Xavier

“Aaaaaakkkk….” Suara teriakan Thea cukup keras terdengar bersamaan dengan langkah kakinya yang sigap segera mundur dari tempatnya.

Dengan sepotong kayu di tangannya, Thea berusaha melindungi dirinya dari sesosok binatang buas yang kini berjalan ke arahnya.

Seekor serigala putih dengan tinggi lebih dari setengah tinggi badan Thea, tampak terus mendekat dengan wajah menyeringai dan erangan tertahan dimulutnya. Serigala itu tampak lapar, tubuhnya agak kurus dan banyak sekali luka di tubuhnya yang hampir mengering.

“Hhhrrr… Hhhrrrr….” Selangkah demi selangkah serigala itu mendekat.

Mungkin karena wangi ikan bakar yang membuat binatang buas di hutan ini kemudian mendekat. Tunggu, apa akan ada binatang buas lainnya yang datang?

“Akh sial, harusnya aku lebih berhati-hati.” Batin Thea yang mulai sadar kesalahannya.

“Jangan mendekat! Tolong jangan mendekat!” pinta Thea dengan ketakutan.

Namun serigala itu terus mendekat dengan langkahnya yang pelan seperti mengedap-endap hendak menerkamnya. Tentu saja, mana mungkin serigala itu paham dengan perkataannya.

Thea terus berusaha mundur menjauh dari serigala itu. Tapi di langkah keempat, ia harus berhenti karena sebuah pohon besar menghalangi langkahnya di belakang.

“Akh sial!” Thea sudah pasrah. Ia memegang tongkat di tangannya erat-erat untuk melindungi dirinya.

Sepertinya serigala ini lebih tertarik untuk memakannya daripada memakan ikan bakar yang wanginya sangat enak. Tentu saja, 5 ekor ikan bakar mana cukup untuk serigala sebesar ini.

“Jangan mendekat lagi, atau aku akan melemparmu dengan kayu ini, hah?! A-aku juga punya batu.” Cepat-cepat Thea mengambil batu di dekat kakinya. Karena besar dan berat tangan Thea semakin gemetaran.

Dalam keadaan seperti ini, rupanya tidak hanya Thea yang merasa terancam. Mata serigala yang semula berwarna kecoklatanpun kini berubah menjadi merah dengan erangannya yang semakin keras.

“Apa dia akan memakanku?” Pikir Thea.

Belum selesai dengan pikirannya, tiba-tiba saja serigala itu melompat hendak menerkam Thea. Tubuh tingginya melayang ke udara seolah menutupi matahari di atas kepala Thea dan membuat bayangan nyata di atas tanah bersalju.

Tinggi sekali lompatannya.

“AAAAKKKKK!!!!” Teriak Thea yang mendadak kedua tangannya lemah lalu batu dan tongkat itu terjatuh. Hanya kedua tangan kosong yang kemudian melindunginya dengan tersilang di atas kepalanya.

Tiba-tiba saja,

“BRUG!” serigala itu jatuh tepat di atas tubuh Thea membuat Thea bisa melihat wajah serigala yang menakutkan itu dihadapannya.

Tatapan mata Thea yang ketakutan, bertemu dengan mata serigala yang menyalak. Jantung Thea seperti berhenti berdetak, ia sudah pasrah jika kemudian serigala ini memakannya.

“AAARRRWWW!!!” Serigala itu membuka mulutnya membuat beberapa air liur menetes di wajah dan kepala Thea.

Thea pasrah saja, ia menutup wajahnya dengan kedua tangan yang tersilang. Kedua tangan yang gemetaran dan tidak memiliki tenaga untuk mendorong menjauh tubuh serigala yang mengungkung tubuhnya. Ia hanya bisa menutup mata dan menahan nafasnya. Nafas yang mungkin akan menjadi nafas terakhir kali yang ia tahan. Jantungnya sudah berdetak tidak karuan bahkan nyaris berhenti.

Tapi, sejurus kemudian, tiba-tiba saja serigala itu ambruk dan berguling menjauh dari tubuh Thea. Serigala itu meringkuk kesakitan sementara gelang di tangan Thea tampak menyala.

“Ada apa ini?” Thea segera membuka matanya.

Gelang di tangannya benar-benar menyala dan serigala itu semakin kesakitan.

“Hah? Apa karena gelang ini?” Thea segera bangkit duduk dan mengarahkan gelang itu ke arah serigala.

Lagi, serigala itu mengerang kesakitan.

Thea bisa tersenyum lega, ternyata gelang ini benar-benar melindunginya. Thea iseng mencoba, mendekatkan gelang itu pada serigala dan serigala itu langsung meringis lalu menjauhkannya lagi dan serigala itu tidak lagi kesakitan. Thea mengulangnya lagi saat serigala itu berusaha bangkit dan lagi, serigala itu ambruk.

“Turunkan tanganmu bodoh!” sebuah suara membuat Thea terhenyak.

Namun tidak lantas menurunkan tangannya dan memilih melihat kesekeliling, mencari sumber suara.

“Siapa itu?!” Thea berteriak, berusaha mencari sumber suara baik di belakang pohon pinus atau rerumputan di sekitarnya, tapi tidak ada siapapun.

“Ku bilang turunkan tanganmu perempuan bodoh!” lagi suara itu terdengar, tepat dari hadapannya dan di susul dengan suara erangan serigala.

“Astaga! Apa itu suaramu?” Thea semakin kaget saja.

Ia melihat serigala yang masih meringis kesakitan dan berusaha bangkit.

“Pikirmu siapa lagi hah?” timpalnya, sarkas.

“Hah, apa aku sedang bermimpi? Bagaimana aku bisa mengerti bahasamu?” Thea kebingungan sendiri sambil tetap waspada memandangi serigala di hadapannya. Ia mengetuk-ngetuk kepalanya, sudah tidak sakit tapi respon indra di tubuhnya semakin aneh saja.

Thea tampak berpikir, tempat ini benar-benar aneh. Beberapa kejadian tidak terduga benar-benar ia alami.

Mulai dari bisa melihat tanpa kacamata, mencium wewangian yang selama ini tidak pernah ia rasakan, lalu lukanya sembuh setelah berenang, mudahnya menangkap ikan dan sekarang, ia bisa mendengar binatang buas ini berbicara.

Apa yang salah dengan dirinya? Apa ia benar-benar sedang bermimpi? Kenapa terasa sangat nyata?

Untuk menyadarkan dirinya, Thea mencubit pipi lalu memukul wajahnya sendiri.

“Plak!” sebuah tamparan keras ia layangkan ke pipinya, sangat sakit tapi keadaan tetap sama. Ia tetap berada di tempatnya tanpa ada perubahan yang berarti.

“Perlu aku yang menamparmu?” Tanya serigala yang diam-diam memperhatikan kebingungan Thea.

“Apa aku tidak bermimpi? Kenapa aku tidak terbangun? Kenapa aku masih berada di tempat ini?” cerocos Thea yang masih kebingungan.

Serigala itu hanya menyeringai, seperti wajah yang sedang meledeknya dengan senyuman kecut.

“Aku Xavier. Sepertinya kau memang benar bisa mendengar suaraku.” Ucap serigala itu yang kini beralih meninggalkan Thea dan mendekat pada jejeran ikan yang sedang di bakar.

Namun tatapannya tetap tertuju pada Thea yang masih kebingungan.

“Apa serigala juga punya nama?” Thea semakin penasaran.

Ia mengambil selembar daun yang kering dengan seekor semut di atasnya.

“Hey, bicaralah semut. Aku ingin tahu apa kamu juga bisa berbicara?” Thea dengan tingkahnya yang absurd.

Bukannya bersuara, semut itu malah menggigit punggung tangannya.

“Awh!” Thea meringis kesakitan saat semut api itu menggigitnya dengan kuat.

“Rupanya kau benar-benar bodoh. Pikirmu semut itu bisa bicara sepertiku?” serigala itu masih berjalan mengelilingi tungku yang membakar ikan, sepertinya ia sangat menunggu ikan itu matang.

“Lalu kenapa aku bisa mendengar suaramu? Apa kamu manusia yang juga tersesat di sini dan dikutuk menjadi serigala?” Thea bertanya dengan bertubi-tubi.

Air muka serigala itu jelas terlihat berubah. Wajahnya yang semula menyeringai sekarang mendadak murung.

“Benar bukan, sebelumnya kamu pasti manusia. Aku bahkan bisa mengerti arti perubahan ekspresimu.” Berganti Thea yang kini berjalan mendekat pada serigala bernama Xavier itu.

“Berhenti menatapku seperti itu!” Tanpa rasa takut Thea memperhatikan benar-benar ekspresi wajah Xavier.

“Tadi saja kau ingin menerkamku tapi saat aku dekati kamu malah salting.” Ledek Thea

“Apa itu salting? Tidak ada bahasa seperti itu di tempat ini.” Xavier memilih untuk duduk di hadapan tungku.

“Lagi pula, aku tidak berniat memakanmu. Kamu tidak terlihat enak untuk dimakan.” Lanjut Xavier.

“Oh ya? Apa kamu tidak memakan daging mentah? Lalu kenapa tadi kamu menerkamku?” Thea yang semakin penasaran memilih ikut duduk di samping Xavier. Ketakutannya  mendadak hilang terlebih saat ia sudah tidak melihat lagi kilatan merah di mata Xavier.

“Siapa yang tidak akan menerkammu kalau kamu mengancam serigala seperti tadi?” Rupanya Xavier sangat suka membalas pertanyaan dengan pertanyaan lagi.

“Pikirmu manusia mana yang akan diam saja saat melihat binatang buas mendekat?” dan Thea membalasnya lagi.

“Ck! Kamu manusia berisik!” Decik Xavier.

“Hhahaha… Kamu bahkan bisa bercedik. Benar-benar serigala yang aneh.” Ucap Thea asal.

Namun senyumnya segera berhenti saat Xavier menatapnya dengan dingin. Persis laki-laki yang sedang kesal karena Thea meledeknya.

“Kapan ikan ini matang, manusia aneh?” Xavier sudah tidak tahan dengan wangi ikan di hadapannya.

“Namaku Thea, bukan manusia aneh!” Thea mendelik tidak suka. Bisa-bisanya ia mendelik pada seekor serigala yang tadi hampir menerkamnya.

“Kapan ikan ini matang, Thea?” Xavier mengulang pertanyaannya dan menyebut nama Thea.

“Hhahaaha… Kau sangat lucu. Kapan ikan ini matang, Thea? Hahahah benar-benar lucu.” Kali ini Thea bahkan tertawa sambil mengejek ucapan Xavier.

“Baiklah baiklah, sebentar lagi dia matang.” Ralat Thea saat ia melihat sorot mata dingin itu meliriknya. Pantas saja tubuh Xavier cenderung kurus. Yang membuatnya terlihat gagah hanya bulunya yang tebal. Rupanya serigala ini pilih-pilih makanan.

“Lalu bagaimana selama ini kamu makan? Di tempatku bahkan ikan-ikan di makan saat mentah dan harganya sangat mahal. Ini gratis dan kamu masih minta matang. Aneh!” decik Thea.

Ia mengambil satu panggangan ikan yang hampir matang lalu meniupinya. Xavier memandangi Thea dengan air liur yang sudah nyaris menetes.

“Aku tidak pernah makan mahluk berdarah dalam kondisi mentah.” Terang Xavier, datar.

“Tunggu, jadi selama ini kamu makan apa?” Thea kembali memandangi wajah dingin Xavier dengan penasaran.

“Mencarinya di tempat tinggal manusia.”

“Mencarinya, atau mencurinya?”

Xavier tidak menjawab, dalam hatinya ia mengakui kalau ia terpaksa mencurinya. Dan sekarang, entah sudah berapa lama ia tidak makan.

“Sudahlah, tidak perlu menjawab pertanyaanku. Makanlah, ini sudah matang.” Thea menyodorkan ikan bakar itu pada Xavier.

“Aakhhh, turunkan tanganmu bodoh!” Lagi Xavier meringis saat melihat gelang di tangan kiri Thea.

“Oh maaf, aku tidak menyadarinya.” Thea segera menurunkan tangannya dari hadapan Xavier.

Ia menaruh ikan di atas daun yang lebar lalu berbalik membelakangi Xavier. Beberapa saat Ia memandangi gelang di tangannya yang saat ini sudah tidak lagi menyala.

“Aku baru tahu, kalau gelang ini bisa menyala, padahal sudah 25 tahun aku memakainya.” Gumam Thea sambil memperhatikan gelang di tangannya.

Saat tidak diarahkan pada Xavier, gelang ini memang tidak menyala tapi saat didekatkan nyala kebiruan itu jelas terlihat.

“Dari mana kamu mendapatkannya?” Tanya Xavier yang mulai menikmati ikan bakarnya dengan lahap.

“Katanya, dari ibuku. Ibuku yang membuatnya sebelum dia meninggal.” Thea bersuara lirih, terdengar isyarat kesedihan dari suaranya yang rendah.

“Jadi usiamu 25 tahun?” Xavier kembali bertanya dan membuat Thea mengangguk kecil.

“Aku baru memberitahumu kalau ibuku sudah meninggal dan aku juga ingin memberitahumu kalau ayahku juga sudah meninggal. Kenapa kamu tidak mengatakan turut berduka cita?” Thea menoleh Xavier dengan kesal. Tidak ada empati sama sekali menurutnya.

“Bukannya manusia memang lahir untuk mati? Kenapa kamu memusingkannya?” timpal Xavier dengan santai, seolah serigala ini memang tidak punya hati.

“Akh sudah lah, tidak ada gunanya berbicara hal seperti ini denganmu.” Thea tertunduk lesu. Memangnya apa yang ia harapkan dari binatang buas ini?

“Ngomong-ngomong, usiamu berapa?” Thea kembali menoleh Xavier yang hampir menghabiskan kelima ikannya. Tidak apalah, lagi pula ia bisa menangkapnya lagi. Dan saat ini selera makannya sudah hilang karena membahas masalah orangtuanya.

“400 tahun.” Sahut Xavier dengan santai.

“APA?!” Thea sampai tercengang. Padahal setahu Thea, serigala hanya bertahan hidup selama 16 tahun.

“Bagaimana kamu bisa bertahan hidup selama itu?” Thea sampai berbalik menatap Xavier dengan tidak percaya.

“Entahlah. Aku juga sudah bosan.” Hanya itu jawaban singkat Xavier.

*****

Terpopuler

Comments

Evi

Evi

lanjut thoor

2023-01-21

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!