Tomi yang baru saja masuk ke kamarnya itu langsung merebahkan diri. Malam yang melelahkan, setelah menemani Adel keliling mall hampir tiga jam. Lalu harus menunggu taksi karena sengaja tidak membawa mobil. Belum lagi, mengantar Adel ke rumahnya dengan selamat.
Untunglah, saat pulang mamanya sudah tidur jadi tidak ada kesempatan untuk memarahinya. Terkadang jika mamahnya sedang mode tidak calm Tomi merasa seperti kembali ke masa sepuluh tahun silam, mamanya selalu marah-marah karena Tomi selalu nongkrong dan pulang malam.
Matanya menatap langit-langit atap kamarnya dengan pandangan risau. Tomi tidak mengerti apa yang sekarang dirasakannya terhadap Adel, awalnya memang hanya menganggap adik sekaligus pasien. Tapi kenapa saat Adel didekatnya Tomi merasakan perasaan yang sama seperti saat bersama Kayla.
Ah, tidak mungkin Tomi mulai menyukai Adel? Hatinya masih terpaut oleh Kayla. Perempuan itu belum bisa tergantikan. Walaupun saat ini, Tomi sedang memproses hatinya agar melupakan Kayla.
Berbicara tentang Kayla, Tomi jadi ingin menghubungi Kiki. Apa kabar gadis kecilnya. Tangan Tomi mengambil ponsel di saku, hendak menghubungi si Mba pengasuh Kiki. Tidak mungkin jika Tomi langsung menghubungi ke nomor anaknya itu, ponselnya pasti dipegang oleh Arsel.
Tomi menempelkan ponselnya di telinga, suara nada terhubung. Meski sekarang sudah larut malam, Tomi berharap si Mba mengangkatnya. Setidaknya, ia ingin tahu perkembangan Kiki.
"Pak Tomi..." suara parau seseorang menyahut. Tanpa sadar Tomi menghela napas lega, si mba ternyata belum tidur.
"Bagaimana kabar Kiki mba?"
"Anu, Pak kabar non Kiki tidak lebih baik dari kemarin. Non Kiki jadi sering main di dalam kamar dan nggak mau sekolah. Bahkan saya sering liat Non Kiki bicara sendiri, Pak."
Tomi berdecak, bagaimana ini bisa terjadi bukannya Kayla dan Arsel berada di rumah. "Kayla dan Arsel tau?"
"Tidak Pak, setiap hari Ibu ikut Pak Arsel berkerja di kantor dan sering melewatkan waktu bersama Non Kiki. Apalagi sekarang ibu juga sedang hamil muda, Non Kiki jadi jarang diperhatikan."
"Ha-mil?" Tomi bertanya dengan nada gagap, hatinya terasa sakit dan suasana di sekitar kamarnya menjadi terasa panas.
"Iya, Pak."
Lelaki yang berprofesi dokter itu menjauhkan ponselnya, tidak percaya. Tangannya memegangi kepala prustasi. Kenapa Kayla menyiksanya sampai seperti ini?
"Halo, Pak? Pak Tomi?"
"Pak?"
Mendengar suara si Mba yang terus memanggilnya. Tomi kembali menempelkan ponselnya ke telinga. "Tolong jaga Kiki sebaik mungkin, saya akan usaha lebih keras untuk mendapatkan hak asuh. Apa Mba bersedia membantu saya?"
"Saya bersedia Pak, demi kebaikan Non Kiki. Saya kasihan sama Non Kiki, dia selalu nangis ketika mau tidur. Katanya rindu dengan Ibu dan Pak Tomi."
Tomi mengepalkan tangannya, mendengar hal itu membuat dirinya merasa gagal menjadi seorang ayah. Selama ini gadis kecilnya itu tersakiti. Kenapa Tomi tidak sadar akan hal itu, perceraian membuat Kiki menderita.
Merasa marah dengan dirinya sendiri, Tomi kelepasan melemparkan ponselnya mengenai lemari kaca yang berada di kamarnya.
Prang!
Lemari itu retak dan menimbulkan suara nyaring yang dapat membangunkan seisi rumah.
Tomi menggeram kesal, hatinya sakit saat mengetahui Kayla hamil. Terlebih saat tahu kondisi Kiki yang diabaikan oleh ibunya sendiri. Tomi marah pada dirinya namun dia juga marah pada Kayla. Kenapa Kayla tega memperlakukan Kiki seperti ini? Bukankah saat dipengadilan perempuan itu berjanji akan menjaga Kiki sepenuh hati.
Pembohong!
"Tomi buka! Kamu kenapa, Nak! Tomi!!" gedoran di pintu semakin lama semakin kencang, mamanya terus berteriak bahkan terdengar berbicara dengan ayah dan adiknya. Mamanya menyuruh keduanya untuk mendobrak pintu.
Sebelum semua itu terjadi, Tomi mencoba menenangkan amarahnya. Kemudian turun dari kasur, ia berjalan menuju pintu.
Ceklek!
Putra dan sang ayah yang sudah siap unruk mendobrak langsung terdiam. "Kak Tomi nggak apa-apa?"
"Kakak nggak apa-apa tadi ada tikus lewat lemari kaca, nggak sengaja kakak lempar dengan ponsel. Taunya malah kena kacanya jadi pecah!"
"Heh! Alasan yang konyol, sejak kapan di rumah ini ada tikus! kamu jangan ngaur Tomi, jelaskan pada Mama kenapa!"
"Ma...Tomi besok ada jadwal operasi, Tomi mau istirahat."
"Anak ini!" kata Riska gregetan.
Gio yang setia menemani langsung menyeret tangan istrinya itu untuk pergi dari hadapan Tomi. "Ma, ayo Papa masih ngantuk. Mungkin Tomi benar, di rumah ini ada tikus."
"Anak itu pasti berbohong__"
"Udah ayo," ajak Gio seraya menarik istrinya paksa menuju kamar utama. Gio sangat mengerti si sulung pasti sedang didera masalah, jika istrinya terus mengomel keadaanya bisa lebih buruk.
"Kak..." panggil Putra, matanya menatap sang kakak curiga. "Lo kenapa? Gue tau lo pasti lagi nggak baik-baik aja."
Tomi menepuk bahu adiknya. "Jangan khawatir, gue nggak apa-apa."
Memang jika hanya bersama adiknya, Tomi akan berbicara menggunakan gue-lo dia merasa nyaman dan terdengar tidak kaku.
"Kak!" panggil Putra mencoba membuat kakaknya sedikit terbuka dengan perasaanya, setidaknya dengan dirinya.
Putra memang tidak suka berada di rumah ini karena merasa tidak diberi kebebasan oleh mamahnya. Namun, selama ini kakaknya selalu memihak padanya, mendukung semua keputusannya.
Bilang saja, Putra ingin balas budi dengan caranya sendiri, termasuk ini dengan menjadi pendengar yang baik saat kakaknya merasa sedih dan kesulitan.
Ketika pintu kamar Tomi ditutup, sekilas Putra melihat foto. Foto yang ukurannya besar, menampilkan siluet kakaknya dengan mantan istrinya.
Kak ternyata lo masih belum bisa move on dari Kak Kayla?
***
Pagi hari di ruang makan keluarga Wijaya sudah heboh karena kekacauan yang dibuat oleh Gema dan Gemi. Kedua anak kecil itu terlihat mondar-mandir sambil bermain air yang terpaksa disediakan oleh Friska di dua wadah.
"Gegem awas jatoh!" Adel yang baru turun dari tangga langsung menghampiri bocah lelaki itu, dia mencoba untuk menggendongnya membatu dia menaiki kursi. Namun, kebaikan Adel ditolak oleh Gema anak itu malah memukul Adel dengan wadah air yang sudah kosong.
"Gegem! Nanti kalau jatoh jangan salahin Ate!"
Adel melengos saja, duduk di kursi. Belum sampai satu menit Adel bicara, terdengar tangisan Gema.
Keponakannya itu sudah terduduk dengan tangan yang mengusap jidatnya.
"Kak!"
Adel melirik kedatangan Alfi tidak peduli. Pahlawan kepagian sudah datang.
"Ini Gema nangis malah diem terus!" Alfi memangku keponakannya itu, dia mencoba meredakan tangisan Gema dan duduk di kursi.
"Udah kakak bilangin tapi dianya ngeyel!"
"Yaampun Kak, lo bisa-bisanya mikir gitu. Ini anak kecil mana bisa paham sama ucapan lo! Gue nggak yakin nantinya lo bisa nggak ya jadi Ibu yang baik buat anak lo. Sekarang aja sama Gegem lo begini."
Adel suka anak kecil, tapi pengecualian untuk Gema. Bocah lelaki itu sering membuat Adel disalahkan oleh Albar bahkan ayahnya, padahal Adel mencoba melakukan yang terbaik seperti menggendongnya atau membelikan hadiah. Tapi, bocah itu entah kenapa selalu menolak dan menangis jika didekatinya.
"Yaudah kakak salah, kakak minta maaf."
"Percuma minta maaf kalau terus diulangin, ini bukan pertama kalinya Kak Adel perlakuin Gema kayak gini."
"Udah sih, kakak kan udah minta maaf."
Alfi mengangkat bahunya mencoba tidak peduli, asyik menyuapi Gema.
"Nih!"
Adel terlihat bingung ketika Kak Friska memberikannya paket. "Adel nggak pesen apa-apa, Kak."
"Gatau, kata Mang Arpin ada yang ngirim kemaren. Dia kelupaan mau ngasih tau kamu langsung."
Meski tidak merasa belanja online, Adel tetap membuka paket tersebut. Sebelumnya, dia juga sering mendapat hal seperti ini. Biasanya di dalamnya ada surat yang mengatas namakan si pengirim. Paling pengirimnya teman Adel di kampus.
Adel menatap kotak dengan tutup yang dihiasi pita, sudah dia duga pasti dari secret admirernya. Warna kesukaannya dan kotaknya terlihat lucu.
Namun betapa kagetnya saat tangan Adel membuka kotak tersebut, isinya benar-benar di luar perkiraan. Adel tidak menyangka, siapa orang yang berani mengirimkan ini pada dirinya?
Alfi yang berada di samping kakaknya itu melirik kepo, ketika ia tahu apa yang sedang dilihat oleh kakaknya, otomatis dirinya langsung berteriak memanggil Kak Friska yang tadi langsung kembali ke dapur.
"Kak Friskaaaaaa!" teriaknya panik.
Friska yang mendengar suara itu langsung tergopoh-gopoh menuju ruang makan. "Ada apa Fi?"
"Kak Adel," tunjuknya sambil membuang muka. Alfi jiijik melihat benda tersebut.
Friska langsung menatap ke arah Adel. Tidak jauh berbeda reaksinya dengan Alfi, Friska merasa jijk dan mual. "Del?"
Tidak ada jawaban, Friska memutuskan untuk menghampiri Adel yang masih shock, tatapannya terlihat kosong. Buru-buru ia membawa kotak tersebut ke dapur dan membuangnya ke tong sampah.
"Kepala tikus apa artinya?" tanya Adel dengan nada lirih. Tubuhnya mendadak mengigil, kotak ini pertanda tidak baik bukan?
***
Note:
Btw, maaf kalau ceritanya makin gaje 😁
Hem, walaupun karya saya nggak sekeren dan sebagus karya penulis yang lain. Tolonglah, jangan kasih rate buruk, kalau emang nggak suka bisa abaikan aja 😥 sedih tau tiba-tiba rate anjlok 😥
Mari berteman:
Fb: S Ahsanun Aziya
Ig: @ahsanunaziya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Regina
salah Si Bima cuman ditolak cinta
2021-08-28
1
ludhiah kharie
nie kayaknya dr bima ya
2021-05-25
1
Nissa Mahbub Mazin
Menurut saya bagus kok,
penulisan juga rapi...
semangat author😘😘
2021-03-31
0