"Ayah nanti Kiki pengen beli gulali dua, telus naik pelmainan. Kemalin temen Kiki main ke dufan sama Ayah dan Mamanya, dia banyak cerita katanya selu banget!"
Tomi tersenyum melihat anaknya yang aktif berbicara selama perjalanan menuju Dufan. Kiki terus berceloteh tentang hal-hal yang membuatnya senang, seperti menceritakan sekolahnya yang masih di taman kanak-kanak, lalu si Mba yang selama ini mengantarkannya kemanapun. Sengaja, untuk hari ini Tomi tidak membawa si Mba ikut serta. Ia hanya ingin menikmati moment berdua dengan Kiki yang jarang sekali terjadi.
"Boleh sayang, apapun yang Kiki mau akan Ayah kabulkan."
"Bener?" tanyanya dengan wajah antusias.
"Kiki pengen makan ice cream yang banyak, beli coklat sekaldus, beli baju belbie, beli lumah-lumahan belbie, heum apa lagi ya?" Kiki tampak berpikir keras.
Melihat tingkahnya, satu tangan Tomi terangkat mengusap rambut anaknya itu. "Tulis aja apa keinginan Kiki, nanti kasih ke ayah. Oke?"
Kiki nyengir, menampilkan gigi depan yang ompong. "Siap Ayah!"
"Anak pintar!"
Tomi kembali menyetir dengan dua tangan, dia pokus ke depan sementara Kiki masih berceloteh. Melihat ada panggilan dari nomor tidak dikenal, Tomi langsung memencet tombol yang terletak disetir mobil. Ponselnya memang sudah terhubung dengan audio connectivity, jadi ia tidak usah takut menelpon sambil menyetir.
"Halo selamat siang, dengan siapa?" tanyanya dengan nada formal.
"Dokter, bisa ke rumah kediaman Bapak Wijaya? Saya Friska Kakaknya Adel, jantungnya kambuh lagi."
"Loh, bukannya tadi sudah saya perbolehkan pulang? Sekarang gimana keadaannya?"
"Sudah sedikit membaik, Dok. Katanya tidak sesak lagi, tapi saya masih khawatir. Apalagi Adel tidak mau di bawa ke rumah sakit. Saya harap dokter bisa kesini secepatnya."
"Saya sebenarnya lagi__" Tomi melirik Kiki yang sudah menekuk wajahnya, cemberut. Meski masih kecil, suara yang keluar dari audio mobil sangat jelas. Kiki tahu maksudnya apa. "Sibuk."
"Yah, Dok! Tapi saya nggak bisa tenang kalau belum ada dokter yang datang memeriksa. Ah, bukannya, dokter sudah janji dengan mertua saya akan menangani Adel bagaimanapun kondisinya. Maaf sebelumnya kalau saya terlalu memaksa. Saya tunggu kehadiran dokter di kediaman keluarga Wijaya!"
Sambungan sengaja Tomi matikan sepihak. Ia memejamkan matanya, memegang erat setir mobil. Ia kesal, kenapa saat seperti ini ada saja yang menjadi penghalang. Namun, Tomi juga tidak bisa lepas tanggung jawab, Keluarga Wijaya sudah merekrut dirinya sebagai dokter pribadi Adel. Tomi sudah berjanji untuk datang kapanpun jika Adel membutuhkannya.
"Ki..." Tomi tahu anaknya itu pasti kecewa.
"Kiki pulang aja." Suaranya terdengar bergetar, menahan tangis. "Kasian pasien Ayah nanti sakitnya tambah palah. Kiki ndak apa-apa, ndak jadi pelgi."
"Ki, maafin Ayah," mohonnya dengan nada bersalah.
"Antelin Kiki pulang dulu," pintanya setelah itu Kiki terlihat menyenderkan kepalanya. "Nanti kalau udah sampe lumah, bangunin Kiki. Kiki mau tidur."
Tomi menghela napas sesak, pasien dan Kiki adalah dua hal yang tidak bisa menjadi pilihan. Namun, Tomi mau tidak mau harus memilih.
Inilah yang Tomi pilih. Pilihannya bukan karena ada sangkut paut dengan Adel yang hampir mirip almarhumau adiknya, tapi Tomi sebagai dokter harus profesional dan bertanggungjawab.
"Maafin, Ayah Ki..." Tomi berkata dalam hati, perasaannya berkecamuk.
***
Tidak memakan waktu lama Tomi sudah sampai di rumah anaknya, Kiki masih pulas bersandar di penyangga kursi. Tomi ke luar dari mobilnya, kemudian berjalan membuka pintu penumpang. Mengangkat Kiki perlahan, Tomi tidak mau sampai anaknya terbangun.
Setelah menutup pintu mobilnya, Tomi menyuruh satpam yang bertugas untuk membuka gerbang.
"Selamat siang, Pak!" sapa Satpam itu dengan rasa hormat, Tomi hanya membalas dengan senyuman. Ia berjalan masuk ke halaman rumah.
Satpam yang mengikuti dari belakang memberitahu Tomi. "Pak Arsel dan Bu Kayla ada di rumah."
Tomi mematung, memantapkan hatinya untuk bertemu mereka berdua. "Saya hanya ingin mengantarkan Kiki ke kamarnya."
"Oh, baik Pak." Satpam yang sudah lama bekerja di rumah itu, mendahului Tomi. Tangannya membuka pintu berbahan jati itu.
Tomi mengedip, merasa atmosfer yang sama. Ternyata rumah yang sudah ia tinggalkan hampir tiga tahun itu masih sama hanya ada beberapa benda yang sudah hilang. Mungkin, mantan istrinya membuangnya.
Belum masuk lebih dalam ke rumah itu, dari arah ruang keluarga terdengar langkah seseorang yang mendekat. "Kiki!"
Dia ternyata Kayla, mantan istrinya. Tomi mencoba membuang muka tidak ingin melihat wajahnya.
"Aduh kebiasaan suka ketiduran di mobil."
Tangan kecil halus yang masih terngiang-ngiang di kepala Tomi itu tidak sengaja menyentuh lengannya saat meraih Kiki yang berada di pangkuan Tomi. Rasanya Tomi merindukan tangan yang sering membelai rambutnya ketika pulang kerja.
Sama canggungnya, Kayla hanya membisu dirinya tidak berucap satu katapun atau sekedar menyapa mantan suaminya.
"Ada siapa yang?" Dari arah yang sama, ruang keluarga datang Arsel yang memakai pakaian santai, celana pendek serta kaus oblong. Namun, melihat Tomi yang berada di hadapan istrinya. Arsel terkejut bukan main. Gejolak di dadanya membungbung tinggi, dia merasa marah.
"Ada urusan apa anda kemari?" tanyanya kaku.
Tomi tersenyum sinis. "Saya hanya mengantarkan Kiki, anak saya," kata Tomi penuh penekanan.
"Yang kenapa kamu izinin dia bawa Kiki?" Dari dulu Arsel tidak pernah setuju, jika Tomi bertemu dengan Kiki.
"Udah, mas. Biarin dia pergi." Kayla tidak mau berdebat, tanpa ucapan lagi perempuan itu berjalan menuju lantai atas.
Arsel berdecak kesal, rahangnya mengetat menatap Tomi penuh aura permusuhan. "Pergi dari rumah ini!"
"Kenapa? Kamu takut saya kembali merebut Kayla?" tanya Tomi dengan senyum miringnya. Arsel mantan sahabatnya itu masih sama, selalu ketakutan jika Tomi mendekat.
"Pergi!" usirnya lagi.
"Arsel, kamu tau gimana sifat saya kan? Ayolah, kita sudah berteman hampir sepuluh tahun." Tomi mencoba memancing amarah Arsel.
"Seorang Tomi tidak mungkin mengambil kembali apa yang sudah dibuangnya! Apalagi hanya Kayla, di mata saya dia tidak lebih seperti perempuan kurang belaian sampai tega bermain di belakang."
Maaf, untuk kali ini Tomi berbohong dengan perasaannya. Ia hanya tidak ingin terlihat mengenaskan di depan Arsel.
"Jangan melimpahkan kesalahan seolah-olah Kayla yang bersalah, karena semua itu bermula dari anda! Harusnya anda sadar diri, mengapa Kayla memilih saya!"
"Perselingkuhan di belahan dunia manapun tidak bisa dibenarkan!"
Arsel kehabisan kata-kata, dia memerintah kepada Pak satpam yang sedari tadi diam mengamani kondisi. Jika ada baku hantam antara majikan dan Pak Tomi, dirinya bisa langsung melerai.
"Pak Satpam tolong usir dia!"
Satpam itu terlihat enggan, sebab ia tahu sejarah Pak Tomi dengan Nyonyanya. Apa pantas, jika ia mengusir mantan majikannya?
"Cepat!"
"Ba-ba-ik, Tuan."
Tomi mengulas senyumnya, "tidak perlu melakukan apapun Pak karena saya akan segera pulang."
Pak Satpam tersebut mengangguk pelan, hanya berdiam ketika Tomi berjalan ke luar rumah. Suasanya masih panas.
"Jika saya melihat dia kesini lagi atau bapak ketahuan memberikan Kiki padanya! Tanpa pesangon saya akan memecat bapak!" Arsel berkata dengan emosinya yang masih meledak-ledak. Ia akan melakukan apapun untuk menjaga keluarganya dari Tomi yang bisa saja nekad membalaskan dendam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Arin
kok sy jdi ragu klo Kiki itu anak pak dokter y...hehe maav Thor hnya menghalu☺️
2022-04-03
1
Ajeng Ajeng
uhmmmm.anak jadi sasaran,jika orang tua bercerai.
2021-12-26
1
Regina
pembinor tingkat dewa
istri sahabat sendiri diembat
flasback dong
2021-08-28
0