Lelaki dewasa yang berprofesi sebagai dokter itu terlihat keluar dari mobil Avanzanya, ia berjalan santai menuju rumah mewah milik keluarganya. Rumah yang dua tahun belakangan ini, ia tempati. Isinya hanya ada Ayah dan Ibu.
Tomi lahir dari keluarga yang berkecukupan, Ayahnya seorang pengusaha di bidang properti sementara Ibunya dulu juga menjadi seorang dokter, tetapi pensiun muda karena Tomi memiliki adik yang dari kecil sudah mengidap penyakit leukimia membuat Ibunya memutuskan untuk menjaganya di rumah. Meski akhirnya dia meninggal diumur lima belas tahun. Tomi dan adiknya hanya terpaut umur lima tahun.
Selain adiknya yang sudah tiada, Tomi juga memiliki adik bungsu laki-laki yang sekarang sedang mengemban pendidikan di salah satu universitas di luar negeri.
Tomi adalah seorang duda, ia sudah pernah menikah ketika umurnya 21 tahun. Namun harus berujung perceraian di umur pernikahan yang ketiga tahun. Dan rela berpisah dengan anaknya yang masih kecil. Anaknya tidak bersama Tomi karena hak asuh anak berada di tangan ibunya.
Perceraian memang sangat ditentang dalam keluarganya, Tomi pun sudah berjanji pada dirinya hanya menikah satu kali. Tetapi takdir berkata lain, Tomi dan mantan istrinya harus berpisah karena sesuatu hal yang sebenarnya masih bisa Tomi terima. Namanya sudah keputusan mantan istrinya, Tomi harus melepaskannya dengan hati terpaksa.
"Kenapa nggak angkat telepon Mama?" sambut seorang wanita setengah bayah yang dari tadi berdian diri di mulut pintu dengan cemas. Beliau adalah Ibu Tomi yang sangat protektif.
Tomi tersenyum menenangkan, tangannya merangkul sang Ibu dan menggiringnya untuk duduk di salah satu soffa.
"Banyak kerjaan jadi lembur. Mama kenapa belum tidur?" tanyanya. Tomi menyenderkan bahunya, melonggarkan sedikit dasinya. "Ini udah jam sebelas malem, loh."
"Ini gara-gara kamu!" bentak Riska-nama Ibu Tomi-dia khawatir sekali dengan anak sulungnya, semenjak bercerai hidupnya jadi tidak sehat. Gila kerja, sering lembur bahkan Riska yakin, Tomi jarang makan. Lihat tubuhnya yang dulu berisi, di mata Riska terlihat semakin menyusut.
"Ma... Tomi udah punya anak, masih aja diperlakuin kayak anak kecil. Mending Mama jaga kesehatan, tidur yang cukup. Tomi takut darah tinggi mama naik."
"Peduli apa sama kesehatan Mama? Kamu aja nggak menjaga kesehatan diri sendiri." Riska mendelik, sebal.
"Ma..." Tomi terlihat meminta pengertian, kepalanya sudah pusing diterpa banyak pekerjaan di rumah sakit, apa harus diwaktu semua orang tertidur mamanya tetap mengomel?
"Kamu harus moveon dan hidup tenang, Tom. Kamu nggak malu sama mantan istri nggak tau dirimu itu, dia udah bahagia dengan lelaki pilihannya. Sementara kamu masih menjalani hidup seperti ini."
Tomi memijat keningnya, lagi-lagi mamanya membahas hal ini. "Mama ngomong gini karena mama malu sama temen-temen mama?"
"Bukan seperti itu, mama hanya ingin kamu bahagia!"
"Tomi udah bahagia, Ma! Mama aja yang terlalu gengsi punya anak seorang duda!" Tomi sebenarnya belum pernah membentak mamanya, namun dirinya sudah tidak tahan setiap dirinya pulang malam. Mamanya selalu mengomel tentang kehidupan masa lalunya dan mengkhawatirkan masa depannya.
Padahal Tomi sedang mencoba mengikhlaskan semuanya dengan sibuk bekerja. Untuk sekarang, tanpa pasangan dirinya merasa lebih baik.
"Kamu nggak pernah ngertiin perasaan Mama! Mama itu nggak terima sama mereka yang selalu memojokan kamu! Mama pengen membuktikan bahwa kamu bukan seperti apa yang mereka pikirkan!" Riska menatap Tomi kasihan. Setiap kali perkumpulan di salah satu rumah di kompleknya, Ibu-Ibu itu selalu memojokan anaknya walaupun secara halus. Tetap saja Riska tidak terima.
"Mama gausah ikut-ikutan genk nggak jelas itu, nggak baik buat pikiran Mama. Percuma, genk yang katanya berlandaskan kenyamanan dan kebersamaan, isinya ghibah semua. Mending Mama di rumah aja," jelas Tomi mulai mengontrol emosinya. Tidak ingin sampai ibunya merasa sakit hati dengan ucapan yang keluar dari bibirnya.
"Mama cukup dukung keputusan Tomi dengan bijak dan selalu mendoakan yang terbaik."
"Tomi...." Riska hanya pasrah menatap sang anak yang berjalan menuju lantai atas.
Dirinya tidak malu dengan status anaknya, namun rasanya sakit sekali ketika melihat Tomi tidak bisa bangkit dari keterpurukannya. Sebagai Ibu, Riska memahami apa yang dirasakan Tomi tiga tahunan ini, anaknya itu pasti kesepian karena separuh jiwa yang selama ini dijaga tega meninggalkannya.
Sementara Tomi, sudah masuk ke dalam kamarnya. Menaruh tas kerja dan jasnya di kasur. Ketika pertama kali masuk, Tomi sudah disuguhkan pemandangan foto seukuran jendela yang sengaja disimpan di dinding yang berhadapan dengan pintu. Di sana ada foto pernikahannya dengan mantan istrinya, foto yang menurutnya sangat indah.
"Apa kabar Ay? Apa sekarang kamu bahagia dengan pilihanmu?" tanya Tomi sembari melihat ke arah foto tersebut.
Tomi memejamkan matanya, dia memang pengecut tidak ingin keluar dari lembah kesakitan yang selama ini mengurung dirinya. Dia memang sudah terjebak dengan masalalunya sendiri dan belum bisa bangkit. Entah apa alasanya selain masih cinta. Hatinya masih terikat.
Disaat sedang mengenang masa-masa indah bersama keluarga kecilnya. Ponselnya berdering menandakan ada pesan masuk. Pandangannya jadi teralihkan, ia mengambil ponsel itu yang sempat ditaruh di meja kerja.
*From: 0858xxxxxxx
Selamat malam, Dok. Adel udah sehat, besok boleh pulang yah? Bosen nih di kamar terus, mohon pengertiannya. Kata Papah semua keputusan ada di tangan dokter, semoga dokter memutuskan dengan bijak*:)
Sudut bibir Tomi tertarik, Adela Putri Wijaya. Pasien yang baru ditanganinya, tingkahnya lucu dan menggemaskan. Melihatnya membuat Tomi teringat dengan adiknya yang sudah meninggal. Postur tubuh dan wajahnya sekilas mirip. Tomi suka sekali melihatnya, karena merasa rindu kepada adiknya terbalaskan.
Tanpa mau menunggu lama, ia langsung mengetikan sesuatu di ponselnya.
*To: 0858xxxxxxxx
Malam juga, sepertinya kamu sudah tidak sabar untuk saya ajak jalan-jalan*
Sebenarnya Tomi tidak pernah seperti ini kepada lawan jenis kecuali mantan istrinya. Namun, entah kenapa kepada gadis itu Tomi tertarik untuk menggoda dan menjahilinya.
*From: 0858xxxxxxxx
Dokter selain aneh, tapi tukang gombal juga ya! Maaf Dok jangan mancing-mancing nanti kalau baper ribet tau!
To: 0858xxxxxxxx
Kamu baper sama saya?
From: 0858xxxxxxxx
Tergantung, kalau ini berkelanjutan Adel bisa baper
To: 0858xxxxxxxx
Dasar bocil
From: 0858xxxxxxxx
Jadi gimana boleh apa nggak?
To: 0858xxxxxxxx
Nggak, minimal tiga hari lagi, setelah benar-benar pulih boleh pulang
From: 0858xxxxxxxx
Ih, susah banget minta izin sama dokter! Mendingan sama Dokter Fatma, beliau itu baik dan lebih pengertian.
To: 0858xxxxxxxx
Seperti yang Papah kamu bilang, keputusan ada di tangan saya.
From: 0858xxxxxxxx
Terserah, gausah dibales Adel sibuk*!
Melihat pesan terakhir itu, membuat Tomi mengangkat alisnya heran. Kemudian menggeleng maklum, namanya anak muda masih labil. Tomi memaklumi sebab dirinya punya adik sepantaran Adel.
Ia menuruti pengirim pesan tersebut untuk tidak membalas, lalu menaruh ponselnya kemudian memilih untuk membersihkan diri menuju kamar mandi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Nur Atikah
thor maaf nih kayaknya agak gk singkron..tomi nikah di usia 21 th..cerai di usia pernikahan thun ke 3,pas cerai udah ada anak,,nah sekarng kok tomi umurnya 30 th,tapi anaknya masih 5 th..
2021-07-31
1
ZARA AMORA♥
tertarik w sama sikap dewasa tomi.
smngat author..
2020-10-25
5
Elis Suhartini
duda lbih dewasa,lbih pnglmn...😜😜
2020-09-25
1