Kinara Nadia Alamsyah, gadis kecilnya yang berumur lima tahun. Tidak bertemu selama satu bulan karena kesibukan, akhirnya Tomi bertemu dan dirinya senang bukan main.
Kiki, Tomi sering memanggilnya seperti itu ternyata bertumbuh dengan pesat, bahkan pipinya bertambah chubby, menggemaskan sekali.
"Ayah, jangan cium-cium telus! Kiki lagi pokus main nanti kuenya gosong!" kesal gadis itu merasa terganggu dengan Ayahnya yang mencium pipi serta puncak kepalanya. Kiki kan sedang seru memainkan permainan memasak di ponsel Ayahnya.
Mendapat respon seperti itu, Tomi tertawa dan malah semakin gemas menciumi sang anak. "Ayah kangen sama Kiki."
Hari ini tepat hari minggu, Tomi mendapatkan libur di rumah sakit dan memanfaatkan waktunya untuk bertemu Kiki. Meski, dengan paksaan karena Kiki tidak mau diajak ke rumahnya. Alasannya tetap sama, Kiki takut kepada neneknya.
Sekarang mereka sedang quality time di ruang keluarga, hanya berdua dan Tomi sangat bahagia. Weekend kali ini terasa berbeda karena kehadiran Kiki.
"Kangen," balas Kiki tatapannya tetap pokus ke ponsel.
"Jangan bohong sama Ayah, buktinya Kiki nggak peluk Ayah." Tomi berlagak marah.
"Kiki udah gede Ayah, ndak mau dipeluk-peluk," katanya sok dewasa.
"Yaudah, kalau gitu Ayah balik kerja aja deh. Biar Kiki di sini sama nenek," ancam Tomi ternyata ampuh membuat Kiki beralih menatapnya.
Anak lucu itu terlihat ingin menangis, kemudian memeluk Tomi dengan erat. "Jangan Ayah, Kiki kangen kok sama Ayah telus pengen peluk. Ayah jangan pelgi, Kiki sayang banget sama Ayah. Ndak mau pisah, Kiki kangen main bareng Ayah, telus jalan-jalan juga, hiks... Ayah ndak boleh kelja hali ini, Kiki masih kangen," katanya dengan dibarengi tangisan pilu.
Tomi memejankan matanya haru, hatinya dihinggapi rasa bersalah karena merasa kurang perhatian dengan anak semata wayangnya.
Tomi mengelus rambut panjang Kiki penuh perasaan. "Jangan nangis, sayang. Nanti Ayah ikutan nangis."
Kiki berhenti menangis, lalu melepaskan pelukan Ayahnya. Bola mata besarnya menatap sang Ayah sendu. Air matanya masih tersisa di sudut kelopak serta pipinya. Tomi menghapusnya dengan kedua tangan.
"Ayah jangan nangis." Setelah mengucapkan itu, Kiki kembali memeluk Ayahnya erat. Tangisannya semakin kencang, anak kecil itu benar-benar rindu.
Umur Kiki masih lima tahun, tiga bulan ke depan sudah enam tahun. Ia mulai mengerti. Kenapa Ayahnya jarang bertemu Ibunya, bahkan tidak pernah bertemu lagi. Ayah sering menolak jika diajak menginap, padahal Kiki ingin tidur bersama mereka berdua. Begitupun dengan mama, selalu marah jika Kiki menyinggung tentang Ayahnya.
Kiki semakin paham, mungkin penyebabnya ada di Om yang tinggal di rumahnya. Kiki tidak suka dengan Om itu karena membuat mama tidak memperhatikannya lagi dan sifatnya yang pendiam selalu menatap Kiki datar.
Om itu sering membawa mama bekerja, sampai tidak bisa sarapan pagi. Kiki kesepian, mamanya jadi sibuk bekerja. Hanya satu orang diharapkan Kiki, Ayahnya. Namun, ternyata sama saja Ayah sibuk bekerja, tidak punya waktu untuk menghabiskan waktu bersama.
Kiki selalu merasa sedih dan sering menangis ketika mau tidur. Ia berharap Ayah atau Mamanya datang memeluknya. Harapan hanya tinggal harapan, salah satu dari mereka tidak ada yang datang, hanya Si Mba yang setia menemaninya.
"Maafin Ayah sayang." Tomi meneteskan air matanya. Entah mengapa, walaupun Kiki tidak bercerita bagaimana tiga tahun tanpa dirinya sendiri dari tangisannya Tomi tahu jika Kiki menderita, dia kesepian.
"Tinggal sama ayah, mau?" ajaknya, langsung diangguki oleh Kiki.
"Kiki mau tinggal sama Ayah, hiks tapi ndak mau di rumah ini... Hiks, Kiki takut sama nenek hiks..."
"Iya sayang nanti kita beli rumah, biar Kiki dan Ayah bisa tinggal bareng."
"Makasih Ayah, hiks, Kiki sayang sama Ayah. Ayah jangan ingkar janji lagi, hiks."
Tomi melepaskan pelukannya. "Udah dong, jangan nangis lagi. Mau jalan-jalan keluar sama Ayah?"
Kiki mengangguk antusias, dia menyusut air matanya dengan tangan. Senyumannya melebar, ini yang dia tunggu-tunggu bermain bersama ayah. "Kiki mau ke dufan, ayah."
"Siap, cantik! Ayah ambil kunci mobil dulu di atas! Kiki tunggu di sini."
Kiki menggelengkan kepalanya, "ikut!"
"Nenek baik kok sekarang," bujuk Tomi memberi pengertian kepada Kiki. Sebenarnya dia juga heran, kenapa Kiki sangat takut kepada neneknya. Tomi pikir hanya kesalahpahaman semata.
Bisa saja, mamanya tidak sengaja memarahi Kiki dan membuatnya sedikit trauma. Masih perkiraannya, karena mama atau Kiki tidak mau cerita saat Tomi menanyakan perihal itu.
Kiki menggelengkan kepalanya. "Kiki ikut pokonya."
"Yaudah, ayo!" Tomi menggengam tangan Kiki dengan suasana bahagia mereka berdua berjalan menuju lantai atas.
Tomi berharap waktu tidak cepat berlalu, agar dirinya bisa menikmati hari bersama Kiki lebih lama.
***
Adel menghela napas lega, akhirnya ia bisa pulang ke rumah. Bukan dirinya merasa menderita berada di rumah sakit, ia hanya merasa bosan dan tidak dapat bergerak bebas. Adel rindu dengan si kembar keponakannya, lalu teman-teman kuliahnya yang tidak ada kabar selama dirinya sakit. Semoga saja ketika pulang, kejutan menanti. Haduh, maaf terkadang Adel suka berhalusinasi. Tapi siapa tahu?
"Bang, nanti Adel mau ke supermarket dulu, pengen beli makanan," pintanya kepada sang Kakak yang sedang menyetir.
Sementara Adel berada di sebelahnya duduk di kursi penumpang. Lelaki ini adalah kakak satu-satunya, suami dari Kak Friska. Namanya Albar Alkahfi Wijaya, bapak tiga anak yang bekerja sebagai pembisnis di bidang kuliner. Kakaknya ini seperti Alfi, sibungsu jarang berbicara. Beda sekali dengan Adel yang banyak tingkah dan banyak omong.
"Kakak ipar kamu lagi masak, gausah beli apa-apa dulu, kita mau syukuran setelah Papah pulang," balasnya tidak memperbolehkan Adel belanja.
"Tapi aku pengen beli jajanan."
"Nanti aja jangan kayak anak kecil." Albar berkata lagi tidak mau bantah.
Mereka sedang berada di perjalanan pulang, Adel mendapat pesan dari Dokter Tomi katanya jika memang ingin pulang, boleh saja. Tentu Adel tidak akan mengabaikan kesempatan itu karena dadakan, Adel jadi tidak dijemput oleh Papah yang kebetulan sedang kunjungan ke beberapa daerah yang terkena banjir.
Mereka melewati perjalanan dengan hening, hanya perlu menempuh sekitar lima belas menit karena jarak rumah dan rumah sakit tidak terlalu jauh. Adel akhirnya sampai rumah.
Pagar tinggi itu dibuka oleh satpam, mobil milik Albar masuk ke halaman rumah tepat di garasi. Rumah mereka tidak terlalu besar, namun cukup untuk menampung keluarga kecil Albar, Adel, Alfi dan Papah mereka.
Adel turun dari mobil, ia berjalan menuju ke dalam rumah. Namun, kondisinya tidak seperti yang Adel harapkan. Di dekat ruang tamu, Kak Friska menangis sambil bersujud kepada perempuan yang memiliki rambut sebahu. Adel tidak asing dengan orang itu, ia tidak bisa melihat wajahnya karena posisinya membelakangi Adel.
"Tolong jangan sakiti adik saya... Tolong, dia sudah cukup menderita..." Kak Friska terlihat menangis sesenggukan.
Adel kebingungan sendiri, siapa penyebab Kak Friska sampai bersujud itu karena dirinya. Alfi atau dirinya? Setahunya, Kak Friska tidak memiliki adik, dia anak tunggal.
"Anda menyuruh saya untuk tidak menyakiti Adel!! Sementara perempuan itu sudah membuat keluarga saya tersakiti! Anda tahu kan bagaiamana rasanya kehilangan orang tercinta hanya gara-gara hal konyol!!"
Adel merasa familiar dengan suara itu, ah bukankah itu Bianca, adik Bima? Sebenarnya ada apa, kenapa Bianca berkata seperti itu? Adel memikirkan suatu hal.
Ketika ingat, Adel menutup mulutnya. Ia menggelengkan kepala, mengahalau pikirannya sendiri.
Bima tidak mungkin, pergi secepat ini kan?
Adel merasakan dadanya kembali sakit, ia merasa sesak. Tubuhnya lemas, kemudian terjatuh ke lantai dengan rasa bersalah yang menggerogoti hatinya.
Bima tidak mungkin pergi, dia hanya hilang di pendakian kemudian ditemukan dan sudah sehat kembali. Bima sudah berjanji akan tetap hidup meski Adel hanya menerimanya sebagai sahabat.
Tolong, siapapun jangan sampai apa yang Adel pikiran menjadi kenyataan. Adel tidak bisa memanfaatkan dirinya jika hal ini terjadi pada Bima.
Bima tidak mungkin meninggalkannya, mereka beberapa minggu lau sudah mengikrar janji sebagai sahabat. Mereka belum sempat merayakannya, kenapa harus secepat ini?
"Del!"
Albar yang baru masuk ke dalam rumah, terkejut mendapatkan adiknya sudah terkulai lemas di lantai.
Mungkin karena suara Albar yang menggelegar membuat dua ornag yang sejak tadi tidak menyadari kehadiran Adel, mereka sama menatap ke arah Adel.
Friska langsung histeris. Walaupun hanya seorang Kakak Ipar, dia sangat menyayangi Adel seperti adiknya sendiri.
"Mas bawa Adel ke atas cepet" titahnya kepada sang suami.
Friska panik, dirinya langsung menelpon mertuanya. Tapi tidak diangkat, ia memutuskan untuk berjalalan menyusul suaminya mengabaikan Bianca yang termenung.
Tangan Bianca meremas kertas yang sejak tadi di genggam oleh tangannya, tatapannya penuh aura kebencian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Lily Poet
penyakit jantung emang bikin serem sih
2020-07-08
2