Kinan menundukkan kepala, tidak bersuara sama sekali sudah sejak tiga puluh menit lalu. Beni membawanya keluar untuk yang pertama kalinya itu juga karena permintaan Kinan sendiri.
Kafe Kincir adalah tempat yang dipilih pria itu. Terdapat beberapa pondok yang di depannya disuguhi pemandangan kolam berenang. Siang hari, kolam tersebut dibuka untuk umum. Di sekitar kolam terdapat beberapa ruangan yang pintunya ditutup rapat. Pemandian uap. Di sebelah selatan kolam ada ruangan luas yang merupakan tempat karaoke. Lantainya terbuat dari papan. Tempat tersebut selalu bergetar atau mungkin bergoyang karena kincir yang selalu berputar di bawah bangunan tersebut. Kafe Kincir merupakan kafe yang cukup terkenal.
Seorang pelayan datang menghampiri pondok mereka.
"Tinggalkan saja menunya, nanti aku antar," ucap Beni kepada pelayan tersebut.
"Kinan mau pesan apa?"
"Apa saja."
"Masa apa saja? Coba Kinan baca-baca dulu menunya. Banyak makanan enak."
"Aku tidak lapar."
"Tidak harus lapar baru makan. Ada ayam goreng, telur gulung, banana fritters, ini andalan mereka. Ada es krim. Mihun di sini juga enak. Atau Kinan mau nasi goreng?"
Kinan bergeming. Otaknya tidak bisa berkonsentrasi. Menu makanan itu tidak lantas bisa mengalihkan pikirannya dari pertanyaan sejak kapan Beni berdiri di sana? Apa saja yang sudah didengar oleh pria itu Apa Beni melihat saat ayahnya memukulnya?
"Ya, sudah, aku saja yang pesan." Beni pun memilih Mihun goreng, nasi soto, es krim, banana fritters, juga jus buah. Pesanannya itu merujuk pada informasi yang diberikan Nuri. Nuri menjelaskan kepadanya bahwa Kinan menyukai mihun juga segala sesuatu yang manis, terutama cokelat.
"Aku antar pesanan kita dulu. Jangan melamun, nanti kesambet." Beni mengacak lembut kepalanya sebelum beranjak meninggalkan Kinan.
Tidak sampai tiga menit, Beni sudah kembali ke pondok mereka.
"Hei," Beni duduk di sampingnya.
Kinan hanya menyunggingkan senyum terpaksa. Jujurly, ia sangat malu pada Beni kerena pria itu harus menyaksikan perdebatannya tadi dengan sang Ayah.
"Hmm, kamu sejak kapan di sana?" Akhirnya Kinan memberanikan diri untuk bertanya.
"Di mana?" Beni menggaruk hidungnya yang mancung. Terlihat jika pria itu sebenarnya mengerti arah pertanyaan Kinan, hanya saja ia sedikit berbasa basi agar tidak terlalu tegang.
"Depan pintu."
"Oh, tidak lama. Aku baru saja sampai saat Kinan menoleh."
"Jangan bohong."
"Benar."
"Jujur!" Kinan mengunci pergerakan manik Beni.
"Oke, aku jujur. Aku sudah di sana saat Ayah kamu bertanya tentang sopan santun."
Kinan menyipitkan mata, memperhatikan keseluruhan wajah Beni untuk melihat kejujuran pria itu.
"Oh," Kinan merasa sedikit lega karena pria itu tidak melihat saat ayahnya memukul punggungnya.
"Aku juga sering bertengkar dengan Bapak."
"Karena apa?" Kinan tidak mungkin berharap Beni bertengkar dengan ayahnya karena perkara kredit utang. Melihat profil pria itu, tidak mungkin Beni dan keluarganya mengalami kesulitan ekonomi.
"Banyak hal. Kalau mau cerita, cerita saja."
"Entahlah."
"Jangan dipendam sendiri."
"Ya mau bagaimana lagi. Tidak mungkin juga berkoar-koar. Sekalinya berkoar ya seperti tadi. Ribut sama Ayah."
Beni tersenyum, kemudian berkata. "Cerita sama aku tidak akan berujung ribut. Aku akan mendengar keluh kesahmu. Siapa tahu aku bisa bantu."
Kinan menggeleng, tidak mungkin ia membeberkan masalah mereka. Beni akan ilfil melihatnya jika tahu masalahnya.
Lah, memangnya kenapa jika Beni ilfil? sebuah bisikan mengejutkan Kinan. Bisikan yang benar apa adanya. Apa pedulinya jika Beni ilfil? Bukankah mereka tidak memiliki hubungan apa-apa.
"Makasih," Kinan memaksakan diri untuk tersenyum.
"Aku serius, kalau Kinan ada masalah, cerita sama aku saja."
"Iya, Ben."
"Jadi karena apa?"
"Apa?"
"Kinan bertengkar dengan Ayah karena apa?"
"Aku belum bisa cerita. Lain kali mungkin. Tumben kamu cepat datang? Tidak kerja?"
"Kerja. Aku cepat pulang. Kangen sama kamu."
"Gombal."
"Serius."
"Modus."
"Ya mau bagaimana lagi jika Kinan tidak percaya." Beni tersenyum tipis, tidak berusaha untuk meyakinkan Kinan sama sekali.
"Beni tiap hari datang ke rumah apa tidak ada yang marah?"
"Marah? Siapa yang mau marah?" Beni mengernyit bingung.
"Pacarnya mungkin."
"Ouh," Beni tergelak. "Aku belum punya pacar. Adanya PDKT-an."
"Oh ya?" Senyum di wajah Kinan memudar. Artinya ada gadis lain yang menjadi incaran Beni.
"Ya. Sudah cukup lama PDKT-an. Susah buat meluluhkannya."
"Oh."
"Belum beruntung mungkin. Usahanya masih kurang."
"Hmm, ceweknya pasti cantik."
Beni tersenyum penuh arti kemudian menganggukkan kepala, "Cantik."
Wajah Kinan bersemu merah meski ia tahu pujian kata cantik itu bukan ditujukan kepadanya. Wajah putihnya memancarkan semburat merah, pun dengan hatinya menyemburkan bara kecemburuan atas pujian Beni yang ditujukan kepada gadis lain.
"Good luck dah."
"Makasih." Beni kembali tersenyum penuh arti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
R Suryatie
udh ada rasa cemburu berarti Kinan mulai menyukai Beni
2023-02-10
2
moemoe
Dmn ni bg??? Aku d medan gk pernah liat yg kek gini. Kli cafe goyang2 bukn krn kincir, krn yg lain 😂
2023-02-08
0
Kenny sihyanti
PDKT an tapi ujung²nya sakit hati
2023-02-04
0