Setelah menghabiskan waktu beberapa menit berfoto bersama badut, mereka hendak melanjutkan wisatanya. Namun, ketika Tomi menoleh ke belakang ia masih mendapati Adel bersama Dea yang sedang menatapnya.
"Dokter..." panggil Adel seraya menghampiri mereka, tidak lupa tangannya menarik Dea untuk mengikutinya dari belakang.
"Kita boleh gabung nggak?"
"Nggak!"
Bukan Tomi yang menjawab melainkan Putra, lelaki dengan perangai cuek itu menatap Adel tidak suka.
Adel kicep, sementara Dea berbisik. "Dari pada nantinya lo malu di tolak sama Dokter itu, mending udah kita jalan-jalan bertiga aja."
Adel menjauhkan muka Dea dengan tangannya, kemudian malah berjongkok menyapa Kiki. "Hai, nama kamu siapa? Kenalin nama aku Adel."
Seperti reaksi Putra yang notabene adalah Omnya, anak kecil itu menatap Adel tidak suka dan terkesan jutek. "Kiki ndak kenal kalian!"
"Nggak boleh gitu sayang, ini namanya Kak Adel pasien Ayah, dan yang satunya lagi Kak Dea."
Mendapat ucapan itu dari ayahnya membuat Kiki semakin tidak suka. "Kakak pasti yang buat ayah sibuk kelja?" tanyanya dengan marah. "Ayah Kiki ndak suka sama Kakak ini!"
"Udah saya bilang kan?" Tomi mengalihkan tatapannya ke Adel yang memasang wajah cemberut. Namun, bukan Adel namanya jika tidak mencoba beberapa kali. Dia harus meluluhkan terlebih dahulu anaknya, sebelum meluluhkan ayahnya bukan?
"Kiki tahu nggak Ayah Kiki hebat loh, bisa buat sembuh Kakak. Jadi harusnya Kiki bangga sama pekerjaan Ayah Kiki, beliau udah banyak bantu orang," kata Adel dengan nada lembut, bahkan tangannya terangkat untuk mengelus rambut Kiki. Namun turun kembali karena dihempas paksa.
Adel meyakinkan dirinya untuk bersabar. Namanya juga anak kecil, jadi tidak masalah melakukan segala hal, bebas.
"Jangan gitu, Nak!" tegur Tomi membuat Kiki cemberut dan menjauh dari Adel. Dia beralih ke samping Putra, kemudian mengajak Omnya untuk membelikan gulali.
"Om, Kiki ndak suka deket Kakak itu. Ayo kita beli gulali!"
Mereka berdua sudah berjalan ke arah si mas-mas penjual itu, tersisa Tomi, Adel dan Dea.
Adel sudah berdiri, itupun dipaksa oleh Dea karena menurutnya yang dilakukan temannya itu sangat memalukan.
"Rencana kalian mau naik wahana apa?"
"Naik yang paling ekstrem!" balas Adel dengan tampang berani.
"Yakin jantung kamu akan selamat?"
"Dokter nyumpahin Adel mati?"
Tomi menggelengkan kepalanya. "Baperan kamu, Del."
"Abisnya ngomongnya kayak gitu, nggak disaring dulu!"
"Udah, Del kita cari Lana yuk!" Dea sudah tidak nyaman, semakin lama dia merasa jadi kambing congek karena diabaikan.
"Nan__"
"Gue marah, bye!"
"ih, De, Dea tungguin!"
Adel menyusul temannya itu, jika sudah begini Adel tidak bisa memaksakan kehendaknya. Mungkin ada kesempatan yang lain, Adel yakin nanti dia bisa jalan-jalan bersama Dokter Tomi dan anaknya.
Sementara Tomi hanya menggelengkan kepalanya melihat kepergian Adel. Gadis itu memang unik, meski di dalamnya rapuh tapi selalu ceria dan tersenyum.
***
Adel menyedot es kelapa dengan serius sampai tandas, setelah itu ia melakukan kebiasaannya menggigiti sedotan, persis sekali seperti orang tidak ada kerjaan.
Mereka berdua, Adel dan Dea sudah berkeliling dan mencoba permainan yang paling aman untuk jantung Adel, tentu tanpa kehadiran Lana.
Temannya satu itu, tidak ada kabar bahkan sudah dihubungi beberapa kali. Sekarang mereka sedang beristirahat di salah satu kursi panjang dekat Pohon Beringin.
"Del kita balik yo!" ajak Dea yang terlihat lelah.
"Lana gimana?"
"Dia udah besar kali, nggak mungkin kesasar juga. Kita tinggalin pesan aja, kalau kita udah pulang duluan," balas Dea tidak mau mencari keberadaan Lana yang seperti hilang ditelan bumi.
"Yaudah deh, aku udah bosen juga." Adel berdiri dari duduknya kemudian melangkah bersama Dea menuju parkiran.
Belum sampai beberapa langkah, Adel tiba-tiba berhenti di dekat Wahana Biang Lala yang hanya berjarak beberapa langkah dari kursi yang tadi mereka duduki.
"Kenapa lagi, Del? Katanya tadi setuju mau pulang!" kesal Dea sudah tidak tahan dengan cuaca panas dan pegal di kakinya akibat berjalan kesana-kemarin.
"Kayaknya kita nggak bisa pulang sekarang deh." Mata Adel menatap kerumunan orang yang mengantri di wahana itu, di posisi paling akhir ada Dokter Tomi, Putra dan Kiki. Adel harus cepat berlari ke sana sebelum posisi di belakang mereka terisi.
"Del jangan bilang lo mau naik wahana itu?" Dea mendongkrak, menatap Wahana Biang Lala yang super duper tinggi itu, ia meneguk ludah kelu.
Namun, merasa tidak ada sahutan dari temannya Dea menoleh ke samping. "Adel lo bener-bener mau buat gue mati!"
Meski begitu, Dea tetap berlari menyusul Adel. Kenapa di saat seperti ini tidak ada yang membantunya untuk mengontrol Adel, buat apa dong pengawal kalau kerjanya hanya diam saja! Huh, menyebalkan sekali.
"Del, sumpah ya! Gue nggak bisa kalau harus naik ini!" keluh Dea ketika berada di belakang Adel untuk mengantri.
"Kita buat pengalaman baru, kapan lagi naik wahana ini." Adel tersenyum saja, menghiraukan raut wajah Dea yang sudah tidak karuan, Dea takut ketinggian sama seperti Adel.
Ah, Dea tahu apa yang membuat Adel nekad menaiki wahana yang bisa saja membuat mereka berdua terancam. Tepat di hadapan mereka ada Dokter Tomi, Kiki dan lelaki itu.
Sudahlah Dea pasrahkan semuanya, jika ini memang akhir dari segalanya.
Sampailah pada bagian Dea dan Adel, namun tanpa diduga Adel menerobos masuk ke dalam sangkar yang berisi Dokter Tomi dan Kiki, membuat Putra yang hendak naik langsung tersingkir.
Dea melotot kesal, rasanya dia ingin lari. Awas saja dia tidak akan meloloskan Adel setelah ini.
"Mari masuk," titah petugas itu membuat Dea mau tidak mau masuk ke dalam sangkar bersama lelaki itu.
Dea mengigit bibirnya saat sangkar ini mulai naik ke atas. Tangannya memegang besi dengan kuat, kepalanya mengarah ke bawah, menunduk. Tidak mau melihat lelaki di hadapannya dan suasana Dufan dari ketinggian.
"Lo ternyata masih sama kayak dulu, takut ketinggian."
Sekarang Dea ingin sekali mencakar wajahnya sendiri. Kenapa, kenapa harus dengannya Dea terjebak dalam keadaan akward ini. Suara itu menandakan sinyal bahaya yang akan Dea alami.
"Gimana keadaan lo, De? Apa kita bisa mengulang kejadian malam itu? Sekarang kita sudah sama-sama dewasa, bukan?" tanya Putra sambil tersenyum manis membuat Dea membuang muka. Dia tidak habus pikir, kenapa dia kembali lagi ke hadapan Dea.
Sementara sangkar lain, kondisi Adel tidak jauh berbeda. Gadis itu tidak duduk di kursi, tapi di bawah sambil memegang pintu besi.
Adel terlihat memejamkan matanya ketakutan, sekarang dia merasa menyesal telah menaiki wahana ini.
"Kakak kenapa? Kakak jangan kalah sama Kiki. Kiki aja ndak takut!"
Walupun tadi Kiki dan Tomi merasa kaget karena tiba-tiba Adel menyerobot posisi Putra. Tapi tidak mungkinkan mereka mendorong Adel keluar saat sangkar sudah menaik ke atas?
"Del?" tanya Tomi khawatir.
"Dok bisa turunin saya dari ini? Sumpah saya takut banget." Adel masih memejamkan matanya.
"Kakak, buka matanya liat deh pemandangannya indah banget!" kata Kiki antusias, anak kecil itu tidak merasa ketakutan karena ada sang ayah di sampingnya. Walaupun sempat tidak suka dengan Adel, namanya anak kecil pikirannya cepat berubah.
"Ayah liat ada burung banyak!" Kiki menunjuk burung yang berterbangan di langit, membuat Adel membayangkan jika dirinya seperti burung itu lalu sayapnya patah dan say good bye pada dunia. Adel bergidik ngeri.
"Paa...maafin Adel, hiks!" Tanpa terasa gadis berumur 19 tahun ini menangis menarik perhatian Kiki yang sedang menikmati pemandangan.
"Kakak nangis?" tanyanya dengan nada lugu. "Kakak ndak boleh nangis nanti keluar ail mata."
Adel menghentikan tangisannya, kemudian membuka matanya jawaban anak itu sangat menganggu telinganya. Yaiyalah, sejak kapan nangis tidak mengeluarkan air mata? Untung masih anak-anak, sabar Del.
"Ayah, kakaknya buka mata!" Kiki mendekat ke arah Adel lalu merentangkan tangannya untuk menangkup wajah Adel. Kiki mengarahkan wajah Adel ke arah bawah.
Adel melotot, kemudian dia berteriak membuat Kiki dan Tomi tertawa.
"Ya Allah tolong selamatkan Adel dari sini. Sumpah Adel janji nggak akan melakukan hal konyol lagi!"
Tomi menggelengkan kepalanya maklum. "Kamu jangan mau kalah sama anak saya, dia aja berani."
Adel menatap dokter Tomi dengan pandangan kesal lalu menggerutu dalam hati. Iya itu karena anakmu nggak phobia ketinggian!
Namun tiba-tiba...
"Loh? Loh? Ini kenapa berhenti?" tanya Tomi panik.
"Dok jangan buat saya makin takut."
Tomi menatap sangkar lain, mereka juga berhenti, tidak maju. Ia juga bisa melihat keadaan di bawa sana semakin ramai. Orang-orang berteriak panik, membuat keadaan di setiap sangkar semakin kacau.
"Ayah, Kiki takut." Kiki yang merasa keadaan tidak baik-baik saja langsung mendekat pada Tomi.
Sementara Adel yang sadar akan keadaan malah menangis kencang, membuat Kiki juga ikut-ikutan menangis.
"Papah Adel takut!"
Tomi berdecak menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Bingung mau melakukan apa. Sebab, dia tidak pernah menangani orang menangis secara bersamaan.
***
Maaf ya kalau makin gaje, semoga terhibur dengan tingkah Adel:)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Aeyma Rahma
Aduh chapter yg bikin ngakak
2022-03-22
0
Ajeng Ajeng
visual dong
2021-12-26
0
Lia
Ngakak thor
2021-02-01
1