Terkadang meminta maaf untuk sebagian orang terasa sulit. Biasanya dipengaruhi oleh gengsi atau takut sakit hati karena permintaan maafnya tidak diterima.
Hal itulah yang sedang Adel rasakan, namun alasannya bukan karena gengsi. Adel terlalu takut untuk mengirim pesan, walaupun hanya sekedar maaf ditambah emot bersalah, tetap saja dirinya takut. Takut tidak dibalas.
Entah sudah hampir berapa kali Adel mengetik, lalu menghapus kembali pesan yang akan dikirimkannya. Dia benar-benar tidak percaya diri. Adel menghela napas berat. Ponselnya dilempar sembarangan di kasur.
"Nggak dichat kepikiran terus," keluhnya sedih Adel menatap Boneka Panda yang sedari tadi berada dipelukannya. "Pingky gimana dong? Adel bingung."
Di kamarnya hanya ada satu boneka kesayangannya, Pingky. Nama itu tercetus ketika Adel tertarik untuk membelinya di salah satu pusat perbelanjaan. Sementara di ruang yang berbeda Adel juga punya puluhan boneka yang sengaja untuk dikoleksi.
Saat sedang menguatkan mental, tiba-tiba ponselnya berdering. Betapa kagetnya ketika nama Dokter Tomi muncul di layar ponselnya. Adel mengigit bibirnya angkat atau biarkan? Otaknya terus memproses kata-kata itu, membuatnya semakin bingung.
Jika tidak dipencet tombol hijau Adel belum siap, tapi kalau dibiarkan nanti Adel menyesal.
Deringnya terus berbunyi, tangan Adel gemetaran ketika mengambil ponsel itu. Adel terlihat berlebihan, tapi sungguh ini memang sedang dirasakannya.
Adel hanya menatap ponsel yang berada digengamannya tanpa mengangkatnya. Dering mati, tanpa sadar Adel menghela napas, serba salah.
Namun belum beberapa detik berlalu ponselnya kembali berdering, dengan penelpon yang sama. Adel berdecak, dengan mental yang masih dicoba untuk ditata. Dia memencet tombol hijau, lalu menempelkan ponselnya di telinga.
"Ha.lo?" suara Adel terdengar tertahan ditenggorokan.
"Kenapa Del? Dari tadi saya perhatiin kamu ngetik lama banget, tapi setelah itu malah off."
Adel menepuk jidatnya, lupa kalau Dokter Tomi malam begini sering online.
"Eng__"
"Kamu mau konsultasi?"
"Itu.anu apasih__" Adel sedang mencari kata-kata yang pas untuk minta maaf, tapi otaknya malah blank.
"Ada apa?"
"Kejadian tadi sore..."
"Udah saya maafin, kamu takut saya marah banget? Tenang aja saya pemaaf." Terdengar suara terkekeh di sebrang sana.
"Iya, habisnya tadi Dokter serem."
"Hmm...Udah itu aja kan?"
"Dokter lagi sibuk ya?"
"Iya."
"Yaudah Adel matiin sambungannya."
Tanpa mau mendengar jawaban dari Dokter Tomi. Adel langsung memencet tombol merah. Akhirnya Adel merasa lega, namun bercampur sedih. Padahal dia masih ingin berbincang, tapi ia harus ingat kata-kata Dokter Tomi. Jangan melewati batas, anggap saya hanya sebatas Dokter kamu.
Ceklek!
Pintu kamar Adel terbuka, menampilkan Alfi sang adik. "Ke bawah, makan," titahnya, setelah itu balik badan tanpa menutup pintu. Alfi merasa tugasnya sudah selesai untuk memanggil kakaknya, jadi dia tidak perlu berlama-lama apalagi pakai basa-basi.
Sedangkan saat melihat tingkah adiknya Adel menggerutu. Dasar nggak pernah berubah! Sopan dikit kek sama kakak sendiri!
Meski begitu Adel tetap berdiri dari kasurnya, sebelum melangkah keluar kamar ia menyimpan ponselnya di meja rias.
Ponsel yang sudah ditinggal pemiliknya itu tiba-tiba bergetar sebanyak dua kali. Ada seseorang yang mengirimkan pesan.
*From: 0812xxxxxxxx
Dead*.
***
Setelah makan malam Adel sengaja tidak langsung tidur, dia terlebih dahulu bergabung bersama keluarga kakaknya yang sedang menonton di ruang Televisi.
"Adel mau cerita," katanya seraya duduk di samping kiri sang kakak. Sementara di samping kanan ada Kak Friska yang sesekali menyuapi suaminya dengan cemilan.
Pemandangan yang sungguh mengenaskan bagi Adel yang jomblo ini.
"Cerita apa?" sahut Kak Friska lebih perhatian, soalnya Kak Albar malah pokus melihat Televisi yang menampilkan sebuah sinetron yang banyak digandrungi oleh masyarakat Indonesia, mungkin karena mengambil tema kehidupan sehari-hari di sebuah kampung.
"Kak Friska kenal sama Kak Arsel ga? Ituloh keponakan almarhumah mama yang muncul dipernikahan Kakak waktu itu."
Kak Friska terlihat berpikir keras, namun sedetik kemudian menggelengkan kepalanya. "Nggak inget."
"Kalau Kak Albar inget nggak?" tanyanya beralih ke kakak kandungnya.
"Ngapain kamu ketemu dia?" bukannya menjawab Albar malah bertanya balik dengan nada terdengar tidak suka.
"Loh? Dulu kan Kak Albar satu sekolah sama Kak Arsel."
"Jangan ketemu dia lagi."
"Kenapa?" Adel jadi penasaran. Ada sesuatukah? Yang Adel tahu, keluarganya tidak akur hanya masalah restu di masalalu. Masa terus berkelanjutan sih?
"Pokonya, inget kata-kata Kakak jangan temuin dia lagi."
"Kalau nggak ada alasan yang logis, ngapain Adel nurutin Kakak. Toh, Kak Arsel baik kok."
Adel merasa Kak Arsel baik tidak menampakan sinyal bahaya, mereka tadi berlaku selayaknya keponakan yang sudah lama tidak bertemu, tidak ada tatapan saling membenci apalagi pengusiran paksa.
Heum, pasti Kak Albar sudah termakan omongan Papah yang memang tidak suka dengan keluarga neneknya. Padahal seru sekali, memiliki keluarga yang anggotanya lebih banyak.
"Awas aja kalau ketauan kamu ketemu sama dia."
"Nggak jelas dasar!" deliknya sebal.
"Biarin," balasnya sambil memeletkan lidah, setelah itu menyender manja pada Kak Friska. "Sayang, suapin aku lagi."
"Manja deh!" jawab Kak Friska, sebelum menyuapi tangannya terlebih dahulu memencet hidung suaminya.
Adel bergidik melihat tingkah suami istri itu, iri dan jijik bercampur menjadi satu. Daripada semakin gedek, Adel memutuskan untuk menghampiri Gema, Gemi dan Gilang yang berada di karpet. Terlihat sang abang sedang menyusun lego, sementara kedua adiknya hanya menonton.
"Emi!" seru Adel langsung mengangkat keponakannya itu, kemudian membubuhi ciuman di sekitar mukanya. Membuat Gemi menggeliat, menghindar.
"Ate! Jangan ganggu dedek!"
Adel salut dengan kasih sayang Gilang pada adik-adiknya. Anak kecil itu, selalu memarahi siapapun termasuk orangtuanya jika Gema dan Gemi menangis.
"Ate kangen sama Gemi, seharian nggak ketemu. Gilang jahat nggak ajak Ate maen ke rumah oma," balas Adel menanggapi ucapan Gilang.
"Ate bukan cucu oma, jadi nggak boleh main."
"Kok gitu? Gilang nggak sayang sama Ate?" Adel menurunkan Gemi untuk kembali duduk bergabung bersama kembarannya.
Ia menghampiri Gilang dengan tatapan pura-pura sedih. "Gilang Ate sakit hati loh. Ate bilangan ke kakek Gilang jahat sama Ate."
"Biarin, Ate suka galak sama dedek jadi Gilang nggak sayang."
Adel pura-pura menangis, ingin mengambil perhatian ketiganya. "Huuu, kamu jahat banget sih!"
Namun tidak ada yang peduli.
Tuk!
Satu bantal lumayan besar mengenai kepalanya, Adel menghentikan tangisannya dan menoleh ke belakang melihat sang pelaku.
"Kak! Sakit tau!"
"Berisik! Pergi sono!" bentak Albar merasa terganggu dengan kehadiran adiknya itu.
Adel mengepalkan tangannya, ingin membalas dendam. Dia punya rencana bagus, yaitu membuat suasana semakin berisik, bahkan bisa dalam waktu yang lama. Biar tau rasa kakaknya.
Adel mendekat ke arah Gema, ponakan yang paling anti terhadap dirinya. Kemudian menciumi Gema seperti halnya pada Gemi. Bocah itu tidak kegelian, malah menangis kencang. Membuat Gilang melemparkan legonya ke arah Adel. Tapi sedetik kemudian dia juga ikut menangis.
"AYAH LEGOO ABANG RUSAK! ATEEEE NAKALLLLL!"
"ADELLL SINI KAMU!"
"ABANG JANGAN NANGIS NANTI MAMA MARAHIN ATE ADELNYA!"
Jadilah suasana di ruangan itu benar-benar kacau. Ditambah Gemi yang melihat kedua saudaranya menangis, dia jadi ikutan menangis.
Adel tertawa dalam hati seraya melarikan diri dari amukan sang kakak.
***
Semoga nyambung dan makin terhibur, terima kasih sudah membaca:)
Jangan lupa Rate5, vote, like dan coment.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Lia
Cakep dhel
2021-02-01
0
Lilis Andayani
seru thor
2020-10-20
1
Carmelia Sake
Aku mampir lagi thor, bersama 10 like
2020-07-03
3