Namanya Adela Putri Wijaya, anak dari seorang pejabat daerah yang kini harus terbaring di rumah sakit karena penyakit jantung bawaanya kembali kambuh. Gadis yang sedang menjalani pendidikan di salah satu universitas terkenal di Jakarta itu harus rela menuda masa belajarnya, mungkin untuk beberapa minggu ke depan.
"Pah...," katanya lirih, tubuhnya masih lemas tidak berdaya berbaring di ranjang rumah sakit.
Kegiatan pendakian membuat kondisinya down. Padahal seingat Adel tidak ada kegiatan yang benar-benar menguras tenaga, namun ketika kejadian menghilangnya salah satu temannya di hutan membuat Adel terkejut bukan main, sampai jantungnya terasa sangat sakit.
"Bima gimana Pah, dia udah ketemu?" Adel menanyakan teman seangkatannya itu. Ia sungguh khawatir dan ingin tahu kabar terbarunya.
Sang Ayah yang setia menunggu di kursi sebelah ranjang rumah sakit, mengelus lembut rambut Adel dengan penuh rasa kasih sayang. "Sayang, kamu tenang aja Bima sedang dievakuasi oleh tim sar. Dia sudah ditemukan beberapa jam yang lalu."
Adel menghela napas lega, matanya memejam bersyukur teman dekatnya itu sudah ditemukan.
"Maafin Adel Pah, nggak nurutin perkataan Papah dan lagi-lagi Adel nyusahin Papah," katanya berubah sedih.
Acara pendakian ke salah satu objek wisata di Kota Bandung tersebut memang menantang. Adel suka hal-hal yang berbau dengan alam. Dia menghiraukan kondisi tubuhnya yang tidak normal seperti kebanyakan teman yang lain, hingga membuatnya mendapatkan karma 'instan'.
"Nggak apa-apa sayang, ini sudah kewajiban Papah untuk menjaga satu-satunya wanita yang ada di keluarga Wijaya. Kamu istirahat saja, jangan berpikiran macem-macem tentang hal lain. Pokuskan dulu dengan kesehatan tubuh. Papah mau keluar, nyari makanan. Bentar lagi, ada dokter yang ke sini."
Adel hanya bisa mengangguk, pertanda memahami ucapan Papahnya.
Tidak lama kemudian, setelah Papah keluar dari kamar rawat. Seorang dokter dengan satu perawat membuka pintu. Adel taksir dokter tersebut berumur dua puluh lima tahunan.
Tapi ketika melihat wajahnya Adel merasa asing. Apa dokter baru? Karena biasanya yang menangani Adel adalah Dokter Fatma, wanita paruh bayah yang sudah memiliki cicit lima. Adel sudah hampir hapal dokter-dokter yang berada di rumah sakit ini, karena setengah umurnya dihabiskan di sini.
"Hai, Adel? Gimana keadaanya sudah merasa baikkan?" tanyanya menghampiri ranjang Adel. Tangan dokter tersebut mengambil stetoskop yang menggantung di lehernya. Kemudian menempelkan benda tersebut di bagian dada Adel yang tertutup baju khusus rumah sakit.
Adel tersenyum, jantungnya berdetak cepat bahkan membuat jam pendeteksi detak jantung yang melingkar di lengannya terus-terusan berbunyi, persis ketika dokter itu memajukan sedikit tubuhnya untuk memeriksa.
Adel mengerjap dengan rasa gugup dia berbicara. "Dok, aku nggak apa-apa, gausah khawatir. Kebiasaan nih, jamnya udah mulai rusak suka bunyi tiba-tiba."
Dokter itu mengangguk, mengulum senyum. Nampaknya pasien muda satu ini sedang terpesona dengan wajah tampannya. Bukan dia terlalu percaya diri, tapi pembuktiannya sudah banyak. Pipinya bersemu merah.
"Nama dokter siapa?" Adel menghela napas lega saat jamnya sudah tidak berbunyi lagi.
Adel bisa lihat, dokter itu
menyuruh perawat yang berada di sampingnya untuk menuliskan sesuatu yang tidak Adel mengerti.
"Saya Tomi dokter baru kamu."
"Emang Dokter Fatma kemana?"
"Oh, Ayah kamu belum bilang kalau Dokter Fatma sudah pensiun?"
Mendegar hal itu, Adel menampilkan mimik sedihnya. Tidak rela dokter yang menanganinya sejak kecil itu harus pensiun.
"Kenapa kamu keliatan nggak senang?" tanya Dokter Tomi, tangannya mengambil wadah infus yang isinya hampir habis. Ia menggantinya dengan yang baru.
"Dokter Fatma udah aku anggap Ibu kedua, dia baik banget suka ngasih semangat. Terus waktu kecil kalau aku nangis karena kesakitan sering dibeliin hadiah," balas Adel dengan nada polos.
"Wah, kira-kira kalau saya yang menangani kamu dari kecil. Kamu bakal anggap saya apa?"
Adel kebingungan dengan pertanyaan dokter itu, mungkin sedang melawak?
"Nggak lucu ya?" Dokter Tomi tertawa garing.
"Dokter aneh."
"Kamu orang kesekian yang bilang saya aneh." Dokter tersebut tertawa, membuat Adel bergidik ngeri. Ganteng sih tapi aneh!
"Sudah ya ngajak ngobrolnya. Saya mau keliling dulu ke pasien lain," pamit Dokter Tomi membuat Adel mendelik. Memang siapa yang mengajak dokter itu mengobrol? Bukannya dia yang nanya duluan, nyebelin banget.
Adel menatap dokter itu sampai pintu tertutup rapat. Ada satu hal yang Adel sukai dari dokter aneh itu dia memiliki kharisma yang mempesona. Tubuhnya yang tegap dengan dada bidang, kalau kata anak zaman sekarang itu sangat pelukable. Ah, Adel jadi membayangkan bagaimana rasanya bersandar di sana.
***
Tomi Bagus Alamsyah, Dokter Spesialis Jantung. Ia berumur tiga puluh tahun, sekarang bekerja di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta. Dokter yang masih terbilang muda itu tengah menerima telepon.
Setelah memeriksa salah satu pasiennya, dia langsung kembali ke ruangannya karena pasien yang berada di kamar rawat sudah selesai di-check up.
Tomi duduk di kursi yang baru beberapa hari menjadi miliknya. Dia menyender santai dengan ponsel menempel di telinga.
"Halo kesayangan ayah?" tanyanya setelah mendial nomor dengan nama 'Little Girl'.
"Ayah! Kiki di sekolah dapet bintang lima, kata Bu gulu gambal punya Kiki bagus."
"Anak Ayah hebat sekali! Emang Kiki gambar apa?"
"Gambal boneka belbie, hihi tapi Kiki ndak bisa bikin palanya. Palanya gede ndak bulet sempulna, tapi kata Bu gulu tetep bagus, Ayah!"
"Keren! Nanti Ayah masukin les gambar mau?"
"Ih, ndak mau Ayah! Kiki capek pagi sekolah, pulang sekolah telus les piano, belum les nyanyi. Ndak mau les-les lagi!"
"Yaudah iya maafin Ayah ya sayang. Sebagai permintaan maaf, Kiki mau dibeliin hadiah apa?"
"Eummm... Ayah ndak usah kasih hadiah. Tapi... Ayah harus nginep sini rumah mama, Kiki kangen."
"Maaf sayang, Ayah ada shift malam hari ini."
"Nanti-nanti telus tapi nggak pernah jadi. Kiki ndak suka!"
"Hari minggu nginep di rumah Ayah, oke?"
"Ndak mau, nenek galak." Terdengar nada kecewa dari suaranya, membuat Dokter Tomi menghela napas.
"Jangan sedih, nanti Ayah ikutan sedih."
"Ayah yang bikin Kiki sedih."
"Maafin, Ayah janji nggak akan begini lagi. Ayah akan luangin waktu yang banyak buat Kiki."
"Bohong telus, udah ah males ngomong sama Ayah."
Tut.. Tut... Tut...
Sambungan dimatikan secara sepihak, Dokter Tomi memijat kepalanya yang tiba-tiba pusing. Dia merasa bersalah dengan gadis kecil itu, tapi ada beberapa alasan yang membuatnya tidak bisa mengabulkan permintaannya.
"Maafin Ayah sayang," katanya lirih seraya mengelus layar ponsel yang menampilkan foto anak perempuan berumur lima tahun yang sedang menunjukan giginya. Anak itu terlihat bahagia berdiri di tengah-tengah kedua orangtuanya.
TBC
***
Jangan lupa vote, coment, like dan rate. Makasih 😁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
LANY SUSANA
waw dokter nya duren ya 😂😂🤭
2022-04-04
1
Arin
wah kirain msih single,ech gtaunya udh ada buntutnya....🤭
2022-04-03
1
Aeyma Rahma
owh duda anak satu ya thor😁
2022-03-09
0