“Sebt!” Sebuah anak panah tiba-tiba saja menancap di atas kayu perapian saat Thea dan Xavier tengah mengolah sarapannya.
“AWAS!!” Xavier segara menarik tubuh Thea masuk ke dalam Goa dan bersembunyi di balik dinding Goa.
Tarikan tangan Xavier yang tiba-tiba membuat Thea terjerembab menubruk dada Xavier. Sementara tangan Xavier melingkar di pinggang Thea dan membuat jarak mereka sangat dekat.
“Siapa itu?” Tanya Thea yang masih terkejut. Ia sama-sama ikut mengintip penyerang mereka dari balik dinding Goa.
“Aku tidak tahu. Entah, bagaimana mungkin mereka bisa menemukan persembunyian kita.” Sahut Xavier yang masih berusaha mengintip tapi tidak melihat satu orangpun.
Rupanya mereka bersembunyi dengan baik di belakang pepohonan dan semak belukar.
“Sebt!” Anak panah kedua kini melesat dan mengenai ikan bakar yang sedang di panggang Thea.
“Akh sial, itu makananku.” Rengek Thea dengan kesal.
Ia hanya bisa mengepalkan tangannya dengan erat karena tidak terima ikan bakar yang sudah ia tunggu-tunggu kematangannya malah di panah seseorang.
“Kenapa mereka begitu pengecut, menyerang kita tanpa menunjukkan wujud mereka? Harusnya, kalau mereka memang berani, hadapi kita.” Umpat Thea dengan kesal. Padahal ia sendiri tidak tahu bagaimana jadinya kalau nanti mereka benar-benar berhadapan. Hanya kemarahannya saja yang berbicara begitu lantang.
“Sebt!”
“Grap!” Sebuah anak panah yang terarah pada Thea, dengan cepat di tangkap Xavier sebelum mengenai mata Thea. Mata Thea membulat sempurna saat ia sadar kalau ia di serang dan hampir saja terluka.
“Apa serangan seperti itu yang kamu maksud?” Tanya Xavier seraya menatap Thea dengan senyum kecil yang seolah meledeknya.
“Ti-tidak.” Thea sampai tergagap saat melirik mata panah yaang tajam di dekat pelipisnya. Wajahnya mendadak pucat pasi. Ternyata benar, tidak baik bicara sembarangan dan menantang.
Kalau saja refleks Xavier tidak secepat itu, mungkin anak panah itu akan melukai Thea.
“Kalau begitu diam lah atau mereka akan mendengar kita.” Xavier membawa Thea bersembunyi semakin dalam, membelakangi dinding Goa dan tidak lagi berusaha mengintip.
“I-Iya.” Thea mengangguk patuh.
Mendapati serangan yang tiba-tiba, Xavier mencoba merasakan energi yang saat ini mengepung ia dan Thea. Matanya terpejam dan berusaha melihat penyerang yang mengitari Goa tempat mereka bersembunyi.
Satu tangannya terulur untuk mematikan api dari jarak jauh.
Thea sampai terkejut saat tiba-tiba api yang sedang menyala-nyala tiba-tiba saja meredup kemudian mati.
“Wawh… Bagaimana kamu bisa melakukannya?” Ia terkejut dan takjub di waktu yang bersamaan.
Tidak percaya dengan apa yang dilakukan Xavier, Thea menatap wajah laki-laki yang sedang memejamkan matanya sambil berusaha merasakan energi dari lawan-lawannya.
Melihat Xavier yang memejamkan matanya dengan dahi tertaut, membuat Thea tercenung beberapa saat. Ia kembali menyadari, kalau paras Xavier memang menawan. Denga jarak sedekat ini, Thea bisa melihat wajah Xavier yang berkharisma dan gagah dengan rambut halus di rahang hingga ke dagunyaa serta karakter alisnya yang tebal, begitu sempurna membingkai wajah tampan dengan hidung bangir dan bibirnya yang merah dan berisi.
“Akh, sial!” Dengus Thea sembari mendorong tubuh Xavier sedikit menjauh saat ia merasakan dadanya yang berdebaran kencang tidak karuan.
“Kenapa?” Xavier menarik lagi tubuh Thea dengan satu tangannya yang kokoh. Matanya yang semula terpejam kini menatap Thea. Thea bisa melihat tubuhnya yang nyaris bersatu dengan tubuh Xavier, saking rapatnya Xavier ingin melindungi Thea.
"Jangan kemana-mana, diam di sini." Titah Xavier dengan tatapan tajam yang mengunci Thea.
“I-Iya."
"Tapi apa mereka sudah pergi? Sepertinya tidak ada lagi anak panah yang menyerang kita.” Thea berpura-pura celingukan melihat ke sekelilingnya. Beruntung Thea masih bisa berpikir jernih sehingga bisa mengendalikan dirinya dari pesona seorang Xavier.
“Tidak, mereka masih memantau kita. Sepertinya masih ada sekitar delapan hingga sepuluh orang yang mengintai kita. Kenapa, apa kamu takut? Bukannya tadi kamu ingin menghadapi mereka?” Xavier menatap lekat wajah yang sedikit pucat itu.
Thea menggeleng lalu memalingkan wajahnya dari Xavier.
“Apa kita akan tetap seperti ini sampe mereka pergi?” Thea menunjuk satu tangan Xavier yang melingkari tubuhnya.
“Oh, tidak.” Tersadar, cepat-cepat Xavier melepaskan rangkulannya hingga tubuh Thea mundur beberapa langkah karena tidak berdiri dengan benar.
“Ba-baiklah.” Thea tetap memalingkan wajahnya dari Xavier dan Xavier menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Ia merasakan kecanggungan yang sama saat sadar kalau posisi mereka terlampau dekat.
“Aku rasa, mereka mulai menjauh. Mereka hanya prajurit biasa yang tidak bisa merasakan energi kita. Jadi saat kita bersembunyi mereka akan berpikir kalau kita sudah pergi. Tapi sepertinya, kita tidak bisa lagi bersembunyi di tempat ini.” Ujar Xavier saat merasakan musuhnya semakin menjauh.
Ia keluar dari persembunyiannya dan benar saja tidak ada lagi serangan anak panah yang tertuju padanya.
“Apa kita harus mencari tempat persembunyian lain? Sayang sekali, padahal tempat ini sangat nyaman.” Thea mengikuti langkah Xavier yang keluar dari dalam Goa.
“Iya. Tepat ini sudah tidak aman.” Sahut xavier seraya mengambil ikan bakar yang masih berada di atas perapian.
“Lalu kita akan pergi kemana?” Thea ikut berjongkok dan memandangi Xavier yang sedang meniupi ikan bakar di tangannya.
“Ke klan air."
"Akan lebih banyak tempat aman di sana, karena daratan mereka jarang terjamah."
"Mereka lebih banyak tinggal di daerah-daerah yang berdekatan dengan sumber air. Karena kekuatan mereka tidak sekuat dulu, terlebih setelah ratu mereka pergi entah kemana.” Setelah di tiupi, Xavier memberikan ikan itu pada Thea. Dari sorot matanya seolah mengatakan, makanlah.
“Terima kasih.” Sambut Thea dengan senang hati.
“Hem,…” Xavier mengambil satu ikan lainnya lalu mulai menikmatinya.
Mendengar separuh cerita Xavier, Thea jadi semakin penasaran. Ternyata banyak hal menarik yang tidak ia tahu dan terjadi di Godland ini.
“Bagaimana bisa seorang ratu pergi dan meninggalkan klannya?” Pertanyaan itu yang kini mengusik Thea. Ia menatap xavier dengan penasaran dan belum mau memakan ikan bakarnya sebelum Xavier menjawab.
“Entahlah. Aku hanya mendengarnya saja. Saat itu usiaku masih terlalu kecil untuk memahami masalah yang ada di atas langit.” Xavier menghentikan sejenak kunyahannya seraya berpikir, mengingat apa yang pernah di katakan orang-orang di sekitarnya, dulu.
“Kalau tidak salah, karena ada seorang manusia yang menculiknya.” Ingatan itu yang kemudian muncul di benak Xavier.
“Di culik manusia?”
“Memangnya pernah ada manusia lain yang datang ke Godland selain aku?” Thea semakin penasaran.
“Entahlah, aku hanya mendengarnya sedikit.” Xavier mengendikkan bahunya acuh dan tetap menikmati ikan bakarnya yang enak.
“Lalu bagaimana cara dia kembali kedunianya? Apa ada tempat khusus yang memiliki pintu untuk ke dunia lain?” Jawaban Xavier ternyata tidak cukup untuk Thea.
“Thea, usiaku saat itu baru beberapa tahun saja, aku tidak persis mengingat apa yang terjadi di masa itu.”
“Tapi yang jelas, menurut para tetua di kerajaanku, satu tahun di dunia manusia setara dengan 25 tahun di Godland. Yang berarti, buatku kejadian itu sudah sekitar ribuan tahun lalu. Apa kamu masih berpikir kalau aku masih mengingatnya?” Xavier balik bertanya.
“Tentu saja tidak.” Thea terduduk pasrah. Ia jadi memandangi nyala api yang hanya tersisa sedikit di permukaan arang.
“Kenapa, kamu ingin pulang?” Xavier berusaha menerka isi pikiran Thea.
“Entahlah. Aku sendiri bahkan tidak tahu apa yang aku inginkan.” Sahut Thea seraya mencubiti sedikit demi sedikit daging ikan di panggangannya lalu memakannya.
“Kalau begitu, mulai sekarang pikirkanlah apa keinginanmu. Aku akan membantumu, sebagai balasan karena kamu menolongku.” Janji Xavier yang menatap pasti pada Thea.
Thea hanya terdiam sambil menatap Xavier. Baru kali ini ia mendengar seseorang berjanji padanya bahkan berniat menolongnya. Padahal di dunianya, tidak pernah ada yang peduli pada keinginannya. Thea hanya mahluk minoritas yang tidak ada pentingnya.
“Saat ini, aku hanya ingin ada di sini.” Ucapnya penuh keyakinan.
Entah mengapa ia merasa kalau ia jauh lebih memiliki harapan di dunia yang tidak ia kenali ini di banding dunia ia sebelumnya.
“Baiklah. Kalau begitu, cepat selesaikan makanmu. Kita harus segera pergi sebelum ada yang datang lagi ke tempat ini.” Xavier segera beranjak dari tempatnya.
“Xavier, tunggu.” Panggil Thea.
“Ada apa?” Laki-laki itu segera menoleh.
“Terima kasih.” Ucapnya dengan senyum tertahan.
Xavier mengernyitkan dahinya, tidak paham dengan ucapan Thea. Untuk apa wanita ini mengucapkan terima kasih padanya?
“Ikan bakarnya enak.” Sambung Thea dengan segera. Ia merasa belum saatnya ia berbincang dalam dengan laki-laki asing ini.
“Kamu yang membuatnya Thea, kenapa berterima kasih padaku?” Xavier balik bertanya. Bukankah sedari tadi Thea lah yang menyiapkan sarapan untuk mereka.
“Hehehehe iyaa… Maksudku atas api yang cukup untuk membakar ikannya, hingga matang sempurna.” Thea jadi salah tingkah. Mendadak saja pikirannya tidak karuan melihat Xavier menatapnya lekat begitu.
“Kamu gadis aneh.” Sahut Xavier seraya menggelengkan kepalanya. Tidak habis pikir dengan ucapan Thea barusan.
Sementara Thea hanya tersenyum di tempatnya. Ia merutuki dirinya sendiri yang kadang memang bodoh di hadapan Xavier.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
elvi yusfijar
thea kah ratu yg d maksud itu
2023-02-27
1
Imas Karmasih
jangan jangan ratunya ibunya Teha
2023-01-29
1
cahaya💖
semangat kaka
2023-01-28
2