Episode 20

Sebuah mobil mewah berhenti, tepat di depan Memento Mori. Dari dalamnya, turun seorang gadis, yang waktu itu datang bersama gadis lain yang mencari pisau. Namun, kali ini ia datang dengan seorang pria muda berparas luar biasa tampan.

"Permisi, saya mau beli pisau yang seperti waktu itu," ucapnya dengan suara lembut. Pemuda di sebelahnya hanya diam dan melihat-lihat toko ini dengan pandangan antusias.

"Sebentar," sahutku singkat dan mengambil apa yang ia butuhkan.

"Kalau ada, saya mau beli dua atau tiga buah."

"Ada," aku menjawab dan menaruh tiga buah pisau serupa di atas meja konter.

"Tunggu sebentar." Gadis itu berjalan menuju rak, di mana banyak topeng yang biasa digunakan para penari dipajang. Matanya berbinar melihat satu persatu topeng yang ada, dan sesekali menyentuhnya pelan.

"Nduk Ayodya, waktu kita ngga banyak," tegur pemuda di depanku. Seolah tersadar, gadis itu kembali ke meja konter dan membayar pisau yang sudah berada di dalam paperbag. Dengan tersenyum, ia pamit keluar Memento Mori serta meninggalkan suara berdenting dari pintu yang tertutup.

***

Netraku memandang lekat mobil mewah yang berisi seorang gadis bernama Ayodya, serta pemuda yang tadi mampir ke tokoku. Saat ini, aku sedang duduk di bangku samoing pengemudi, di mana Silas sedang mengendarai mobilku.

"Ini jalan menuju ke sebuah hutan," ucap Orvyn pelan. Tidak ada yang menyahuti ucapannya, karena fokus menatap mobil di depan kami.

"Rumah sakit jiwa?" tanyaku tidak percaya, begitu melihat plang penunjuk jalan yang menunjukkan jika jarak untuk sampai ke rumah sakit jiwa, sekitar sepuluh kilometer lagi.

"Sepertinya gadis tadi adalah si kanibal yang diceritakan Ara, beberapa hari lalu," timpal Silas.

Ketegangan mulai mendominasi atmosfer, ketika jarak menuju rumah sakit jiwa sudah semakin dekat. Tidak sampai setengah jam kemudian, Silas memarkirkan mobil di sisi hutan, tepat di sebelah bangunan besar kuno bertuliskan rumah sakit jiwa. Mobil mewah yang membawa gadis itu, masuk ke dalam halaman rumah sakit lalu berhenti tepat di dekat pintu masuk bangunan.

"Ayo turun. Ingat Zexlys, jangan tampakkan dirimu," Silas memperingatkan.

Aku mengangguk dan mengikuti mereka untuk menghilangkan diri, sebelum berjalan pelan menuju bangunan, di mana gadis itu masuk.

"Aku bisa merasakan getaran Lamashtu di tanah. Samar, tapi aku sangat yakin," lirih Orvyn.

Aku, Silas dan Kayes menahan napas untuk sejenak, begitu mendengar ucapannya.

"Ayo," ajak Silas kembali berjalan. kami sampai di sebuah taman, di mana sosok Ayodya sedang berbincang dengan seorang gadis yang memakai seragam rumah sakit.

"Sepertinya, itu si psikopat yang diceritakan Rebel dan Ara," ucap Kayes yang membuatku mengangguk.

"Benar perkiraanku, Ara dijadikan umpan selanjutnya," sambungku tidak percaya.

"Betul. Lihat, orang-orang di belakang kita sedang menunggu waktu yang tepat untuk menyergap si kanibal," kekeh Orvyn.

Aku menoleh dan melihat beberapa pria sedang bersembunyi. Sebagian memakai baju bertuliskan perawat rumah sakit ini, sebagian lagi menggunakan baju biasa. Hatiku mencelos, ketika beberapa saat kemudian melihat Ara memasuki ruangan, di mana Ayodya dan si psikopat bernama Bella berada.

"Ayo!" ajak Orvyn. "Getaran Lamashtu semakin terasa."

Kami bergegas mendekati ruangan tempat Ara berada dan mengintai dari luar. Aku menunduk dan bisa mendengar, jika mereka bertiga sedang berbincang ringan, hingga lama kelamaan, acara bincang-bincang itu berubah menjadi pekikan.

"Lihat!" seru Silas terpana ke suatu titik di dalam ruangan. Aku medongak dan sontak menahan napas, ketika melihat Lamashtu mence*kik erat leher Bella dari samping.

Beberapa polisi bergerak cepat, berusaha masuk ke dalam ruangan itu ketika melihat Bella kejang-kejang tanpa sebab. Sayangnya, semua pintu terkunci. Di mata manusia biasa, terlihat jika Bella seperti terkena serangan jantung, tapi di mata kami, terlihat jelas jika itu adalah perbuatan Lamashtu yang mence*kik gadis itu.

Keadaan di luar cukup ramai oleh seruan untuk membuka pintu, namun Ayodya hanya tertawa lebar dan memgabaikan seruan itu. Ia menatap lekat Bella yang masih dice*kik Lamashtu, dengan penuh antusias. Di sisi lain, Ara sudah mundur menjauh, dengan air mata yang menderas.

"Buka pintunya atau kami dobrak!" seru seorang pria, setelah kami semua melihat jika si gadis psikopat sudah terkulai di atas meja.

Dengan gerakan cepat, Ayodya berdiri dan mengeluarkan pisau yang dibelinya dari tokoku, sebelum berjalan menghampiri Ara. Ia mencengkeram leher gadis malang tersebut dengan satu tangan, dan satu tangan lain memegang sebilah pisau yang ditodongkan tepat ke arah mata.

"Diam atau gadis ini korban selanjutnya!" teriak Ayodya membuat seruan untuk membuka pintu berhenti seketika.

Dengan pisau di leher Ara, Ayodya keluar dari ruangan dan berjalan menuju ke arah taman.

"Jika ada yang mengikuti, gadis ini akan kehilangan nyawa dalam waktu singkat!" teriaknya lantang.

Aku, Silas, Kayes dan Orvyn mengikuti Ayodya ke taman, di mana ia memukul kepala Ara dengan gagang pisau yang dipegangnya. Sontak, Ara jatuh bersimpuh di atas rumput.

"Itu target kita!" Seru Kayes.

Aku mengangguk mengiyakan. Setelah Ara terjatuh, Ayodya melukai telapak tangan gadis itu, lalu menggores telapak tangannya sendiri hingga darah terlihat mengalir deras dari telapak tangan keduanya.

Dengan cepat, Ayodya lalu menyatukan telapak tangannya dengan telapak tangan Ara, lalu menjilat darah yang mengalir, dengan rakus. Ara yang sudah sangat ketakutan,tidak bisa memberontak dan hanya bisa menangis.

Tidak lama, Ayodya bangkit dan mulai menari dengan bernyanyi kecil dalam bahasa yang baru kali ini kudengar. Tepat dibelakangnya, aku bisa dengan jelas melihat sosok Lamashtu yang tertawa.

Setelah menari cukup lama, tubuh Ayodya ambruk di atas rerumputan, bersamaan dengan tubuh Ara yang mengejang hebat. Kami berempat masih menunggu selama beberapa saat, hingga teriakan nyaring terdengar.

"Aku tidak bisa mengendalikan tubuh ini, Nyi!" lirih Ara dengan masih kejang-kejang. "Tolong aku, Nyi Anak Mas!"

Lamashtu berusaha menarik sesuatu dari kepala Ara, namun apa yang ia lakukan malah membuat gadis itu semakin berteriak kencang.

"Jangan lakukan itu! Sakit, Nyi!" teriak Ayodya yang bertubuh Ara, berulang kali.

Aku teringat Latica yang mengatakan, jika Lamashtu bisa dikalahkan, saat pengikutnya sedang berpindah raga. Apalagi jika pengikutnya memasuki raga seorang manusia, yang memiliki kelebihan dari alam semesta.

"Gladium draconis! exstingue omnes animas malas! (pi*sau naga! musnahkan semua jiwa yang jahat)!" seruku, dan tanpa aba-aba langsung maju ke arah Ara, bermaksud menghabisi jiwa Ayodya yang kini berada dalam tubuh gadis itu.

Brug!

Keputusan yang salah! Lamashtu membuatku terhempas keras ke tanah, setelah sebelumnya membentur batang sebuah pohon dengan sangat kencang. Melihatku yang terjatuh, ketiga naga lain maju untuk menghadapi Lamashtu. Kami berempat berulang kali melancarkan serangan bertubi-tubi.

Sambaran petir, kobaran api, pusaran angin dan getaran tanah tidak membuat Lamashtu goyah. Ia menahan semua serangan dengan tawa yang semakin memekakkan telinga.

Tanpa sengaja, aku melihat ke arah Ara, yang masih merintih kesakitan. Dengan segera aku menghampiri gadis itu, setelah menyerahkan Lamashtu pada tiga naga lainnya.

"Malas animas fuge a facie terrae (enyahlah jiwa-jiwa jahat dari muka bumi)!" teriakku sembari mencengkeram leher Ara dan menancapkan pisau naga tepat di jantung gadis itu.

Teriakan yang keluar dari mulut gadis itu bukan satu-satunya teriakan yang kudengar. Di belakang sana, teriakan yang tidak kalah kencangnya terdengar dari sosok Lamashtu yang sudah terbakar api oleh serangan Kayes. Pusaran angin dan juga getaran tanah membuat Lamashtu kesulitan untuk sekedar bangkit berdiri. Dengan pelan, aku berjalan menghampirinya dengan pisau naga dalam genggaman.

"Malas animas fuge a facie terrae ... Malas animas fuge a facie terrae ... Malas animas fuge a facie terrae (enyahlah jiwa-jiwa jahat dari muka bumi) ...," ucapku berulang-ulang.

"Malas animas fuge a facie terrae (enyahlah jiwa-jiwa jahat dari muka bumi)!" Aku berteriak lantang dan dengan kedua tangan, menancapkan pisau naga tepat di kepala Lamashtu. Dalam sekejap, sosoknya menggeliat kesakitan dengan teriakan yang semakin menggila, hingga sebuah ledakan, melempar tubuhku dan ketiga naga lain ke belakang.

Saat aku mendongakkan wajah, sosok Lamashtu sudah menghilang, dan digantikan oleh setumpuk debu.

***

Aku menutup surat kabar yang baru saja kubaca. Dari berita yang ditulis disitu disebutkan, jika gadis yang terluka saat dilakukannya penyergapan polisi pada para pelaku kanibalisme di sebuah rumah sakit jiwa, baru saja sadar tanpa kurang satu apapun, setelah koma selama hampir satu bulan.

Dengan senyum simpul, aku meraih cangkir teh dan menyesapnya perlahan. Mataku tanpa sengaja melihat ke arah pintu, menanti pembeli selanjutnya yang akan datang ke Memento Mori.

T A M A T

Terpopuler

Comments

Andini Andana

Andini Andana

issh kirain bakal panjang Memento Mori ini thor..dgn kasus dr customer yg belanja disana yg beragam..
atau teh Regina mau bikin sesion 2 nya juga?
#ngarep😁

2023-01-28

4

Andini Andana

Andini Andana

wah si budhe udh pindah ke raga pemuda tampan 🙈

2023-01-28

5

Ai Emy Ningrum

Ai Emy Ningrum

iisshh udah tamat ajah ...cepet amat blom jg belanja di Memento Mori nya 😊☺️

2023-01-28

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!