Episode 13

Tring!

"Permisi, Kak, Dream Catcher besar yang di depan sana, dijual ngga?" tanya seorang gadis muda dengan raut wajah kelelahan.

Netraku melirik sebuah benda yang tergantung, tepat di jendela pajang toko ini. "Ya, dijual. Yang ngga dijual, yang berukuran kecil."

Dream Catcher atau penangkap mimpi, berasal dari Amerika. Menurut kepercayaan suku Indian yang merupakan masyarakat asli Amerika, benda ini dipercaya bisa menangkap mimpi baik dan membuang mimpi buruk. Biasanya, benda ini digatungkan di jendela kamar, kepala tempat tidur, atau di daerah dekat tempat tidur lainnya.

"Mahal ya harganya?" tanyanya lagi.

"Lima puluh ribu," jawabku singkat tanpa melepaskan pandangan dari wajahnya yang mendadak berbinar. "Dream Catcher itu model lama, jadi harganya murah."

"Ngga apa-apa, Kak. Yang penting Dream catcher. Saya susah tidur akhir-akhir ini."

"Kamu insomnia?" Aku bertanya sembari melangkah untuk mengambil Dream Catcher yang dipajang. "Saya bersihkan sebentar ya? Duduk aja dulu di situ."

Gadia itu duduk di kursi tempatku biasa minum teh. Setelah menaruh tasnya di atas meja, napasnya berhembus kencang. "Iya Kak, udah lama saya insomnia. Tapi akhir-akhir ini semakin parah karena saya takut tidur. Setiap tidur, saya selalu bermimpi buruk."

"Mimpi buruk?" Aku menelisik wajahnya yang pucat.

"Iya. Saya penulis novel. Akhir-akhir ini saya bermimpi didatangi para karakter dalam novel saya. Beberapa ada yang baik, tapi ada juga yang galak. Ngga tau kenapa, saya takut ketemu mereka."

"Kenapa takut?" tanyaku penasaran.

"Ada perasaan kalau mereka ngga puas dengan cerita yang saya tulis. Mungkin mereka ingin protes, tapi karena sayalah penulisnya, mereka tetap melakukan apa yang saya tuliskan."

Aku tersenyum samar mendengar cerita gadis itu. "Apa saat ini kamu lagi menulis sebuah cerita?"

Setelah membersihkan Dream Catcher dan menaruhnya dalam sebuah paperbag, aku menyuguhkan secangkir teh pada gadis itu, sebelum duduk di depannya, dengan secangkir teh juga di tanganku.

"Iya. Saya sedang menulis tentang kisah seorang naga yang hidup di tengah-tengah manusia," jawabnya saat aku menyesap secangkir teh.

Bhuh! Teh yang belum sempat kutelan, seketika tersembur dan membuat gadis di depanku kaget.

"Maaf," lirihku.

"Karena menulis cerita itu, baru-baru ini saya melakukan perjalanan ke sebuah pulau. Secara kebetulan, di pulau tersebut ada cerita legenda tentang penguasa lautan, yang berwujud seekor naga."

"Dari siapa kamu mendengar cerita legenda itu?" tanyaku penasaran.

"Dari beberapa penduduk sepuh yang tinggal di sekitar penginapan," jawabnya.

"Terus?"

"Penguasa lautan itu adalah naga yang jahat," lanjutnya. "Ia suka memban*tai manusia. Dan yang lebih parah, satu kampung pernah binasa karena penduduknya dihabisi. Dari para orang tua sampai anak kecil."

"Kenapa?" Aku menyelidik.

"Karena mau dimakan."

Aku tertawa terbahak-bahak hingga perutku sakit. "Dan kamu percaya?"

"Ngga tau juga. Tapi hal itu kayanya bagus buat bahan tulisan saya."

Senyum simpul tersungging di bibirku. "Beberapa legenda ngga sepenuhnya benar walaupun ngga seluruhnya salah. Hati-hati dalam menulis sesuatu, karena mungkin, di suatu hari nanti, ada pembaca yang akan salah paham oleh maksud dari cerita yang kamu tulis."

"Iya, Kak," balasnya lirih.

Saat tangannya meraih tas, lalu mengeluarkan sebuah dompet, mataku terpaku pada sebuah batu berlilit kawat yang tergantung di tas itu. "Gantungan tas kamu bagus," ucapku.

"Ini?" tanyanya memegang batu itu. "Saya nemu ini pas lagi jalan-jalan di pantai. Karena bagus, saya pungut aja."

Aku mengangguk mengerti, sebelum melanjutkan berbicara. "Oh iya, kamu bilang kamu insomnia? Mau mencoba layanan spa dan pijat kepala dari Memento Mori?"

"Wah, mau banget! Kira-kira kapan saya bisa nyoba?"

"Malam ini, kalau kamu mau. Dateng aja jam delapan malem, setelah toko tutup," jawabku yang direspon anggukan darinya.

"Kalau gitu, saya pulang dulu. Nanti malem, ke sini lagi," ucapnya sembari berdiri. Ia memberikan uang untuk membayar Dream Catcher, sebelum mengambil paperbag di atas meja konter, lalu melangkah menuju pintu.

"Nama kamu siapa?" tanyaku saat tangannya hampir menyentuh gagang pintu.

"Rebel, Kak. Nama saya, Rebel."

***

Tepat jam delapan malam, gadis itu muncul kembali di depanku dengan menggunakan hoodie hitam berukuran besar.

"Tokonya belum tutup, Kak?" tanyanya begitu masuk.

"Udah. Saya nunggu kamu." Aku berjalan ke arah pintu dan menutupnya, lalu membalik tulisan yang tergantung, dengan kata TUTUP di bagian luar. "Tiduran di sofa itu," suruhku.

Setelah menaruh tasnya di meja minum teh, gadis itu merebahkan diri di sebuah sofa yang mendadak kupindahkan dari ruang pribadiku di bawah tanah.

Aku menuangkan minyak aroma terapi ke telapak tangan dan berusaha membuat gadis itu rileks. Selanjutnya, jari-jariku bergerak pelan ke bagian kening serta kepala, lalu memberikan tekanan yang lembut.

Tidak sampai setengah jam, gadis yang berbaring di depanku ini sudah tertidur dengan pulas. Setelah memastikan jika ia tidur semakin dalam, aku bangkit dan duduk di meja minum teh sembari menatapnya lekat.

Hampir tengah malam saat batu yang tergantung di tas gadis itu berpendar dan mengeluarkan cahaya. Pelan tapi pasti, mataku menangkap sebuah asap tipis, keluar dari tubuh gadis itu dan langsung tersedot oleh batu hitam.

'Batu penghisap energi,' batinku. 'Pantas saja gadis itu selalu kelelahan dan bermimpi buruk.'

Batu penghisap energi adalah batu yang sebenarnya digunakan oleh manusia licik untuk mencuri energi orang laim. Biasanya, orang yang menyimpan batu ini akan kelelahan dan jatuh sakit, hingga akhirnya meninggal dunia. Dalam ilmu hitam, batu ini dipakai untuk mencari tumbal karena bentuknya yang cantik.

Aku bangkit berdiri dan menepis asap dari tubuh gadis itu, yang tersedot oleh batu berulang-ulang, sampai akhirnya sebuah tawa menggelegar terdengar kencang di ruangan ini. Di sofa, tubuh gadis itu sudah mulai gelisah dengan keringat yang deras mengalir.

"Beraninya kamu mengganggu!" ucap sesosok makhluk tinggi besar. "Gadis ini milikku! Ia harus ikut bersamaku!"

"Kenapa harus?" tanyaku datar.

"Karena aku sudah memutuskannya seperti itu!" Sosok itu berubah menjadi asap hitam pekat dan masuk ke kepala gadis tersebut.

"Menyebalkan!" makiku seraya berjalan cepat ke arah jendela untuk mengambil sebuah Dream Catcher kecil, lalu duduk kembali di kursi minum teh dengan menundukkan kepala, dan berusaha menidurkan diriku sendiri dengan cepat.

***

Aku dikelilingi oleh kegelapan yang sangat pekat. Namun untungnya, Dream Catcher di tanganku mengeluarkan cahaya lembut yang bisa membantuku melangkah.

Suara tangisan serta teriakan banyak orang terdengar menggaung dan berulang-ulang. Hawa di sini semakin pengap hingga membuatku susah bernapas.

Sudah cukup lama aku berjalan, hingga akhirnya tiba di depan sebuah pintu berwarna hitam, persis seperti pintu menuju ke ruanganku di Memento Mori.

Berpasang-pasang mata menatapku lekat, segera setelah aku membuka pintu. Mereka mengelilingi gadis bernama Rebel yang duduk terikat di sebuah kursi.

"Kakak ...," panggilnya lirih.

"Jangan ikut campur! Kami sedang bersenang-senang dengan penulis yang menciptakan kami," ucap salah seorang dari mereka.

Aku terkekeh dan balas menatap mereka satu persatu. "Kalian lebih mirip sedang menyandera penulis kalian daripada bersenang-senang. Jangan lupa satu hal. Kalian hanyalah karakter, bukan makhluk hidup. Eksistensi kalian dipertanyakan. Jadi, jangan terlalu berlebihan."

"Diam! Kamu tidak tau apa-apa! Jangan ikut campur!" sentak sosok yang lain.

"Terserah. Yang jelas kalian tidaklah nyata," balasku sebelum mengibaskan tangan dan membuat sosok mereka satu persatu menghilang.

"Kakak ...." Gadis itu sudah sepenuhnya menangis saat aku melepaskan ikatannya. Aku menggenggam tangannya, bermaksud membawanya keluar dari tempat ini, saat tiba-tiba genggaman di tanganku mengeras dan menarikku kuat ke belakang.

"Ternyata sangat mudah untuk memancingmu," bisik gadis itu, lalu berubah menjadi sosok tinggi besar yang kulihat di Memento Mori.

Aku menarik tanganku yang masih dalam genggamannya, dan balas berbisik. "Kamu salah, aku sengaja mendekatimu agar bisa memusnahkanmu dengan mudah. Atas nama penguasa alam semesta, tidak ada tempat untuk jiwa-jiwa jahat di dunia ini, bahkan di bagian tergelap sekalipun. Malas animas fuge a facie terrae (enyahlah jiwa-jiwa jahat dari muka bumi)!"

Sosok yang masih menggenggam tanganku mengeluarkan lengkingan tajam, seiring dengan bergetarnya lantai yang kupijak. Goncangan kuat yang ditimbulkan, membuat sesuatu runtuh dari atas sana. Aku kembali memaki dalam hati, karena belum menemukan gadis itu.

Saat sosok tinggi besar itu melebur menjadi cahaya dan menghilang. Sedangkan aku, merubah diriku ke bentuk asli, dan terbang melayang untuk mencari Rebel.

Setelah beberapa saat, aku menemukannya tertidur di lantai suatu ruangan. Dengan segera, aku menaruhnya dalam mulutku, dan kembali terbang untuk mencari jalan keluar dengan bantuan Dream Catcher kecil.

Berusaha menghindari jatuhnya reruntuhan, pergerakanku melambat karena guncangan, teriakan, pekikan serta tangisan yang terdengar kencang. Dream Catcher berpendar sesaat, sebelum bercahaya terang. Bersamaan dengan suara gemuruh petir, cahaya dari Dream Catcher membesar dan menyelimuti seluruh pandanganku.

***

Aku menatap gadis itu, yang baru saja bangun dengan wajah linglung.

"Maaf, Kak. Saya ketiduran, ini pasti udah tengah malem banget," ucapnya pelan.

"Ini udah pagi. Saya ngga tega ngebangunin kamu, makanya saya biarin kamu terus tidur," balasku.

Mata gadis itu membola dan melihat jam di dinding. "Maafin saya. Saya malah numpang tidur di toko Kakak."

"Ngga masalah. Yang penting, tidurmu nyenyak."

"Sebenernya tadi saya mimpi aneh, tapi ngga tau kenapa, kali ini saya ngga setakut biasanya," lanjut gadis itu seraya berdiri dan meraih tasnya.

"Maaf, tadi tas kamu jatuh, dan saya ngga sengaja menginjak batu itu sampai hancur," ucapku, saat melihat gadis itu terdiam dan memegang batu yang tergantung di tasnya.

"Ngga apa-apa kok, Kak. Ini dapet nemu, bukan benda berharga juga," jawabnya tersenyum. "Saya pamit pulang dulu. Makasi banyak buat layanan spa-nya. Berapa saya harus membayar?"

"Gratis," ucapku. "Memento Mori sedang dalam masa promo, jadi layanan spa tadi malam gratis."

Mata gadis itu berbinar. "Makasi banyak kalau gitu. Saya pamit pulang."

Aku mengangguk dan menatapnya berjalan mendekati pintu.

Tring!

Begitu pintu terbuka, gadis itu berdiri diam dan menoleh ke arahku. "Terima kasih banyak atas pertolongannya, Kakak Naga," sahutnya sebelum berjalan keluar, dan membuat bel kembali berdenting saat pintu tertutup.

Terpopuler

Comments

Ai Emy Ningrum

Ai Emy Ningrum

padahal di Bali bnyak yg jual Dream Catcher di pinggir jln dimana mana..tetangga jg ada yg jd pengepul nya..tp ga kepngen masang itu dirumh..cobak beli ahh besok pas ke Kuta atau Seminyak 😚😗

2023-01-25

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!