Episode 4

Aku memasuki ruang pribadiku yang ditandai dengan pintu dari kayu jati besar berwarna hitam mengkilat, lalu langsung menuju ke ujung ruangan, di mana ada sebuah tangga menuju ke ruang bawah tanah yang tersembunyi, kedap suara, serta gelap gulita.

Tumpukan berpeti-peti buah delima yang baru beberapa waktu lalu kuterima, tersusun rapi di sebelah kiriku begitu aku sampai di bawah dan menyalakan lampu. Di bagian lain, terdapat perabotan lengkap yang cukup kuno namun bersih, yang biasa kugunakan.

Wangi beberapa buah delima yang sudah matang, memasuki indera penciuman. Setelah menghembuskan napas panjang tanda putus asa, aku memilih beberapa buah untuk kubawa ke meja dapur. Dengan cekatan, biji buah delima kukeluarkan, dan kutampung dalam sebuah wadah besar yang terbuat dari kayu, lalu menumbuknya hingga beberapa percikan berwarna merah segar memuncrat.

Setelah mendapatkan satu wadah penuh air buah delima yang masih bercampur dengan bijinya, aku menyaringnya sedikit ke dalam gelas kristal berkaki tinggi. Langkahku lunglai saat menuju ke sebuah sofa kulit besar, dan duduk sebelum meneguk air delima yang berwarna semerah darah. Seketika, mataku dipenuhi keinginan untuk meminum darah sungguhan, alih-alih menggunakan buah delima sebagai pengganti.

***

Keadaan sebuah desa pinggir pantai di sebuah pulau mendadak gempar, dengan ditemukannya beberapa nelayan yang kembali ke daratan dalam kondisi tidak bernyawa karena kehabisan darah. Warga mengaitkan hal ini dengan kemarahan penunggu lautan yang diyakini berwujud seekor naga besar.

Dalam waktu singkat para tetua dan juga cenayang, turun tangan untuk melakukan upacara yang menurut mereka bisa meredakan kemarahan sang penguasa lautan. Hampir dua hari dua malam, mereka melakukan ritual tersebut dengan aneka tarian serta teriakan penawaran untuk mengirimkan seorang persembahan baru.

"Zexlys, para tetua menunggumu di balai pertemuan," ucap seorang wanita yang merupakan tetanggaku. Aku hanya mengangguk, namun pada akhirnya malah masuk ke dalam rumah dengan perasaan muak. Netraku memindai sebuah bingkai foto, di mana seorang wanita muda sedang berfoto dengan anak kecil dalam pangkuannya.

Aku ditemukan oleh wanita itu di pesisir pantai saat ia sedang mencari kerang di saat pagi buta. Karena rasa iba dan kasihan, ia mengurusku hingga aku tumbuh besar, tanpa mempedulikan keanehan, bagaimana anak sekecilku bisa terdampar di pantai.

Kehidupanku bisa dibilang bahagia bersama wanita itu, walaupun banyak penduduk yang mencemooh karena aku hanyalah anak pungut. Semakin hari, aku merasakan kasih sayang berlimpah dari wanita yang pada akhirnya kupanggil mama.

Hingga di suatu hari, saat hujan turun dengan derasnya setelah beberapa waktu, dan membuat para nelayan kesulitan mencari ikan, para tetua dan penduduk memutuskan sebuah hal yang membuatku marah.

Wanita itu meninggalkanku selamanya karena dijadikan persembahan untuk penguasa lautan. Warga dengan kejam menyudutkannya untuk mengorbankan diri, yang bertujuan agar kemarahan penguasa lautan mereda, dan kehidupan mereka semua kembali tentram serta makmur.

Teriakan marah dan lolongan kesedihan dari mulut kecilku tidak dipedulikan oleh para tetua dan penduduk. Mereka tetap memaksa wanita itu untuk mengikuti mereka ke balai pertemuan untuk dirias sedemikian rupa. Mereka mengorbankannya, karena ia adalah gadis perawan yang sudah tidak memiliki keluarga.

Saat itu, aku menangis sepanjang malam setelah mendengar salah seorang penduduk yang mengatakan jika mereka sudah membawa wanita itu ke tengah lautan, lalu melemparkannya. Kemarahan yang tidak bisa kubendung, hampir membuatku menghabisi seluruh penduduk. Namun akhirnya, aku bertahan hingga sekarang, di mana usiaku sudah dewasa.

Tok tok tok!

"Zexlys! Semua orang menunggumu!" Suara teriakan itu memecah kesadaranku yang sedang mengenang masa lalu.

Dengan malas, aku melangkah keluar, dan mengikuti sosok yang memanggilku, ke sebuah tempat yang mereka namakan balai pertemuan.

***

"Penguasa lautan sedang murka. Ini sudah kesekian kalinya para nelayan kembali ke daratan dengan kondisi tidak bernyawa. Itulah kenapa, kami memutuskan akan memberikan persembahan untuk meredakan kemarahan penguasa lautan. Dan kamulah yang akan mendapat kehormatan sebagai persembahan kami untuk sang penguasa laut."

Aku hanya tersenyum sinis sembari menatap lekat mata tetua yang berbicara padaku. "Lakukan saja sesuka kalian. Toh, saya tidak bisa menolaknya," jawabku santai.

Para tetua terlihat sumringah dan langsung diputuskan jika besok, mereka akan mempersembahkanku sebagai tumbal yang baru.

***

Pukul dua dini hari, aku sudah dijemput untuk kembali dibawa ke balai pertemuan. Di sana mereka memberiku makanan yang enak, dan mendadaniku dengan riasan serta baju yang bagus. Netraku sendiri menatap lekat satu persatu tetua dan penduduk yang sedang mempersiapkan persembahan lain berupa bunga-bunga, makanan dan juga kain sutra. Aku menyeringai dalam hati dan tidak sabar menunggu saatnya tiba.

Kapal perlahan meninggalkan dermaga saat langit masih gelap, dan dilepas oleh beberapa orang yang menari serta berteriak lantang, jika seorang persembahan sudah mereka kirim untuk penguasa lautan. Mereka meminta agar penguasa laut berhenti murka dan memberikan keselamatan pada para nelayan yang mencari ikan. Hampir semua penduduk berada di pantai dan melihat ke arahku dengan pandangan datar.

Setelah beberapa saat, kapal sudah berada tepat di tengah lautan. Tiga orang pria di dalam kapal ini sudah mulai melarung persembahan satu persatu. Saat tiba giliranku, ketiganya mendekat dengan tatapan seperti seorang iblis.

"Saatnya kita bersenang-senang," ucap salah satu di antara mereka.

"Jadi kalian yang melakukannya," ucapku datar dan balas menantang. "Kalian memper*kosa semua korban persembahan sebelum melemparkannya ke laut. Kalian yang menggunakan nama penguasa lautan untuk memuaskan nafsu binatang kalian. Dan kalian juga memperdaya para tetua dan penduduk untuk memuluskan jalan kalian."

Ketiganya tertawa dan mulai menarik bajuku hingga sobek di bagian bahu. Sontak, aku mundur hingga terdesak ke pinggir kapal.

"Kamu ternyata banyak tau. Ya, kamilah yang menghasut para tetua untuk mengirimkan persembahan berupa gadis perawan, yang sayangnya hanya merupakan karangan kami. Jika tidak begitu, kami tidak akan bisa memuaskan aoa yang sudah menjadi hasrat kami. Jangan melawan, dan biarkan kami membawamu pada kesenangan dunia. Sayang sekali, beberapa teman kami sudah kehilangan nyawa, sehingga tidak bisa menikmati keindahanmu. Tapi itu bagus, karena sekarang, kamu hanya perlu melayani kami bertiga, bukan bersebelas," kata seorang pria tinggi yang tersenyum menyeringai.

Aku balas menyeringai dengan emosi yang sudah memenuhi kepala. "Sayangnya kalian bertemu dengan orang yang salah."

Tepat setelah aku berhenti bicara, awan hitam menggulung di atas kapal dan menimbulkan petir dengan suara memekakkan. Ketiganya sempat terlihat kaget, namun pada akhirnya tetap mendekat. Mereka mengelilingiku dan mulai melucuti apa yang kupakai.

"Berhenti sekarang juga!" teriakku diantara suara petir yang semakin menggelegar. Tubuhku terangkat tepat di depan mereka yang dengan cepat mundur menjauh.

Aku melayang di antara pusaran angin dengan kilat yang menyambar di belakang tubuh. "Manusia biadab seperti kalian hanyalah sampah untuk alam semesta. Jika kehidupan hanya membuat kalian menjahati manusia lain, enyahlah dari muka bumi!" teriakku lantang.

Ketiga pria itu jatuh bersimpuh di lantai kapal dalam keadaan tidak sadarkan diri karena ketakutan yang teramat sangat. Dengan pelan aku turun dan berjalan menghampiri ketiganya, sebelum mengangkat tangan mereka dan menancapkan gigiku tepat di pergelangan tangan. Dalam waktu singkat, aku bisa menikmati cairan hangat kental beraroma manis yang menuruni kerongkonganku.

Tubuhku terisi dengan energi yang meluap, saat aku kembali ke pesisir pantai dalam waktu singkat, dengan pandangan yang didominasi warna merah. Rasa marah dan muak membuatku memban*tai setiap penduduk yang kutemui tanpa ampun, kecuali beberapa penduduk dan anak-anak kecil yang kuingat telah berlaku baik padaku.

Saat matahari mulai terbit, aku kembali berjalan ke arah pantai dan perlahan tenggelam ke dalam laut, setelah meninggalkan pesisir pantai yang pasirnya sudah berwarna merah karena darah yang tumpah.

***

Tring!

Mataku mengerjap ketika indera pendengaranku yang super tajam menangkap dentingan bel yang terdapat di atas pintu toko Memento Mori milikku. Dengan cepat, segelas air delima semerah darah yang baru kuminum sedikit, langsung ku taruh di meja kecil, tepat di samping sofa.

Langkahku terhenti di depan peti berisi delima dan kembali menghembuskan napas putus asa. Sudah dari ratusan tahun lalu, aku menggunakan air buah delima sebagai pengganti darah. Tidak sepenuhnya, karena terkadang, aku masih bisa meminum cairan favoritku itu di tempat aku diasingkan ini.

"Permisi!"

Dengan cepat aku mematikan lampu, sebelum menaiki anak tangga menuju ke tokoku, di mana telah ada seorang pembeli yang datang.

Terpopuler

Comments

Andini Andana

Andini Andana

jadi Zexlys ini sejenis vampir? dracula? 😱😲😳

2023-01-23

5

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!