Nyala api yang padam

Thea kembali menoleh saat ia mengambil langkah yang semakin jauh dari Goa yang beberapa hari ini ia tinggali. Hatinya masih terasa berat meninggalkan rumah pertama di dunia bernama Godland ini.

Walau Goa itu hanya sebuah ruang sempit dengan alas tidur dari batu yang keras dan dingin, tapi ia bisa tertidur lelap. Tidak ada kekhawatiran apapun di pikirannya. Tidur di atas batu itu juga pernah membawa Thea bertemu dengan ayahnya dalam mimpi. Laki-laki depresi yang meninggalkannya saat berusia 5 tahun.

Padahal selama ia tinggal di dunianya yang sebenarnya, ia tidur di atas kasur yang cukup empuk. Tapi tidurnya tidak pernah lelap. Suara teriakan sering terdengar dan menggaung di rongga telinganya. Bayangan-bayangan ketakutan karena di tinggalkan masih selalu mengusik lelapnya.

“Laki-laki itu gila. Usir dia dari tempat ini. Jangan sampai dia menyakiti anak-anak kita.” Ujaran seorang wanita yang ketakutan melihat ayah Thea mengamuk, kembali terngiang di telinga Thea. Matanya yang melotot tajam, seperti mencabik hati Thea yang masih sangat rapuh. Ia hanya bisa menangis tanpa mengerti apa alasan mereka begitu membenci Thea dan ayahnya.

Kejadian itu berlangsung ketika tanpa sengaja sang ayah menyiram Thea dengan air dari atas wadah. Pikirannya yang kosong membuat ia tanpa sengaja melukai Thea. Namun Thea kecil belum memahami itu. Dan karena tangisnya yang kesakitan, tuduhan melukai anak kecil semakin kencang di tujukan pada sang ayah.

Mereka terusir dan ayah Thea meninggal dalam perjalanan mereka keluar kota, karena sebuah kecelakaan. Thea kecil tumbuh di jalanan bersama para pemulung. Ia memunguti sampah dan menjualnya. Orang-orang besar hanya membayarnya dengan uang koin atau roti untuk makanan Thea. Semua kesulitan itu dihadapi Thea hingga ia beranjak dewasa.

“Kamu masih mau tinggal di sana?” Tanya Xavier saat mendapati Thea hanya mematung tidak bergeming. Sementara ia sudah berjalan lebih dulu di depan Thea.

“Tidak. Ayo!” Sahut Thea yang segera tersadar. Bukankah berpindah tempat tinggal adalah hal yang biasa bagi Thea?

Thea melanjutkan langkahnya menyusul Xavier dan mensejajari langkah laki-laki itu.

“Kemana arah kita pergi?” Tanya Thea yang berusaha terlihat biasa.

Xavier tidak lantas menimpali. Ia mempehatikan ekspresi Thea beberapa saat. Walau pura-pura tidak terjadi apa-apa, tapi wajah gadis itu jelas menyimpan kesedihan. Apa meninggalkan Goa itu menjadi alasan gadis ini bersedih?

“Orang yang tidak pernah memiliki tujuan harusnya tidak perlu merasa memiliki terhadap sesuatu. Apalagi merasa meninggalkan.” Ujar Xavier dengan datar.

Thea tersenyum kecil. “Tentu.” Sahutnya, seraya mengendikkan bahu. Ucapan Xavier terasa tepat untuk ia mengerti.

Melihat perubahan ekspresi Thea, Xavier rasa gadis ini mampu memahami dengan cepat.

“Kamu masih membawa tombakmu?” Xavier memperhatikan tombak yang cukup panjang di tangan Thea.

“Ya. Mungkin kita membutuhkannya saat kita akan berburu makanan nantinya.” Thea menganggkat tombak itu dan memandanginya dengan penuh kebanggan. Selain gelang yang terputus, ini benda kedua yang tidak pernah jauh dari dirinya.

“Kalau begitu, naiklah ke punggungku.” Xavier merundukkan tubuhnya yang tidak lama kemudian berubah menjadi serigala.

Tanpa menunggu lama, Thea segera naik ke punggung Xavier.

Membawa Thea di atas punggungnya, Xavier mulai berlari dengan kencang. Ia mencoba menghindari tempat-tempat tersembunyi yang mungkin terdapat para pemburu di sekitarnya.

“Sebt!” Benar saja, sebuah anak panah kembali terarah pada Xavier dan Thea. Hampir saja mengenai tubuh Thea. Beruntung Xavvier bisa menghindarinya.

“Kamu merunduk saja!” seru Xavier yang menambah kecepatan berlarinya.

Thea patuh dan segera membungkukkan tubuhnya seraya berpegangan pada leher Xavier. Kencangnya Xavier berlari membuat Thea nyaris tidak bisa melihat lingkungan di sekitarnya. Matanya memincing tajam tapi tidak ada sesuatu yang berhasil tertangkap oleh penglihatannya.

Apa selamanya mereka akan seperti ini, berlari dan terus melarikan diri dari satu tempat ke tempat lainnya?

“Tolooong… Toloooong….” Sebuah suara membuat telinga Xavier meruncing.

Ia menghentikan langkahnya sejenak dan melihat kesekelilingnya. Ia berdiri tepat di atas sebuah batu besar yang menjadi batas antara Klan tanah dan klan air.

“Kamu mendengarnya?” tanya Xavier.

“Iya, aku mendengarnya.” Sahut Thea yang segera menegakkan tubuhnya dan turun dari punggung Xavier.

“Apa kita sudah sampai di klan air?” Thea melihat kesekelilingnya yang asing. Sebuah sungai mengalir di hadapannya.

“Iyaa.. Ini adalah batas wilayah antara klan air dan klan tanah. Kamu bisa berenang?”

Air sungai yang berwarna biru jernih itu tampak begitu tenang tapi pasti di bagian dasar sangat menghanyutkan.

“Bisa. Tapi untuk menyebrangi sungai selebar ini, aku tidak yakin kalau aku mampu.” Ungkap Thea dengan pesimis.

Ia memandangi permukaan air yang dalam dan memantulkan wajahnya bersama seekor serigala disampingnya. Dalam hitungan detik, Xavier merubah wujudnya kembali menjadi sosok manusia.

“Tolooong… Tolooonggg…” Suara itu kembali terdengar, membuat keduanya harus bergegas.

“Kita tidak punya pilihan lain selain menyebrangi sungai ini. Aku akan memegangimu, ingat jangan berenang terlalu jauh dariku.” Pesan Xavier.

“Iya.” Thea sudah mulai bersiap. Ia menarik nafasnya dalam lalu menghembuskannya.

Berulang kali ia melakukannya sampai kemudian tiba-tiba Xavier menggenggam tangannya dan membawanya melompat.

“Byurrr…”

Mereka masuk ke dalam air dan berrenang menuju tepian yang berjarak sekitar 10 meter. Walau airnya sangat jernih namun Thea tetap tidak bisa melihat batas terdalam dari sungai ini. Semakin dalam ia berenang, semakin terasa arus air yang deras hendak membawanya ke hilir.

Thea mengangkat kepalanya ke permukaan untuk menghirup udara, begitupun dengan Xavier. Dari tempat mereka berada, perjalanan mereka baru sekitar seperempatnya saja.

“Ayo kita lanjutkan.” Ajak Xavier yang menarik lagi tangan Thea.

Thea ikut menyelam dan tiba-tiba, entah mengapa Thea merasa pusing. Air di bawah tubuhnya seperti berputar dan menarik tubuhnya.

Thea meronta-ronta ketakutan. Xavier yang menyadari sikap Thea, segera menarik tubuh gadis itu agar mendekat padanya. Ia mempercepat gerakan kakinya untuk berenang. Sesekali ia membawa Thea ke permukaan untuk mengambil nafas untuk kemudian melanjutkan perjalanannya menuju tepi sungai.

“Aahh aahh aahh…” Thea masih terengah kesesakan saat tiba di bibir sungai. Ia terduduk lemah bersama Xavier yang memandanginya dengan cemas.

“Kamu baik-baik saja?” Tanya Xavier.

Thea hanya mengangguk, ia belum bisa menjawab karena dadanya masih terasa sesak.

Suasana di klan tanah dan air memang berbeda. Udara terasa lebih dingin di sini.

“Ayo kita harus segera pergi, di sini tidak aman.” Xavier membantu Thea berdiri dan memegangi pinggangnya.

Thea ikut melangkah kemanapun Xavier membawanya.

Setelah cukup jauh berjalan, mereka merasa kalau suara teriakan minta tolong itu semakin jelas terdengar.

“Toloooong.. Tolooong…” Kali ini suaranya mulai melemah, seperti dia kehabisan tenaganya untuk meminya tolong.

Thea mempercepat langkahnya namun Xavier segera menahannya.

“Berhati-hatilah, mungkin ini jebakan untuk kita.” Pesan Xavier yang waspada.

Thea mengangguk setuju. Xavier benar, di tempat asing seperti ini mungkin saja suara itu adalah jebakan agar mereka mendekat.

Masuk ke dalam hutan, suasana benar-benar berbeda. Thea merasa kalau tempat ini memiliki energi yang berbeda. Di hutan ini, Thea tidak melihat satu ekorpun binatang yang melata atau terbang di dekatnya. Sangat jauh berbeda dengan hutan yang ada di wilayah klan tanah.

“Toloong,,, Tolong…” Suara itu semakin lemah di antara suara hutan yang hening dan tenang.

“Di sana.” Tunjuk Xavier pada sebuah pohon dengan batang besar yang melintang di dekatnya. Ia melihat ada seorang gadis yang terbaring dengan sebuah kayu yang menimpa kakinya.

“Dia sendirian.” Thea terus mengendap, mendekat pada gadis itu lalu bersembunyi di belakang pohon.

“Tunggu di sini, aku yang akan menolongnya.”

Xavier berjalan di depan Thea. Ia hendak berlari dengan cepat dan menggunakan kekuatannya untuk menyelematkan gadis itu. Tapi, tiba-tiba kakinya malah terasa berat.

“Kenapa?” Thea memperhatikan Xavier yang tampak kesulitan menggerakan kakinya.

“Entahlah, aku tidak bisa menggerakan kakiku.” Keluh Xavier yang menatap kedua kakinya dengan bingung.

“Apa karena kita berenang terlalu jauh?”

“Aku tidak yakin.” Xavier masih tampak berpikir.

Mengobati rasa penasarannya, Xavier mengangkat tangannya dan berusaha memunculkan api di telapak tangannya. Tapi sudah mencoba beberapa kali, nyala api tetap tidak menyala di tangannya. Pupilnyaa pun tidaak berubah merah.

“Apa kekuatanku hilang?” ujar Xavier dengan lemah.

****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!