Seminggu sudah Adel berada di rumah sakit 'Bunda' dan belum diperbolehkan untuk pulang, tapi kondisinya sudah lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Adel sudah bisa bangun, bahkan jalan-jalan pagi ke taman yang berada di sekitar rumah sakit.
Pagi ini Adel mengawali harinya dengan menonton televisi, yang menampilkan sebuah kartun zaman dirinya kecil, Tom and Jerry.
Gadis yang beranjak dewasa itu tertawa ketika Tom yang selalu mengejar Jerry, lagi-lagi terkena batunya. Tontonan yang tidak pernah membuatnya bosan.
Ceklek!
Adel menoleh ke arah pintu, ketika melihat siapa orang tengah menatapnya di mulut pintu. Ia langsung beranjak dan berlari ke arah orang itu.
"Abangg!"
Layaknya gadis manja berumur sepuluh tahun, Adel bergelendot manja kepada cowok jangkung yang dipanggilnya dengan 'Abang'.
Lain lagi dengan ekspresi yang ditunjukan Adel, cowok itu malah mendelik terkesan malas. "Berhenti panggil gue abang!"
Adel tertawa geli, kemudian mencubit pipinya. "Ihh, gemes! Abang udah besar ya! Satu minggu nggak ketemu kangen!"
"Kak!" bentaknya dengan nada tidak suka, tangannya menghempaskan tangan Adel dari pipinya.
"Masih pagi jangan marah-marah, Bang."
Cowok itu dengan raut wajah ngambek, menubruk boddy Adel kemudian duduk di salah satu soffa sambil melipat tangan di dada. "Gue adek lo, berhenti panggil gue Abang!"
"Dih, emang kenapa? Orang-orang sering nyangka kamu Abangnya."
"Iya, makanya gue nggak suka kalau jalan bareng lo. Males banget, gue masih muda disamain sama lo yang udah tua!"
"Ih, Alfi umur Kakak masih 19 tahun!"
"Dan gue baru 15 tahun!"
Adel cemberut. "Beda empat tahun doang."
"Tetep aja lo udah tua," balasnya. Kemudian menunjuk kantung berbahan dari kain yang tergeletak di dekat pintu yang sudah tertutup. "Tuh gue bawa titipan Papah."
Adel mengambilnya, lalu melihat isinya. "Kenapa buah-buahan terus, sih?" cebik Adel kesal, dirinya tidak suka dengan buah. Aneh memang, Adel lebih memilih suplemen yang mengandung buah daripada memakan buah tersebut secara langsung.
"Lo harus biasain makan buah, ini kan buat kesehatan lo juga." Alfi memang terlihat cuek pada kakaknya itu tapi lebih dari apapun dia sangat mencintainya.
Adel menatap adiknya dengan tatapan haru. "Fi, kamu nggak salah makan kan? Sejak kapan khawatir sama kondisi Kakak?"
"Salah terus." Alfi sudah malas berbicara, dirinya mending diam saja.
Adel tertawa geli melihat raut wajah Alfi. "Oiya, kamu ke sini sama siapa?" tanya Adel kemudian, gadis itu berjalan menuju ranjangnya dan duduk di sana.
"Kak Friska."
"Terus Kak Friska di mana sekarang?" Adel menanyakan Kakak Iparnya yang menikah dengan Kakak pertamanya, Kak Albar.
"Balik lagi, dia ada kerjaan."
Adel mendesah kecewa. "Padahal Kakak mau nanya."
"Nanya apa?"
"Itu Kakak udah chat Bima tapi nggak ada balesan. Temen-temen juga pada nggak respon. Sebenernya ada apa sih? Bima baik-baik aja kan?"
Alfi terdiam sebentar, ada suatu hal yang ingin dia beritahu kepada kakaknya tentang kondisi Bima tapi teringat dengan Papahnya yang sudah mewanti-wantinya duluan, Alfi mengangkat bahunya pura-pura tidak tahu. "Gue nggak tahu, Kak."
"Aneh aja, mereka kayak nutup informasi tentang pendakian kemarin. Mana nggak satu pun yang jengkuk."
"Postive thingking, mereka mungkin sibuk."
"Mungkin ya, mungkin." Adel mengangguk pelan, mencoba menuruti saran sang adik. Positive thingking.
"Mau kemana lo?" tanya Alfi ketika melihat sang kakak turun dari ranjang.
"Bosen Kakak ngobrol sama kamu, mau nyari angin segar dulu, ah."
"Udah boleh sama dokter?" tanya Alfi khawatir. "Lo masih sakit."
Adel mengangguk, kemudian berjalan menuju keluar ruangan. "Tenang aja udah sehat kok."
Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang mengusik dipikirannya dan sepertinya Adel harus menyegarkan dengan menghirup udara sejuk di pagi hari.
"Kalau ada apa-apa, telpon gue!"
"Iyaa bawel!"
Adel menutup pintu dan berjalan menuju taman.
***
Di taman Adel duduk di kursi taman, di sekitarnya tidak hanya dirinya yang berada di sini. Banyak pasien-pasien yang lain, mereka sedang bercengkrama dengan kerabat. Bahkan ada yang termenung sendiri dengan kursi rodanya. Adel menghela napas sesak, terkadang dia ingin menangis melihat pasien-pasien yang berada di rumah sakit. Adel memiliki kesakitan dan ketakutan yang sama seperti mereka.
Sedang merenung seraya memperhatikan pasien lain, Adel mengerjap melihat ke arah depan di sana ada yang menarik minatnya. Dokter Tomi, ah setelah satu minggu dia tidak berkunjung ke kamar rawat Adel dokter tersebut akhirnya menampakan diri. Adel sempat bertanya ke dokter pengganti, katanya Dokter Tomi ada training di Bandung.
Dilihat-lihat Dokter Tomi semakin tampan dengan rambut barunya. Wajahnya semakin bersinar terkena cahaya matahari. Adel mengigit bibirnya dirinya tidak tahan untuk tidak mengabadikan moment ini.
Adel mengambil ponselnya, kemudian mempusatkan benda tersebut di hadapan mukanya. Jarak mereka tidak terlalu jauh, dokter Tomi terlihat sedang berbicara dengan salah satu pasien.
Cekrek!
Adel tersenyum senang mendapat foto yang engelnya pas membuat Dokter Tomi semakin tampan. Namun, beberapa detik kemudian Adel tersentak karena dokter Tomi tiba-tiba berteriak ke arahnya.
"Hei!"
Adel melotot, dia bertanya dalam hati. Kenapa dia manggil?
Ponsel yang masih dipegangnya masih menampilkan mode kamera. Seketika Adel menepuk jidatnya dan memaki dirinya sendiri. Bodoh kamu, Del!
Kecerobohan yang fatal, Adel lupa mematikan blizt!
Dengan malu yang tidak terkira, Adel berbalik membelakangi dokter Tomi lalu berlari meninggalkan dokter itu yang terus memanggilnya.
"Hei! Berhenti! Jangan lari!"
Adel terus berlari, dia tidak pernah tercyduk seperti ini dan rasanya malu sekali. Di koridor, Adel diam napasnya ngos-ngosan. Alat pendeteksi detak jantungnya berbunyi kembali, menandakan kondisinya tidak baik.
Gadis itu duduk di kursi mengatur nafasnya, ia meringis saat dadanya terasa sakit.
"Saya bilang jangan lari!"
"Dok...ter?" Adel mendongkrak, ucapannya tergagap. Detak jantungnya belum normal.
"Tenangin diri kamu."
Adel mengangguk, kemudian memejamkan matanya. Mengambil dan membuang napas secara perlahan. Manjur, beberapa kali cara itu diulangi. Adel mulai tenang.
"Gimana?"
Adel mengangguk. "Makasih, dok."
"Mana ponsel kamu? Saya pinjam," pinta Dokter Tomi dengan senyuman miringnya.
"Dok, maaf. Adel nggak bermaksud, janji deh Adel langsung hapus fotonya," balas Adel buru-buru, kemudian mengambil ponselnya dan menghapus foto tersbut.
"Nih, udah nggak ada," beritahunya seraya menunjukan ponselnya ke hadapan Dokter Tomi.
Dokter Tomi mengangguk. "Kenapa dihapus?"
Adel mengerutkan keningnya. "Loh, bukannya tadi dokter ngejar karena nggak terima aku foto?"
"Kata siapa?" tanya Dokter Tomi, tiba-tiba tangannya menepuk puncak rambut Adel, membuat pipi gadis itu bersemu merah. "Saya manggil kamu biar kamu nggak lari. Saya khawatir sama jantung kamu, baru pulih sudah diajak olahraga."
Adel nyengir. "Tadi malu ketauan."
"Yaudah, ponsel kamu mana?" Dokter Tomi kembali meminta ponselnya. Adel mengangsurkannya perlahan.
Tanpa diduga dokter Tomi, mengarahkan kamera depan ke arah Adel dengan dirinya berdiri di depan. "Satu, dua, tiga, senyum!"
Adel yang masih tercengang tidak sempat menarik bibirnya untuk senyum, dokter itu memang aneh tapi...perlakuannya sangat manis.
"Lain kali kalau minta foto tidak usah sungkan."
Adel mengangguk, mengambil ponselnya dari tangan Dokter Tomi.
"Saya ke sana duluan ya. Jaga kesehatan dan makan buah!" pamit Dokter Tomi, ia berjalan masuk menuju ruangan yang tidak Adel ketahui.
Sementara Adel menangkupkan tangannya di pipi. Kenapa manis banget sih!
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Dhay conan
hahaha si dokter bikin jantungan eh malah tmbh ngajak selfir bareng🤣🤣🤣
2021-09-16
1
Pengghosting novel T_T
Akang dokter, kalo saya bilang terima cinta saya terima ya...terima terima terima
/\_/\
( ¤ ¤ )
>❤<
2021-07-05
1
elviana
doktere selpong juga
2021-03-05
1