Episode 10

Aku sedang menatap pi*sau bergagang kayu gaharu di tanganku sembari minum teh, sesaat setelah Memento Mori buka di pagi buta.

Tring!

Suara dentingan yang khas ketika pintu toko terbuka atau tertutup, terdengar jelas di telinga. Namun, pintu masih tidak bergerak dari tadi.

"Bisa ngga sih? Kalau dateng itu kaya manusia normal," tanyaku masih menatap pi*sau.

"Hehehe ...."

Suara kekehan terdengar dari balik punggungku dan menampilkan sosok Silas, Kayes dan Orvyn, saat aku berbalik.

"Ada angin apa sampai-sampai naga penguasa udara, penguasa api dan penguasa tanah datang ke sini secara bersamaan?" tanyaku lagi.

Ketiganya mendekat dan duduk di kursi depanku. Wajah mereka terlihat tegang sebelum Silas membuka suara. "Sampai hari ini, sudah tiga Siren yang kami musnahkan."

Aku mendesah pelan dan melempar pi*sau ke atas meja.

"Kamu sudah mempersiapkan diri untuk melawan Lamashtu?" tanya Orvyn.

"Ngga. Pisau itu saya dapat dari seseorang yang hampir merampok toko ini beberapa waktu lalu."

"Manusia? Membawa pisau dari kayu gaharu? Kamu bercanda?" timpal Kayes.

"Ngga. Emang dia bawa pi*sau itu, dan meninggalkannya di sini," jawabku menatap mereka satu persatu. "Ada berita lain? Kalau ngga ada, enyah! Sebentar lagi pembeli akan datang."

"Zexlys galak!" seru Orvyn sembari berdiri, diikuti Silas dan Kayes, sebelum ketiganya menghilang dan meninggalkan suara dentingan bel di pintu tanpa membukanya.

Dan aku menghembuskan napas panjang seketika.

***

Dalam setengah jam aku sudah mengendarai mobilku menuju ke pesisir pantai yang belum dijamah manusia. Dan hampir tengah hari, ketika pada akhirnya aku menyelami lautan yang berombak besar dengan tubuh asliku yang berwarna keperakan. Arus di bawah laut lebih kencang daripada ombak yang terlihat di permukaan. Di musim ini, para nelayan biasanya berhenti sementara untuk melaut.

Setelah menyelami lautan lepas cukup lama, aku kembali ke permukaan dan dengan cepat menuju ke sebuah pulau yang bahkan tidak terdapat dalam peta. Di pulau itu, pernah ada insiden pesawat jatuh yang menewaskan seluruh penumpang dan tidak pernah ditemukan hingga akhir ini. Pulau tersebut adalah tempat tinggal para Siren yang tersisa, yang jumlahnya tidak banyak.

Para Siren yang sedang duduk di atas bebatuan terjal langsung menghampiri, begitu melihat kehadiranku. Aku keluar dari air dengan sosok manusia dan berjalan ke arah mereka yang sudah menunduk.

"Panggilkan Salana," ucapku datar pada mereka.

Tidak berapa lama, sesosok gadis cantik berambut ikal hitam seperti warna sayap di punggungnya, datang dengan menunduk. Aku menyentuh kepala gadis itu untuk sesaat, dan mengembalikan suaranya.

"Jelaskan ada apa." Aku menatap wajahnya lekat. "Kenapa bisa kawanan Siren membantu Lamashtu dalam kejahatan? Tidakkah kalian jera akan hukuman yang sudah berkali-kali kuberikan? Apa perlu aku memusnahkan kalian semua saat ini juga?!"

"Maaf. Saya bisa menjelaskan. Ikutlah dengan saya ke dalam, dan saya berjanji untuk menceritakan semuanya pada anda."

Aku mengangguk dan berjalan di belakang Salana, menuju ke sebuah gua gelap dan berbatu.

"Kami semua tinggal terpencil di pulau ini dengan damai setelah anda menghukum kami semua. Namun, beberapa Siren memberontak dan terbujuk rayuan Lamashtu, saat mereka pergi ke dekat daratan," Salana mulai bercerita.

"Mereka dirayu, dan diiming-imingi akan menjadi manusia seutuhnya, jika sudah membantu Lamashtu dengan menyembunyikan beberapa anak yang sudah diculik. Sayangnya, mereka bertindak terlalu jauh, sampai-sampai ikut serta dalam penculikan dan ...."

"Apa?" tanyaku mulai gusar.

" ... Dan ikut memakan anak-anak tersebut karena dipengaruhi Lamashtu. Beberapa dari mereka merasa jika apa yang sudah mereka lakukan salah, dan sempat kembali ke mari. Namun Lamashtu membinasakan mereka."

"Berapa banyak kawanan Siren yang pada awalnya ikut dengan Lamashtu?" tanyaku lagi.

"Lima belas Siren. Lima di antaranya sudah dimusnahkan oleh Lamashtu, sesaat setelah mereka meninggalkan tempat ini, sesudah menyelamatkan anak-anak yang diculik."

"Di mana anak-anak itu?" tanyaku dengan suara menekan.

"Ada di dalam sana. Kami menyembunyikannya dari Siren lain yang sudah menjadi kaki tangan Lamashtu."

"Gadis baik." Aku tersenyum dan mengusap kepala Salana lembut. "Walaupun jumlah Siren di pihak Lamashtu sudah tinggal tujuh, tapi tetap saja. Kalian harus waspada untuk sesuatu yang jahat."

"Tujuh Siren? Bukannya sepuluh?" tanya Salana mengerutkan kening.

"Bukan. Tiga dari sepuluh Siren yang tersisa sudah dimusnahkan oleh Silas, Kayes dan Orvyn," tambahku.

Mata Salana membola dan menatapku tidak percaya. "Penguasa tiga elemen bumi?"

"Ya! Separah itu perbuatan kawanan Siren sehingga tiga naga penguasa elemen bumi sampai harus turun tangan."

Salana menunduk dan mendesah pelan. "Saya tidak tau akan hal tersebut, Zexlys."

"Itulah kenapa, aku memberitahumu. Pastikan Siren yang berada di sini tidak pindah ke kubu Lamashtu. Jika tidak, aku tidak bisa mencegah kemusnahan mereka di tangan para naga yang lain. Kalian memang berada dalam lingkaranku. Tapi, aku tidak bisa mentolerir kejahatan sekecil apapun."

"Ya, aku mengerti," balas Salana.

"Pindahlah dari sini, dan bersembunyi. Pergerakan Lamashtu terbatas, itu kenapa, ia membutuhkan para Siren untuk menjadi kaki tangan. Dan bawa anak-anak itu ke mari. Aku akan mengembalikan mereka ke daratan."

Salana mengangguk dan pergi ke bagian gua terdalam, sebelum kembali ke hadapanku dengan membawa tiga orang anak kecil yang berusia sekitar empat sampai lima tahun. Kami semua kembali ke pantai, dengan anak-anak tersebut dalam dekapan para Siren.

"Kupulihkan suara kalian semua. Setelah ini, pergilah menjauh dari pulau ini, dan jangan sampai meninggalkan jejak."

Selena dan para Siren yang lain mengangguk mengerti. Mereka menaruh ketiga anak yang tidak sadarkan diri itu di atas pasir putih.

Aku berubah wujud kembali menjadi naga, dan menaruh anak-anak kecil tersebut dalam mulutku. Dengan satu kilatan petir yang memekakkan telinga, aku kembali menyelami lautan untuk sampai di pulau pesisir pantai.

Kejutan lain menantiku sesampainya di pesisir pantai. Tepat ketika aku meletakkan ketiga anak tersebut di atas pasir dan berubah wujud menjadi manusia, alunan harpa yang memekakkan telinga membuat kepalaku berdenyut seketika.

Dua sosok manusia sedang memegang harpa dan seperti sengaja, mereka semakin liar memainkan musik kematian.

"Ke mana sayap kalian?" tanyaku menyeringai di antara alunan musik. Tanganku mengibas sehingga membuat kedua harpa yang sedang dimainkan, terlempar jauh ke arah laut.

"Mohon berikan anak-anak itu pada kami!" seru salah satu diantara mereka.

"Wow, bahkan Lamashtu bisa mengembalikan suara kalian," ucapku takjub sembari berjalan mendekat. "Tapi sayang, kalian semua ditipu mentah-mentah. Tidak ada sejarahnya seorang Siren, bisa menjadi manusia. Sadarlah hei! Ini bukan drama televisi atau cerita dongeng."

"Diam Zexlys! Kamu menjadi penguasa lautan karena Lamashtu menghabisi ayahmu. Itu berarti, kamu bahkan bukan tandingan Lamashtu," teriak salah satu Siren tepat di depan wajahku.

"Bisa jadi. Tapi sayangnya, yang berada di depanku saat ini adalah kalian, bukan Lamashtu," seringaiku semakin lebar. Di langit, petir sudah menyambar-nyambar seakan sedang menunggu waktu yang tepat untuk mengenai keduanya.

Mereka saling berpandangan untuk sesaat, lalu bergerak cepat ke arah anak-anak yang tergeletak di pasir. Kuku tangan mereka yang tajam, hampir menghunjam dada salah satu anak, tepat di mana jantung berada.

Sret sret!

"Argh!"

Pisau bergagang kayu gaharu yang kulempar mengenai tangan mereka berdua dan berputar kembali ke tanganku. Keduanya mendesis kesakitan sembari menatapku tajam.

"Apa?" tantangku. Aku sengaja mengulur waktu karena ingin melihat, sejauh mana pisau bergagang kayu gaharu melukai mereka.

Krak!

Luka di tangan keduanya mengeras dan menimbulkan suara retakan yang menjalar di seluruh lengan. Dengan tersenyum sinis, aku berjalan menghampiri dan mengatakan kalimat, yang sudah kuhapal di luar kepala.

"Tidak ada tempat di bumi ini untuk setiap jiwa-jiwa jahat. Enyah dan jangan pernah kembali jika hanya bisa melakukan kerusakan. Atas nama penguasa alam semesta, menghilanglah dari dunia ini. Malas animas fuge a facie terrae (enyahlah jiwa-jiwa jahat dari muka bumi)!" teriakku lantang disertai suara petir yang menggila.

Jeder!

Tubuh keduanya tersambar petir dan terbakar hebat sebelum berubah menjadi debu yang terbawa angin.

"Menyebalkan, mataku kelilipan!" makiku kesal.

***

Netraku menatap keramaian di tepi pantai, di mana sekelompok manusia berseragam polisi sedang mengerubungi ketiga anak yang kutinggalkan. Aku menelepon ke kantor polisi beberapa saat lalu, alih-alih membawa mereka ke sana. Alasannya sederhana. Aku malas jika harus bertemu dengan orang banyak. Belum lagi, jika pihak kepolisian banyak bertanya, kronologi bagaimana aku bisa menemukan ketiga anak itu.

Setelah yakin jika anak-anak tersebut berada di tangan yang aman, aku berbalik dan pergi, menuju ke tempat mobilku diparkir.

Terpopuler

Comments

Andini Andana

Andini Andana

sisa 5 siren lagi

2023-01-24

4

Chauli Maulidiah

Chauli Maulidiah

keren sih ceritanya..

lanjutlah thor.

2023-01-24

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!