Setelah menyuapi Kiara dan membantu minum obat dengan susah payah dan akhirnya dengan cara dihaluskan. Karena dasarnya Kiara tidak bisa minum obat secara lansung. Dan kini ia tertidur dengan efek obat yang mengantuk.
Kini Raffi berjaga di sofa kamar Kiara. Ia memikirkan apa yang harus ia lakukan sekarang.
Mungkin aku akan menerima keputusan ini. Bagaimanapun aku sudah menikah dengan dia. Aku gak mungkin ninggalin dia. Tapi bagaimana dengan Susan? Dia sudah menemaniku sejak kuliah hingga sekarang apa aku tinggalkan dia dan aku jelaskan kalau aku sudah menikah dengan pernikahan perjodohan ini. Batin Raffi terus bertengkar dalam dirinya sendiri.
Tidak lama ponsel Raffi berbunyi menampilkan nama Papa yang sedang menelfonnya.
“Nak, bagaimana keadaanya Kiara? Sudah membaik kondisinya?” tanya papa Bram dengan penuh khawatir terhadap Kiara menantu kecilnya.
“Sudah Pa, kondisinya sudah membaik. Tapi ya begitu dia masih terlihat sedih memikirkan Om Wijaya.” Jawab Raffi dengan baik.
“Syukurlah, kamu jaga diri baik baik disana Raffi, temani istrimu Kiara. Papa tidak menerima alsan apapun jika kamu meninggalkan menantu Papa. Maka Papa tidak akan tinggal diam begitu saja. Papa akan cabut semua fasilitas yang papa sudah berikan ke kamu detik itu juga.” Jelas Bram penuh penekanan. Agar Raffi tetap menjaga Kiara dengan baik meskipun mengancamnnya dengan mencabut aset yang sudah diberikannya selama ini.
“ Iya pa, tidak usah bawa-bawa fasilitas juga, ini semua aku juga kerja keras meritis perusahan.” Bantah Raffi yang tidak terima begitu saja, bagaimana pun itu juga termasuk kerja kerasnya selama ini.
“Pa, aku mungkin tidak bisa lama lama lagi disini. Aku harus kembali ke Amerika segera. Karena aku tidak mungkin meninggalkan perusahaan cukup lama. Nanti aku akan ngomong sama Kiara mengenai kepergianku ke sana.”
“Kalau kamu ke Amerika, Kiara sendiri Raffi. Mending bawalah istrimu ke sana juga. Kasihan dia sendiri di rumahnya. Apalagi pasti dia butuh kamu sebagai suaminya. Jangan biarkan dia sendirian. Papa tidak akan mengizinkan kamu pergi tanpa Kiara. Jadi ajak dia ke Amerika juga.”
“Tapi Kiara ada wisuda untuk 2 minggu lagi pa, mana mungkin kita bolak balik Jakarta – Amerika dalam waktu dekat ini. Mengenai kondisi Kiara juga bener bener belum pulih. Raffi akan bicara nanti dengannya. Baiknnya bagaimana semoga papa mengerti juga.”
“Yasudah keputusan ada dikamu, salam buat Kiara Fi. Besok pagi papa sama mama akan berkunjung kesana.” Pamit Bram lalu memutuskan telpon tersebut.
Raffi terus memejamkan matanya di sofa. Luas sofa juga besar jadi nyaman untuk tidur walaupun sedikit pegal pegal jika bangun nanti.
Kiara bangun pukul 2 dini ia ingin ke kamar mandi. Ia melihat Raffi yang sudah terlelap. Ia kagum dengan wajah Raffi yang tampan dan manis saat tidur. Rasaya damai Kiara menatapnya. Ia dengan hati hati ke kamar mandi.
“Apa mungkin dia lelah hingga sepatunya tidak dilepas.” Tegur Kiara lalu melepas sepatu Raffi yang bersandar di sofa. Ia melapas sepatunya dengan hati-hati takut membangunkan sang suaminya.
Ia mengambil selimut lalu menyelimutinnya dengan penuh hati hati takut Raffi marah karena ia sudah lancang menyentung Raffi dengan tidak sopan.
“Maaf kak, sudah melibatkan kak Raffi dalam masalah ini. Aku tahu kakak pasti tidak terima begitu saja dengan apa yang sudah terjadi.” Sambil memandangi suami, Kiara merasa bersalah dengan laki – laki dihadapannya saat ini.
Kiara kembali ke kasur dan mulai tidur lagi karena ini masih malam. Ia menatap wajah suaminya yang sudah terlelap dari jauh.
Ia merasa dirinya sudah membaik mungkin istirahat cukup dan efek obat yang diminumnnya tadi. Ia kembali menatap lurus dan mulai terlelap juga.
Sinar matahari sudah muncul mengenai wajah tampan Raffi. Ia bangun, namun ada yang berbeda.
Selimut? Siapa yang memnyelimutiku. Apa Kiara? Astaga Kiara dimana. Kemana wanita itu. Baru jam enam tapi dia sudah gak ada ditempatnya. Batin Raffi mencari Kiara yang sudah tidak ada.
Raffi terseyum, dengan perhatian yang diberikan kepada istri kecilnya. Ia juga meningat kalau masih mengunakan sepatu namun kini telah lepas. Ia membersihkan diri dan mengambil paper bag yang dikirim orang rumahnya.
Kiara kini berada di dapur dengan Bi Siti. “Aduh Non, sudah duduk saja nanti non kecapekan lagi. Kan non baru sembuh.” Bi Siti yang sudah kehabisan kata kata dengan kelakuan Nona kecilnya itu dibuat frustasi.
Pasalnya Kiara memang pantai memasak. Namun selalu dilarang dan ia tidak mau dibantah dan terus melakukan pekerjaannya dengan penuh senyum.
“Ih Bibi tadi dokter Haris bilang sudah baikan kan, jadi gapapa.” Ujar Kiara penuh senyum. Dibalik keributan mereka ada mata yang melihat mereka, entah rasanya senang melihat gadis tersebut melawan bibinya.
“Eh Tuan Muda, silakan duduk saya siapkan dulu mau minum apa?” tanya bi Siti dengan baik spoan terhadap Raffi.
“Hm...Teh manis saja bi gapapa.” Jawab Raffi sopan.
“Kiara, sini!” dua kata keluar dari mulut Raffi, nama yang dipanggil langsung tegang begitu saja. Pasalnya yang ia ucapkan sangat tegas.
“Bentar kak, sedikit lagi selesai.” Bantah Kiara karena tidak ingin diganggu.
“Kiara.” Sambil menatap tajam Kiara. Dengan penuh terpaksa ia meletakkan semuanya dan menghampiri suaminya, karna bagimanapun ia takut ditatap seperti itu.
“Maaf.” Sahut Kiara karena takut. Dibalik wajah datar tersebut ia menahan senyum. Sungguh gadis kecilnya imut sekali saat takut namun ia menahan agar Kiara duduk dengannya karena ia baru pulih mengenai kondisinya saat ini.
Lucu sekali gadis ini, benar kata mama dia lucu saat dimarahi. Jadi orang yang marahi tidak bisa marah malah tertawa melihatnnya saat imut. Cantik juga. Pikir Raffi memperhatikan wajah Kiara.
Kini mereka sarapan bersama, sekali-kali Kiara mencuri menatap sang suami.
Begitupun dengan Raffi yang sama melihat memperhatikan Kiara dengan diam
.
“Bi, tolong ambilkan obatnya Kiara dikamar ya.” Perintah Raffi kepada bi Siti.
“Baik Tuan Muda.” Jawab Bibi dengan sopan.
“Kak, aku sudah gapapa. Gak mau minum obat gak enak pahit!” bantah Kiara karna ia takut seperti semalam tidak bisa minum obat.
“Harus diminum, biar kamu cepat sembuh lalu kita bisa ke Amerika segera.” Jawab Raffi dengan tegas dan Kiara hanya diam saja.
Setelah menolak berkali kali memohon untuk tidak minum obat akhirnya dengan terpaksa Kiara meminum obat dengan dihaluskan dan membuat rasanya semamakin pahit sekali.
“Kak, aku mau ikut ke Amerika, asalkan Bi Siti juga ikut.” Kiara mulai bicara dengan serius.
“Maaf Non, nanti yang urus disini siapa. Kalau Bibi ikut Non ke sana.” Jawab bibi menyela Kiara.
Benar juga nanti yang urus rumah ini siapa kalau bukan Bi Siti. Bagaimana pun sekarang Kiara tanggung jawab penuh oleh Raffi mau tidak mau ia harus menuruti kemauan suaminya.
“Kamu mau ikut kelulusan atau tidak?” tanya Raffi dengan cepatnya Kiara menganggukan kepala dengan cepat karena ia memang ingin ikut wisuda untuk mengambil momen di akhir sekolahnya.
“Bagaimana kalau kamu disini dulu, aku rencana nanti siang mau terbang ke Amerika. Ada hal yang harus aku urus beberapa pekerjaan.” Jelas Raffi.
Namun entah kemana rasanya Kiara enggan ditinggalkan oleh Raffi. Raffi bisa melihat raut wajah Kiara yang tiba-tiba berubah begitu saja.
“Jika itu penting, gapapa kok kak. Kalau Mau terbang nanti, hati-hati dijalan.” Dengan nada gemetaran Kiara menjawabnya lalu pergi begitu saja menaiki tangga ke kamarnya. Dengan cepat Raffi memanggilnya namun enggan dijawab Kiara.
Kiara menangis, entah rasanya kata pergi begitu ia benci. Apalagi disini ia tidak ada siapa-siapa lagi. Pasti ia sangat kesepian saat tidak ada suaminya yang baru saja 1 hari.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments