Episode 12

Seorang gadis pemalu memasuki tokoku saat sore mulai menjelang, dengan masih menggunakan seragam kerja bertuliskan nama sebuah rumah sakit. Pandangannya berkali-kali terpaku pada sebuah jaket jeans dengan model vintage.

"Ini berapa harganya?" tanyanya lirih seraya menatapku malu-malu.

"Sepuluh ribu," balasku singkat. Kedua matanya membola dan aku terkekeh. "Jaket itu bekas. Itulah kenapa, harganya murah. Tapi walaupun bekas, saya jamin jaket itu bersih. Dulu itu jaket saya. Karena udah ngga dipakai, makanya saya jual."

Gadis itu tersenyum dan menggangguk senang. Tangannya pada akhirnya meraih jaket yang sedari tadi ia pandang, dan membawanya ke meja konter.

"Mata kamu bagus. Semoga semakin banyak hal baik yang selalu mendampingimu. Kebaikan akan selalu bersama dengan jiwa-jiwa yang baik," ucapku lirih.

Di luar dugaan, gadis itu tersenyum. "Terima kasih, Kak. Oh iya, saya boleh sering dateng ke sini walaupun cuma untuk melihat-lihat?"

"Silakan aja. Pintu Memento Mori selalu terbuka untuk kamu." Aku menyodorkan paperbag berisi jaket ke hadapan gadis itu.

Secara cepat, gadis itu luruh ke lantai sesaat setelah menerima paperbag dari tanganku. Wajahnya terlihat kaget dan matanya membola karena shock.

"Seperti yang kamu lihat. Itulah sosok saya yang sebenarnya ..., Ara," ucapku tersenyum lebar.

***

Setiap kali tidak ada pembeli yang datang, aku selalu duduk di meja minum teh sembari memegang pi*sau bergagang Gaharu. Yang jelas, pi*sau ini bukanlah pisau biasa. Itu kenapa, cukup mengherankan jika ada manusia yang bisa memiliki benda ini.

Tring!

Pintu berayun terbuka dan menampilkan sosok Silas dengan rambut yang dicepol asal. Di luar toko, terlihat beberapa orang gadis berbisik-bisik untuk membicarakannya.

"Mana anak-anak naga yang lain?" tanyaku dengan ekspresi datar.

Silas tidak menjawab pertanyaanku, melainkan menarik kursi dan duduk.

"Sepertinya aku tau dari mana asal pi*sau itu," ucapnya tiba-tiba, setelah diam cukup lama.

"Dari mana?"

"Dari sebuah pulau pesisir pantai," jawabnya pelan. Matanya lekat menatapku.

"Lalu?"

"Para penduduk di pulau itu rutin mengadakan upacara untuk memuja penguasa lautan. Maksudku, kamu."

"Ya. Itu aku," timpalku.

"Pi*sau itu berasal dari sana, Zexlys. Pemiliknya adalah seorang nelayan."

"Maaf, aku ngga ngerti," aku membalas ucapan Silas, yang direspon dengan hembusan napas tanda putus asa.

"Sesaat setelah kamu memban*tai hampir semua penduduk. Beberapa yang tersisa menganggap jika penguasa lautan sedang marah. Karenanya, mereka kembali mengadakan ritual dan melepas sebuah perahu kecil yang berisi aneka persembahan," jelas Silas.

"Beberapa waktu setelah perahu dilepas di lautan, seorang wanita terdampar di pulau itu. Penduduk memujanya, karena menganggap wanita itu utusan dari penguasa lautan. Sayangnya, mereka tidak tau jika wanita tersebut adalah Lamashtu."

"Bagaimana bisa?" tanyaku tidak percaya.

"Bagaimana tidak? Kamu sedang menjalani hukuman sebagai manusia biasa pada saat itu. Itulah kenapa, kamu tidak tau.

Lamashtu menghabisi semua anak-anak di sana. Sampai akhirnya, anak dari nelayan itu menjadi incaran berikutnya. Tepat di saat Lamashtu hampir menghabisi bocah kecil tersebut, nelayan yang panik itu melemparkan segala macam barang, termasuk sebuah pi*sau. Di luar dugaan, ternyata pisau itu membuat Lamashtu terluka, sehingga anak nelayan tersebut bisa selamat. Besar kemungkinan, karena kejadian itu, pi*sau bergagang Gaharu menjadi senjata pusaka keluarga si nelayan secara turun temurun."

"Jadi pemuda yang datang ke sini itu, keturunan nelayan dari pulau pesisir pantai?" tanyaku.

"Mungkin saja," jawab Silas. "Lamashtu sendiri menghilang setelah terkena pi*sau itu secara tidak sengaja, dan kembali bangkit berpuluh tahun kemudian, saat kita semua mengalahkan dan mengurungnya di gunung berapi."

Aku mengusap keningku pelan. Ada sebuah ingatan yang mencoba melesak keluar, namun sekuat tenaga kutahan. 'Terhitung sudah empat kali Lamashtu bangkit. Saat aku masih kecil, sesaat setelah aku mengha*bisi hampir semua penduduk pulau pesisir pantai, saat aku serta tiga elemen bumi mengalahkannya dengan menggunakan Pazuzu, dan terakhir saat ini, di mana Lamashtu menggunakan Siren sebagai kaki tangan,' aku berbicara dalam hati.

"Zexlys? Ada masalah?" tanya Silas menelisik wajahku.

"Pergilah," ucapku pada Silas, tanpa menjawab pertanyaannya. "Ada sesuatu yang harus kuketahui."

Silas hanya menatapku diam, sebelum bangkit dan berjalan ke luar dari Memento Mori.

***

Aku menundukkan kepala, berusaha menahan sensasi berpendar di dalam tubuh setelah meneguk segelas penuh cairan berwarna merah pekat. Kali ini bukan air delima, melainkan darah sungguhan. Dengan nekat aku pergi ke bank darah sesaat setelah Silas pergi.

Sebuah bola kristal terletak tidak jauh dari jangkauan tanganku, dan perlu keberanian lebih untuk menyentuhnya. Setelah membulatkan tekat, aku mengulurkan tangan ke permukaan bola tersebut dengan mata tertutup.

Sensasi dingin mulai menjalari tubuh, bersamaan dengan datangnya ingatan, pada saat ayah meninggalkanku di pantai, untuk memancing Lamashtu keluar.

Plash!

Napasku tercekat saat Lamashtu mendekap tubuhku erat dari belakang. Mataku melihat nanar ke segala arah, untuk mencari sosok ayah.

"Tangkapan yang luar biasa! Seekor anak naga akan semakin memperkuat ilmu yang kumiliki," ucap Lamashtu lirih, di dekat telingaku.

Aku memberontak untuk melepaskan diri. Namun, pelukan erat wanita itu semakin membuat tubuhku sulit bergerak.

"Malas animas fuge a facie terrae ... Malas animas fuge a facie terrae ... Malas animas fuge a facie terrae ... (enyahlah jiwa-jiwa jahat dari muka bumi)"

Dekapan Lamashtu mengendor saat ayah muncul dan berulang-ulang mengucapkan mantera yang tidak kumengerti artinya. Di luar dugaan, wanita itu melemparku ke arah pepohonan. Aku menutup mata saat tubuhku menghan*tam sebuah batu besar.

Di langit, petir sudah menyambar dan menimbulkan suara menggelegar.

"Kita bertemu lagi, Zavion!" Lamashtu berkata di antara gemuruh petir. "Aku bertanya-tanya, sebesar apa nyali yang kamu miliki hingga berani mendatangiku tanpa tiga penguasa elemen bumi yang lain."

"Tidak ada tempat untuk jiwa-jiwa yang jahat di dunia. Enyah dan meleburlah selamanya menjadi debu! Malas animas fuge a facie terrae (enyahlah jiwa-jiwa jahat dari muka bumi)!" Ayah berteriak dan membuat petir berkali-kali menyambar tubuh wanita itu.

Tubuh wanita itu jatuh bersimpuh di atas pasir, namun seringai lebar terbit di bibirnya. Ia melayang mendekati ayah, sesaat setelah bangkit. Keduanya tenggelam dalam pusaran angin yang membuat pasir menutupi sosok mereka berdua. Di langit, petir semakin menggila dan menyambar berkali-kali ke dalam pusaran angin tersebut.

Setelah cukup lama, tubuh ayah terpental dan jatuh tidak jauh dari tempatku.

"Gladium draconis! exstingue omnes animas malas! (pi*sau naga! musnahkan semua jiwa yang jahat)!" seru ayah berulang-ulang sembari membuka telapak tangannya.

Aku menatap tidak percaya, saat sebuah pi*sau bergagang kayu muncul secara tiba-tiba di telapak tangan ayah. Dengan pi*sau itu, ia kembali maju dan bertarung dengan wanita itu. Pusaran angin dan petir kembali menyelimuti tubuh keduanya, dan berakhir dengan sebuah ledakan kencang. Hal terakhir yang kulihat adalah sosok ayah yang tergeletak di atas pasir, dan sosok wanita itu yang memegang luka di dadanya. Dengan teriakan penuh kesakitan, wanita tersebut menghilang entah ke mana.

Berusaha sekuat tenaga untuk mendekati ayah, nyatanya aku hanya bisa merangkak pelan. Tangan ayah masih menggenggam sebilah pi*sau berlumur cairan berwarna hitam pekat. Tepat saat aku menyentuh ayah, tubuhnya luruh dan berubah menjadi debu berkilauan sebelum ditebangkan angin. Sosok ayah menghilang dan hanya meninggalkan sebilah pi*sau di atas pasir.

Aku mengambil pi*sau itu dan bangkit berdiri sebelum berjalan tak tentu arah untuk mencari ayah. Sinar matahari yang baru saja terbit, membuat mataku silau dan kepalaku pening. Sepasang tangan lembut meraihku, saat tubuh ini hampir terjatuh kembali. Sosok seorang wanita, memandangku dengan tatapan khawatir, sesaat sebelum aku kehilangan kesadaran, dengan sebilah pi*sau bergagang kayu yang masih kupegang.

***

"Kyaaaa!" Aku menjerit sekuat tenaga disusul dengan suara petir yang menyambar di luar sana. Tanganku sudah lepas dari bola kristal, namun kilasan ingatan masa lalu tetap tertinggal di kepalaku.

Dengan napas terengah, aku berusaha menenangkan diri. Begitu tenang, suara petir di luar pun perlahan menghilang. Aku tercekat dengan kenyataan yang baru saja kulihat.

Saat menoleh, netraku secara tidak sengaja menatap pi*sau bergagang kayu Gaharu di atas meja. Setelah menimbang sesaat, aku meraih pisau tersebut dan menaruhnya di telapak tangan.

"Gladium draconis! Exstingue omnes animas malas! (pisau naga! musnahkan semua jiwa yang jahat)!" seruku dengan rasa was-was.

Aku membolakan mata dan menahan napas saat melihat pi*sau di telapak tanganku melebur perlahan, lalu masuk ke dalam tangan. 'Pisau ini milik ayah,' batinku lirih di antara perasaan tidak percaya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!