Episode 9

"Udah denger cerita yang lagi rame, belum?"

"Cerita tentang apaan?"

"Tentang seorang perempuan yang suka keliling di jalan pas tengah malem, sambil menyeret peti mati."

"Emang siapa perempuan itu?"

"Ih, ya ngga tau! Yang jelas perempuan itu bukan manusia. Jadi ceritanya, ada bapak-bapak yang di suatu malam ngga bisa tidur. Dia keluar kamar, terus nyalain tivi. Pas menjelang tengah malem, kedengeran suara gruduk-gruduk dari luar. Karena penasaran, si bapak ngintip di jendela, ngga taunya, ada seorang perempuan yang penampilannya acak-acakan, lagi berjalan sambil nyeret peti mati di belakangnya pake tali."

"Ih, serem banget sih!"

"Emang. Itu kenapa, aku sekarang milih tidur cepet. Daripada pas masih melek ngedenger suara kaya gitu. Kan serem. Eh, Kak, ini semua jadi berapa?"

Aku sontak mengangkat wajah dan menatap kedua orang gadis yang sudah berdiri di depan meja konter. Untuk sesaat tadi, aku sempat fokus mendengar percakapan mereka. "Dua puluh ribu," jawabku pelan.

Setelah memberikan uang pas, keduanya meninggalkan Memento Mori dan menyisakan suara dentingan seperti biasa.

"Perempuan pembawa peti mati? Menarik." Aku tersenyum sembari menggelengkan kepala pelan.

***

Tepat jam sebelas malam, saat aku hampir mematikan lampu di toko, seorang wanita muda mengetuk pintu dengan tergesa-gesa. Di wajahnya, aku bisa melihat raut khawatir yang cukup kentara.

"Maaf, tapi toko udah tutup," ucapku membuka pintu sedikit.

"Aduh, maaf Kak. Saya mau beli gunting kecil. Barangkali di toko ini ada."

"Gunting kecil?" tanyaku balik sembari membuka pintu lebar-lebar dan memintanya duduk di kursi tempatku biasa minum teh. "Tunggu sebentar. Saya cari dulu."

Aku berjalan menuju ke pintu hitam. Ruangan di balik lintu hitam, adalah ruangan di mana aku menaruh beberapa stok barang yang akan dijual. Ruang pribadiku sendiri, terletak di bawah tanah. Setelah menemukan apa yang dicari wanita itu, aku kembali menghampirinya.

"Untung ada!" serunya dengan raut lega.

"Emang benda itu masih berguna buat ngelindungin kandungan?" tanyaku mulai penasaran.

Wanita itu terkejut dengan mata membola. "Dari mana Kakak tau kalau saya lagi hamil?"

"Nebak aja. Biasanya orang hamil suka membawa gunting kecil ke mana-mana," balasku datar.

"Iya Kak. Saya kerja di pabrik, dan sering pulang malam karena shift. Itu kenapa, saya nyari gunting kecil. Seperti apa yang disuruh ibu saya."

"Oh gitu. Rumah kamu sendiri, jauh dari sini? Bukannya bahaya kalau jam segini kamu ngga langsung pulang?" tanyaku lagi.

"Ngga terlalu jauh. Sekitar sepuluh menit dari sini, Kak. Ini berapa harganya?"

"Gratis. Saya ngga ngejual gunting. Itu gunting pribadi saya, tapi masih baru kok. Bisa kamu pakai kalau mau," jawabku.

"Makasi banyak, Kak," ucapnya sembari berdiri. Dengan spontan aku menyentuh perut wanita itu, yang membuatnya kembali terkejut.

"Salus et bonitas maneat bonis animabus (semoga keselamatan dan kebaikan terus bersama dengan jiwa-jiwa yang baik)," bisikku lirih.

"Apa, Kak?" tanyanya pelan. Aku hanya diam sembari tersenyum datar.

"Oh saya ngerti. Semoga Kakak segera hamil kaya saya, ya? Terima kasih buat guntingnya." Ia melambai sebelum keluar dari tokoku. Saat sosoknya sudah tidak terlihat, aku tertawa terbahak-bahak.

***

Hari ini tokoku mendapat serbuan dari pembeli. Entah siapa yang memulai, tapi pada akhirnya Memento Mori terkenal dari mulut ke mulut sebagai toko yang menjual banyak barang-barang jaman dulu. Cukup banyak barang yang harus kupesan kembali karena stok yang semakin menipis.

Dari banyak pengunjung yang datang, semua bercerita tentang satu hal yang sama. Cerita tentang seorang perempuan yang berkeliling di tengah malam dengan menyeret sebuah peti mati. Aku sempat bertanya-tanya dalam hati, apakah sosok perempuan tersebut adalah Lamashtu. Namun, aku kembali ingat jika pergerakan Lamasthu tidak terdeteksi. Ia biasanya menandai dan mengikuti korbannya, selama beberapa waktu sebelum menculiknya. Lagipula, aku belum mendengar jika perempuan penyeret peti mati itu sudah memakan korban.

Karena seharian udara cukup panas, aku memutuskan menurunkan sedikit hujan untuk mendatangkan hawa sejuk ketika menutup Memento Mori dan bermaksud pergi ke ruang bawah tanah.

Tapi tenyata, alunan suara hujan malah membuatku mengurungkan niat dan malah mengambil sebuah payung. Aku jadi sangat ingin menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan dan menikmati percikan air hujan di luar sana. Dengan tudung sweater yang sudah menutupi kepala, kakiku melangkah pelan di bawah busur hujan yang semakin rapat menghunjam bumi.

Deretan toko-toko berkonsep jaman dulu sudah tutup semua, dan terlihat gelap. Satu-satunya penerangan, hanya berasal dari lampu jalan. Di jalan blok sebelah, tepatnya di depan pertokoan yang modern, beberapa orang sudah bersiap untuk pergi tidur di emperan sebuah toko. Melihat para tunawisma meringkuk kedinginan, aku mengibaskan tangan pelan dan secara cepat, hujan berhenti turun sehingga membuatku menutup payung yang kupegang.

Saat akan kembali ke toko, sesosok bayangan hitam yang berjalan pelan menarik pandangan mataku. Sosok itu berjalan menjauhi kompleks pertokoan dan berbelok ke arah pemukiman penduduk. Tidak lama, suara gaduh dari sebuah benda yang bergesekan dengan aspal jalan menyapa indera pendengaran.

Karena malas berjalan lebih jauh, aku memutuskan berbalik dan kembali ke toko.

***

"Serem banget deh! Si Entin semalem ketemu sama perempuan pembawa peti mati pas pulang kerja. Kerena hujan, dia terlambat sampai di rumah," ucap seorang ibu pada teman sebayanya.

"Iya. Saya juga denger Jeng. Kata Entin, perempuan yang nyeremin itu udah narik tangan dia, tapi batal karena ada cahaya yang keluar dari balik jaketnya. Pas Entin liat, cahaya itu berasal dari gunting kecil yang dibeli di toko ini," jawab teman ibu itu seraya menoleh padaku.

Seketika aku langsung menunduk dan bersikap seolah tidak mendengar pembicaraan mereka berdua, hingga keduanya menghampiriku.

"Eh, Kakak! Saya mau dong gunting kaya yang si Entin punya. Lumayan buat jaga-jaga kalau si nenek pembawa peti lewat depan rumah."

"Iya! Saya juga mau dong Kak! Udah takut banget di rumah. Mana suami saya kerjanya malem."

"Sayangnya ngga ada benda kaya gitu di sini, Bu. Mungkin orang yang barusan ibu omongin salah. Saya ngga ngejual gunting, apalagi yang ada lampunya. Kalau topeng Ultraman yang bisa nyala, ada tuh di rak itu," jawabku seraya menunjuk rak tempat mainan dengan daguku.

Keduanya memandangku sinis sebelum menyerahkan beberapa barang yang mereka beli.

"Lima puluh lima ribu," ucapku lirih.

Mereka pergi setelah mengambil kasar barang yang sudah kumasukkan ke dalam sebuah paperbag bertuliskan nama toko ini.

***

Grudug grudug grudug!

Sesuai perkiraanku, sosok yang kutunggu akhirnya lewat di jalan depan toko Memento Mori, tepat menjelang tengah malam. Aku yang sedang menyesap secangkir teh, langsung membuka pintu yang menimbulkan suara berdenting khas.

"Hei!" panggilku pada sosok perempuan berkebaya jaman dulu dan menarik sebuah peti mati di belakangnya. "Ngga cape keliling terus nyari mangsa? Oh iya, ngga bisa dapet mangsa ya gara-gara gunting yang saya kasih kemarin?"

Pada saat seorang wanita hamil datang mencari gunting ke tokoku pada tengah malam beberapa waktu yang lalu, aku langsung bisa melihat jika ada sesuatu yang aneh. Janin yang dikandung wanita itu, bukanlah miliknya sendiri.

Dan secara kebetulan, wanita itu mencari gunting yang menurutnya bisa memberikan perlindungan dari gangguan jiwa jahat. Padahal aku tau. Sangat tau, jika gunting itu bisa digunakan dalam ritual, untuk memotong tali plasenta seorang ibu hamil dengan janin yang dikandungnya, agar lebih mudah dicuri.

Sosok itu menyeringai setelah membalikkan badannya dan menatapku tajam.

"Kamu juga yang menyebarkan kabar palsu, kalau kamu ketemu sama perempuan penarik peti mati. Padahal, sosok perempuan itu adalah kamu sendiri. Kamu mencuri janin milik orang lain, dan terus mencuri untuk selanjutnya dijadikan tumbal," aku berkata sembari menyeringai serta berjalan mendekatinya. "Dan malam ini, kamu datang ke sini karena kesal tidak bisa melukai janin wanita lain dalam perut kamu itu, untuk ritual."

Di luar dugaan. Peti mati yang berukuran cukup besar itu melayang dan menghantam tubuhku dengan kencang hingga jatuh menimpa aspal.

"Ish nyebelin!" makiku sembari membersihkan baju. "Itu kenapa, saya paling benci dengan manusia yang bersifat jahat. Jahatnya manusia melebihi jahatnya jiwa-jiwa yang paling jahat sekalipun!"

Tepat ketika aku selesai bicara, sosok itu mence*kik leherku dengan sangat kuat, sehingga napasku terputus dan emosiku seketika terbit. Dengan satu kibasan tangan, ce*kikan itu terlepas dan membuatnya terdorong mundur.

"Tidak ada tempat untuk jiwa-jiwa jahat di dunia ini! Pergi dan enyah dari muka bumi, atas nama penguasa alam semesta. Malas animas fuge a facie terrae (enyahlah jiwa-jiwa jahat dari muka bumi)!" teriakku sebelum sebuah kilat petir menyambar sosok di depanku, hingga terbakar habis dalam sekejap bersama dengan peti matinya, dan meninggalkan sekumpulan cahaya kecil putih yang melayang.

"Revertere bonae animas ad vitam (kembalilah jiwa-jiwa yang baik kepada kehidupan) ... Revertere bonae animas ad vitam ... Revertere bonae animas ad vitam ...," ucapku berulang-ulang sampai beberapa titik cahaya kecil itu naik ke atas langit dan berpencar ke segala arah. Setelahnya, malam kembali hening dan aku menghembuskan napas panjang.

"Dasar makhluk nyusahin!" Aku memaki lirih sebelum kembali masuk ke dalam toko.

Terpopuler

Comments

Andini Andana

Andini Andana

teh othor, abi kepo uey, mantranya berasal dr bahasa apa?😁

2023-01-24

5

Ai Emy Ningrum

Ai Emy Ningrum

aku skip mantra2 nya..sieun 🙀😱🙈

2023-01-24

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!