Berita itu tersebar dengan begitu cepat. Rani si pelacur itu mengadu kepada ayahnya tentang caci maki yang ia lontarkan kepada wanita itu. Ibu Fatimah hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah putrinya.
Ayahnya mendatanginya. "Kinan, kamu memaki Tante Rani?"
"Tante? Aku tidak memiliki tante yang namanya Rani, tapi aku tahu ada pelacur yang namanya Rani. Si pelacur itu mengadu?" Kinan tidak menoleh kepada ayahnya sama sekali. Ia telentang di sofa sambil membaca komik.
"Kinan!"
"Iya, kenapa? Ayah mau marah, hah?" Kinan duduk dan melempar komiknya ke atas meja.
"Tidak," sahut ayahnya sambil berlalu.
Kini, Kinan mengerti apa yang dirasakan ibunya setelah menyaksikan sikap ayahnya yang brengsek. Menutup mata, telinga dan mulut, dalam kata lain bersabar, itulah pilihan ibunya.
Kinan juga tidak bisa berbuat banyak. Mempermalukan istri sirih ayahnya tidak membawa dampak apa-apa. Urat malu si Rani dan ayahnya sudah putus. Cukup tahu, hanya itu yang Kinan ucapkan dalam benaknya. Keluarga ayahnya benar-benar tega, sama teganya dengan ayahnya. Mereka hanya diam melihat ibunya diperlakukan tidak adil seperti ini.
Setelah kebangkrutan ayahnya, ibunya juga mulai bekerja serabutan demi bisa membiayai sekolah Kinan dan adik-adiknya, membayar SPP yang harus dibayar setiap bulan. Kinan menjadi siswa yang selalu dipermalukan di depan kelas hanya karena SPP yang selalu menunggak setiap bulannya. Hal itu membuatnya minder.
Di sekolah, ia hanya memiliki beberapa biji teman yang berasal dari kalangan yang tidak jauh berbeda darinya. Broken home.
Tidak ada kenangan manis sepanjang SMA. Di rumah, ia harus menyaksikan hubungan ayah dan ibunya yang tidak harmonis. Bagaimana bisa ibunya tetap melayani ayahnya dengan baik meski sudah mengetahui kebejatan ayahnya. Kinan muak melihatnya. Hati ibunya terbuat dari apa?
Di sekolah, mungkin beberapa dari teman sekelasnya tidak menyadari kehadirannya. Kinan hanya dikenal sebagai gadis yang selalu disebut namanya setiap bulan. Baik itu mengenai SPP yang selalu menunggak atau uang cicilan buku yang belum lunas. Kinan ingin masa-masa SMA ini cepat berakhir.
"Bu?"
"Ya?"
"Kinan tidak masuk sekolah hari ini."
"Kenapa?"
"SPP bulan lalu belum dibayar, Bu. Sekarang jatuh tempo pembayarannya. Dua bulan, Bu."
Ibunya terdiam seraya menarik napas panjang. Tidak bisa berkata apa-apa.
"Bu, Kinan nitip surat sama Nita, ya." Kinan menyerahkan surat yang dibungkus amplop airmail. Surat izin sekolah.
Ibunya menerima surat tersebut dan segera mengantarnya ke rumah Nita, teman satu sekolah Kinan yang rumahnya berada tepat di belakang rumah mereka.
Kinan merindukan masa-masa mereka tinggal di kampung. Meski tidak pernah mendapat uang jajan, tapi makan mereka tidak pernah absen. Ibunya selalu menyuruh mereka makan tiga kali sehari. Pagi, siang dan malam. Selalu ada lauk walau seadanya. Hidup sehat meski tidak ada lima sempurna.
Sekarang, di usianya yang sudah dewasa. Ia harus menyaksikan ibunya berutang demi ongkos ke sekolah, demi membeli beras berliter. Tidak ada lagi beras yang diberikan neneknya sejak mereka tinggal di sini. Kinan juga merasakan bagaimana pahitnya menyambut bulan ramadhan tanpa ada opor ayam atau pun rendang daging. Kehidupan di sini lebih pahit daripada di kampung.
Kondisi mereka membuat Kinan tidak suka bergaul. Kinan lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca komik seharian.
Miskin, itulah kata yang tepat menggambarkan hidup mereka. Tamat SMA, Kinan berjanji tidak akan melanjutkan kuliah lagi. Masa-masa di sekolah sudah cukup memalukan baginya.
Saat teman-temannya berganti seragam setiap kenaikan kelas, Kinan dan adik-adiknya belum tentu berganti kaos kaki. Sepatu sekolah rusak sudah hal biasa. Kaos kaki dikasih karet gelang agar tidak molor juga sudah ia lakukan. Tali tasnya entah sudah berapa kali putus dan dijahit ibunya kembali dan yang lebih memalukan, ketek seragamnya sudah berwarna kuning akibat burket. Kinan gadis yang mengenal deodorant tapi tidak mampu membeli.
Masa-masa sekolah adalah mimpi buruk baginya. Kemiskinannya terpapar nyata!
Kelulusan SMA di tahun 2008 adalah kemerdekaan baginya! Masa-masa memalukan itu berakhir sudah. Ia tidak perlu lagi mengkhawatirkan namanya dipanggil setiap bulan. Tidak perlu menyembunyikan kaos kakinya yang dikasih karet gelang.
"Bu, Kinan jadi TKI saja ya, Bu." Kinan menyamperi ibunya yang sedang memotong kuku di teras.
"Keinginan macam apa itu?"
"Dengar-dengar, jadi TKI bisa memiliki uang banyak, Bu."
Ibunya terbatuk-batuk. Akhir-akhir ini, batuk Ibunya lebih parah dari sebelumnya. Ibunya memang memiliki riwayat TBC. Penyakit itulah yang membuat ibunya kurus kerempeng. Kalau di kampung, penyakit ibunya disebut dengan keracunan. Ada orang musyrik berurat dengki yang dengan sengaja membubuhkan racun ke makanan yang akan dimakan ibunya.
"Batuk ibu semakin parah."
"Ibu sudah membeli obatnya tadi. Kamu jangan berpikir kejauhan. Menjadi TKI itu tidak enak. Kamu mendaftar kuliah saja."
"Kenapa Ibu tahu tidak enak? Kinan melihat banyak TKI yang sukses, Bu. Kinan tidak mau kuliah, lagi pula biaya kuliah tidak murah. Mau dibayar pakai apa? Suami Ibu tidak jelas, pekerjaan ibu juga sudah tidak ada."
"Semuanya pasti ada rezekinya. Kamu daftarkan saja."
"Tapi, Bu..."
"Kepala Ibu sering pusing akhir-akhir ini. Kenapa ya, Kinan?"
"Ibu sudah minum obat?"
"Belum. Ibu kira dibawa tidur bisa sembuh. Tolong potong kuku kaki Ibu." Sembari menyerahkan alat pemotong kuku.
Kinan pun segera merapikan kuku kaki ibunya.
"Bu, kamis depan Kinan ulang tahun. Genap berusia 18 tahun."
"Oh ya? Astaga, Ibu lupa."
"Ibu 'kan memang selalu lupa."
"Ya sudah minggu depan temani Ibu ke pasar beli kompor, Ibu jajani kamu makan sate."
"Kinan tidak mau sate, Bu."
"Maunya apa?"
"Ibu kasih izin Kinan menjadi TKI. Tidak ada biaya yang harus dikeluarkan, Bu. Nanti Kinan bisa kirim uang buat Ibu."
"Kamu lanjut kuliah saja. Dengarkan Ibu."
"Bu...."
"Sepertinya ibu sebentar lagi akan mati."
"Ish, Ibu! Kenapa bicara seperti itu?" Kinan tidak menyukai apa yang Ibunya katakan. "Kata orang zaman dulu, kalau kita berpikir akan mati, itu tandanya umur kita masih panjang. Nih, kuku Ibu sudah bersih. Kinan akan mendaftar besok dan berusaha agar dapat beasiswa agar sekolahnya gratis."
"Bagus. Ibu doakan semoga kamu dapat beasiswa." Ibunya mengucapkan terima kasih setelah melihat kuku kakinya bersih.
Mendengarkan saran ibunya, Kinan pun segera mendaftarkan diri ke universitas dan mengambil jurusan keguruan. Seminggu kemudian akan diadakan Ospek.
"Besok kamu Ospek?" tanya ibunya sambil menonton drama ikan terbang yang dimainkan aktor Temmy Rahadi dan Imelda Putri.
"Iya, Bu. Harus pakai kemeja putih dan rok hitam. Kepala Ibu masih sakit?"
"Nanti ibu pinjamkan punya Kak Ade. Dia sepertinya punya. Setelah kita ada uang baru kita beli."
"Iya, Bu."
Menjelang Magrib, Kinan dan Vita mandi.
"Waktu magrib sudah mau habis, Kinan, Vita."
"Kinan sedang datang bulan, Bu." Kinan dan Vita keluar dari kamar mandi. Ibunya sedang menyalakan kompor, memasak air untuk mandi ayahnya sebelum melanjutkan membaca Yasin.
Terdengar lantunan ayat-ayat suci Al-Quran. Ibunya mengakhiri bacaannya tidak lama kemudian. Melepaskan mukenah dan melipatnya, lalu Ibunya menuju dapur untuk mematikan kompor. Air mendidih tersebut dibawa ke dalam kamar mandi. Dituangkan ke dalam ember besar. Ayahnya sudah ada di sana dengan handuk yang melilit di pinggang.
"KINAN! VITA!!" Terdengar teriakan yang menggelegar sampai-sampai tetangga sekitar rumah mereka terkejut. Kinan dan Vita berlari menuju kamar mandi untuk melihat ada apa gerangan ayahnya berteriak seperti itu. Betapa terkejutnya ia melihat ibunya terkulai lemas di pangkuan ayahnya. Darah kental keluar dari hidung dan mulut.
"Bu, Ibu...." Kinan dan Vita menangis histeris.
Ibunya memandangi mereka dengan pandangan kosong.
Ayahnya segera membawa ibunya keluar, melarikannya ke dalam kamar. Ayahnya segera mengenakan pakaian dengan kalang kabut. Tetangga mulai berdatangan. Ayahnya berteriak memanggil seseorang untuk membawa mereka ke rumah sakit terdekat.
"Ibu, jangan pergi," isak Kinan. Tetangga menenangkan mereka.
"Aku ingin bersama Ibu," Isaknya begitu juga Vita. Seseorang pun menawarkan diri untuk mengantarkan mereka ke rumah sakit menyusul ayah dan ibunya.
Sampai di rumah sakit, ternyata ibunya dinyatakan sudah meninggal saat dalam perjalanan. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.
Sehari sebelum hari ulang tahunnya, Ibunya menghadap Sang Ilahi. Sate yang dijanjikan Ibunya tinggal janji.
"Ayah puas?" hanya kata itu yang bisa Kinan ucapkan pada ayahnya. Tangisan penyesalan ayahnya juga tidak akan membuat Ibunya hidup kembali.
Setelah bersujud kepada Tuhan, berkomunikasi lewat lantunan ayat suci Al-Quran, ibunya melayani ayahnya dengan menyiapkan air mandi. Melakukan tugas terakhir sebagai seorang istri sebelum akhirnya kembali kepada Sang Pencipta.
"Ibu, cara berpamitanmu sangat indah, tapi ini tetap menyakitkan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
mbok e Gemoy
mulai deh masuk bab mengandung bawang
2023-02-20
0
moemoe
😭😭😭😭😭😭 abaaang
2023-02-04
0
moemoe
Knp gk kerja pulng skolah kinan? Jualan kek
2023-02-04
0