya terkekeh pelan sambil mengusap kepala putranya.
"Bisa Ayah. Kan Bintang ingin suapi Bunda, supaya Bunda tidak pelgi lagi. Supaya Bunda cepat sembuh dan tinggal sama kita."
Aku dan Mas Langit sama-sama terdiam. Anak sekecil Bintang tidak akan paham dengan ucapannya. Dia mengira aku Bundanya, padahal aku hanya orang asing baru dia kenal.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Elok Pratiwi
cerita ga jelas ... mutar muter tok .... awal cerita yg tidak menarik
2025-02-15
0
Cornelia Titirloloby
kren😘🥰😍👍👍👍
semangt bintang
2024-03-31
0
Modish Line
Bintang pinter bgt 😘😘😘
2023-05-18
0