Racun

“Ada apa?” Tanya Thea yang memandangi Xavier di sampingnya. Laki-laki itu tampak terkejut dengan apa yang terjadi pada dirinya.

“Entahlah. Aku merasa kalau kekuatanku tidak bekerja di tempat ini.” Aku Xavier yang masih memandangi telapak tangannya dan mencoba kembali mengeluarkan nyala api tapi selalu gagal.

“Apa mungkin karena kita berada di wilayah klan air?”

“Mungkin saja. Tapi masalahnya, tubuhku juga terasa lemah.” Xavier menyentuh dadanya sendiri. Detak jantungnya terasa begitu lambat berbeda dari biasanya,

“Kalau begitu, kamu diam di sini, aku akan mendekat dan menolong gadis itu.” Thea beranjak dari tempatnya.

“Jangan!” Dengan cepat Xavier menahan tangan Thea.

“Kamu tunggu di sini. Cukup perhatikan aku saat menolong gadis itu. Dan kalau tiba-tiba ada yang menyerangku, kamu segera lemparkan tombak itu ke arahku.” Pesan Xavier.

“Hem, baik lah. Berhati-hatilah.”

Xavier mengendap-endap mendekat pada gadis itu. Ia melihat ke sekelilingnya dan tidak ada siapapun di sekitarnya.

“Toloong, tolong saya...” Rengek seorang gadis remaja.

Setengah tubuhnya tertimpa batang pohon dan ia tidak bisa bergerak. Ada banyak darah dipahanya yang ia tutupi dengan tangannya yang sudah berlumuran darah.  Ia meringis kesakitan.

“Diam di tempatmu, aku akan menolongmu.” Setelah yakin di sekitarnya aman, Xavier segera mengangkat satu per satu batang pohon yang menimpa gadis itu.

“Awwhh...” Ia meringis kesakitan saat satu batang pohon yang akan di angkat Xavier sebagian rantingnya menusuk pangkal paha gadis itu.

“Thea, kemarilah!” Seru Xavier pada Thea.

Ia merasa kalau ia tidak bisa menangani ini luka gadis ini terlebih darah di kaki gadis itu semakin banyak.

Thea segera menghampiri Xavier dan gadis itu.

“Ranting pohonnya menusuk ke kakinya. Aku tidak bisa langsung menariknya.” Ujar Xavier saat Thea sudah ada di sampingnya.

“Baik, tunggu sebentar. Jangan dulu di tarik.” Ia mencari dedaunan yang lebar untuk menutup luka gadis itu.

“Hey, siapa namamu?” Thea mencoba mengalihkan perhatian gadis itu. Di tangannya ia merobek dedaunan menjadi bagian-bagian kecil lalu melumatkannya dengan tangan. Ia membentuk robekan daun itu membentuk bola.

“Luella, namaku Luella.. Akh...” sahut gadis itu yang kembali meringis. Satu gerakan saja sakitnya terasa semakin perih.

“Okey Luella, kami akan menolongmu. Tarik nafas dalam-dalam saat hitungan ke tiga okey.”

Thea menatap gadis itu dengan penuh keyakinan.

“I-Iyaa...”

“Kamu angkat saat hitungan ketiga.” Kali ini Xavier yang ia perintah.

“Hem.”

Ketiganya sudah bersiap dan Thea mulai menghitung, “Satu, dua, tiga!” Serunya.

Dengan cepat Xavier mengangkat batang pohon itu dan di waktu yang bersamaan Thea menekan luka itu dengan bola dedaunan yang dibuatnya.

“Akkhh!!!!” Luella meringis kesakitan sambil memegangi kakinya. Keringat dingin terlihat jelas di dahinya

“Bertahanlah.” Thea bergegas melepas jacketnya lalu mengikatkannya dengan erat pada paha Luella.

Thea melihat darah yang keluar dari kaki Luella cukup banyak, hingga wajah wanita itu terlihat pucat.

“Kita harus berpindah dari sini. Mencari sumber air terdekat untuk membersihkan lukamu.” Terang Thea.

“Baiklah.” Luella menurut saja.

“Pakai tombak ini sebagai tongkat, aku akan memegangimu. Xavier, kamu berjalanlah di depan kami.”

Thea mengangkat tubuh Luella yang lebih kecil darinya lalu melingkarkan satu tangan gadis itu ke bahunya.

Mereka mulai berjalan perlahan.

“Berhati-hatilah.” Pesan Thea pada Xavier yang berjalan di depannya.

Xavier memimpin di depan. Ia memperhatikan sekelilingnya dengan kewaspadaan tinggi. Mereka melewati semak belukar dan batang pohon kering. Tidak ada jalan setapak yang bisa mereka lewati, sepertinya daerah ini memang belum terjamah.

Setelah berjalan cukup jauh, mereka tiba di tepi sungai. Airnya yang jernih membuat Thea menelan salivanya kasar. Seperti dahaga tiba-tiba saja mengisi tenggorokannya.

“Duduklah di sini.” Xavier menggeser sebuah batu besar untuk tempat duduk Luella dan Thea membantu gadis itu duduk di atas batu.

“Terima kasih kalian sudah menolongku.” Ucap Luella seraya memandangi Thea dan Xavier bergantian. Ia pikir ia akan mati sendirian di hutan belantara ini.

“Sama-sama.” Thea tersenyum kecil.

“Ngomong-ngomong, bagaimana bisa kamu tertimpa pohon sebesar itu?” Tanya Thea yang penasaran.

Ia mengambil daun yang lebar lalu menyematnya dengan ranting kecil. Ia gunakan daun itu untuk menampung air yang ia ambil dari sungai.

“Aku sedang mencari getah pohon ave untuk mengobati luka ibuku. Tapi, saat melewati pohon yang besar itu, pohon itu malah roboh dan menimpaku.” Terang Luella.

“Ibumu juga terluka?” Thea memberikan daun kedua agar Xavier mengambil air dari sungai.

Laki-laki itu patuh saja menurut pada Thea. Ia juga mengambil air untuknya minum. Hah, dahaganya terhapus begitu saja. Rasa segar langsung mengisi seluruh aliran darahnya.

“Iya. Dia di serang oleh seekor serigala hitam dan beberapa bagian tubuhnya tercabik. Katanya obat itu bisa membantu luka itu agar luka busuknya tidak menyebar kebagian tubuh lainnya.” Terang Luella.

Thea mengangguk paham.

“Lalu apa kamu sudah menemukan buah ave itu?” Thea berbincang sambil membersihkan luka Luella.

“Belum. Katanya itu buah tak kasat mata. Dia bisa terlihat saat waktu peralihan antara siang dan malam. Aku sudah dua hari berada di sini, tapi tidak pernah melihatnya.”

“Pohonnya seperti apa?” Thea jadi penasaran dengan cerita Luella.

“Karakteristik pohon yang digambarkan para tetua seperti pohon itu. Satu pohon hanya ada 5 ranting dan tiap rantignya hanya memiliki enam sampai delapan daun. Buah itu akan terlihat di ranting yang memiliki tepat tujuh daun.”

Mereka kompak memandangi pohon yang tidak jauh dari tempat mereka berada. Berjarak beberapa pohon saja dari tempat Luella tertimpa.

Di pohon itu, ada dua ranting yang memiliki tujuh daun. Entah ranting mana yang akan menunjukkan buahnya.

“Kita harus menunggunya sampai senja bukan?” gumam Thea.

“Iyaa.. Masih sekitar seperempat hari lagi.” Luella menghembuskan nafasnya kasar. Ini sudah hari ke tiga dan ia belum mendapatkan buah itu. Ia sangat khawatir kalau ia tidak bisa mendapatkan buah itu, karena mungkin nyawanya tidak akan tertolong.

“Sebt!” Tiba-tiba saja sebuah anak panah melesat dan mengenai salah satu di antara mereka.

“Akh!” Thea langsung melenguh saat ternyata anak panah itu menyerepet lengannya lalu menancap di tanah. Darahpun langsung menetes begitu saja. Cepat-cepat Thea menutupnya dengan telapak tangannya.

“Kamu terluka?” Xavier segera bangkit dari tempatnya dan melihat tangan Thea.

“I-Iya...” Thea meringis. Luka karena panah itu ternyata tidak cuma perih tapi juga panas.

“Ayo, kita harus segera bersembunyi.” Xavier membantu Thea berdiri dan satu tangan lainnya memapah Luella.

“Kamu bisa berdiri?” tanyanya pada Luella.

“Bisa.” Luella segera bangkit.

Mereka segera berlari menuju pepohonan yang rimbun untuk bersembunyi. Anak panah berikutnya kembali menyerang tidak hanya satu melainkan beberapa. Satu anak panah hampir mengenai Thea, beruntung Xavier bisa menangkapnya hingga telapak tangannya terluka.

“Kenapa mereka menyerang kita?” Tanya Thea yang mulai waspada.

Mereka bersembunyi di belakang pohon yang rindang dengan nafas terengah-engah.

“Karena kita ada di dekat air. Klan air tidak suka orang asing berdiam di wilayahnya.” Ucap Xavier, yang masih berusaha mengintip.

“Bukan. Aku rasa anak panah itu bukan dari klan kami.” Luella mengambil satu anak panah dan melihatnya dengan seksama.

“Benarkah?” Xavier tidak percaya. Ia mengambil anak panah dari tangan Luella.

“Iya. Anak panah dari klan kami tidak memiliki bisa racun. Anak panah milik kami hanya mengandung racun getah pohon yang membuat luka yang terkena panah itu anak seperti mati rasa untuk beberapa saat.” Terang Luella.

“Itu kalau hanya menusuk di permukaan. Kalau menusuk terlalu dalam, mangsanya pasti akan sama-sama mati. Lagi pula, kenapa kalian harus menyerang orang asing? Mungkin saja mereka hanya berkunjung dan tidak berniat buruk.” Ketus Thea dengan kesal. Luka di lengannya semakin terasa perih dan panas saja.

“Lalu, anak panah ini milik siapa? Bentuknya sama dengan anak panah yang pernah menyerangku beberapa kali.” Ucap Xavier yang masih memandangi anak panah di tangannya.

“Apakah beracun?” Thea merasa kalau tubuhnya mulai lemas dan kepalanya pusing berputar. Tubuhnyap pun perlahan terasa panas.

“Iya. Tapi aku tidak tahu racun apa yang mereka gunakan.”

“THEA!!” Belum selesai Xavier dengan kalimatnya, tiba-tiba saja Thea terkulai lemah. Wajahnya pucat pasi dan tidak sadarkan diri.

"Thea! Bangunlah!" Seru Xavier seraya mengguncangkan tubuh Thea. Tapi sayangnya gadis itu sudah tidak sadarkan diri.

*****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!