Danau

Terbitnya matahari dengan cahaya kekuningan yang menembus dedaunan membuat Thea membuka matanya. Kelopak mata yang masih saling terjalin itu kini mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya.

Karena kelelahan ia sampai tertidur begitu saja. Hanya dedaunan yang menjadi alasnya dan langit yang menjadi atapnya.

"Aaahh... Badanku sangat pegal." Thea memiringkan kepalanya kekiri dan kanan sambil memegangi leher yang terasa pegal karena tidur tanpa bantal.

Malam berat yang membuatnya berlari sekuat tenaga untuk menghindari para lelaki yang mengejarnya, membuat tubuhnya benar-benar menyerah. Ia tertidur lelap walau dinginnya malam membuat bulu-bulu halus di tubuhnya meremang.

Thea berusaha untuk bangkit, bertumpu pada kedua tangannya yang dipenuhi luka.

“Awh, sakit sekali.” Ia meringis menahan perih di kedua tangannya juga kakinya.

Darah sudah mengering, ikut membeku terdinginkan bulir salju yang turun semalam. Sedikit saja ia menghembuskan nafasnya, membuat ia bisa melihat gas karbon yang keluar dari mulutnya seperti uap asap.

"Dimana aku sebenarnya?" Thea bertanya pada dirinya sendiri.

Ia melihat jam di tangannya, sayangnya sudah tidak berfungsi. Merogoh ponselnya di dalam saku, juga sudah tidak menyala. Thea menekan tombol power berulang kali, tapi ponsel dengan layar yang retak itu tetap tidak menyala.

“Akh sial!” dengus Thea dengan emosi. Ia mengguryar rambutnya yang berantakan, dengan kasar.

“Tunggu, kemana kacamataku?” Thea baru sadar kalau kacamatanya sudah tidak ada. Ia dicari disekitarnya, tetap saja alat bantu penglihatannya itu tidak ada.

Kalau saja ia tidak bertemu dengan empat laki-laki itu, mungkin ia tidak akan tersesat di tempat yang asing ini. Walaupun ada matahari, cahayanya tidak secerah biasanya. Butiran salju tetap menutupi permukaan tanah dan pepohonan hingga hanya rasa dingin yang ia rasakan.

Banyak hal yang hilang dari dirinya, kecuali sebuah gelang yang setia melingkar di lengan kirinya. Gelang yang tidak pernah bisa ia lepas sejak ia masih kecil.

“Tunggu, kenapa aku bisa melihatnya tanpa kacamata?” Thea bertanya pada dirinya sendiri, saat ia bisa melihat titik biru di tengah gelangnya tanpa memerlukan kacamata.

“Apa mataku sudah sembuh?” Thea melototi setiap benda yang ada di dekatnya dan semua terlihat begitu jelas. Ia bahkan bisa membedakan warna putih salju yang baru turun dengan salju yang sedikit kekuningan karena bercampur dengan getah daun.

“Hah, mataku benar-benar sembuh! Bagaimana bisa?!” Thea senang sendiri karena ia tidak perlu menggunakan kacamata dengan ukuran minus 6 itu.

Ia mencoba mengendus sesuatu saat wewangian bunga tercium oleh hidungnya.

“Apa ini yang disebut wangi?” Thea mengikuti arah angin yang berhembus dan membawa wewangian itu.

Sejak lahir, ia memiliki kekurangan tidak bisa mencium apapun. Tapi hari ini ia bisa mencium wangi. Ia juga  bisa mencium bau asam di tubuhnya karena keringat yang kering di badan tanpa ia basuh.

Langkah kaki Thea masih mengikuti arah angin yang berhembus membawa wangi yang asing baginya. Semakin jauh ia melangkah, semakin jelas wangi yang menyapa rongga hidungnya.

Dari tempatnya, ia melihat bunga yang tumbuh di dekat sebatang pohon pinus putih. Thea mendekati bunga yang ia kenal dengan nama Bunga Camelia.

“Wah, aku benar-benar bisa mencium wangi bunga ini.” Ujar Thea saat ujung hidungnya menyentuh kelopak bunga Camelia.

Ia tersenyum lebar melihat bunga itu. “Apa aku benar-benar sembuh? Bagaimana bisa?” sambil memandangi bunga itu ia terus bertanya entah pada siapa.

Iseng, ia juga menyentuh butiran salju yang ada di permukaan kelopak bunga. Dengan sedikit sentuhan saja salju itu berjatuhan.

“Cantik.” Pujinya.

“Apa aku ada di dunia Alice yang indah seperti di dongeng?” Ia bertanya pada daun cemara yang di penuhi butiran salju lalu sengaja menggoyangnya agar salju itu berjatuhan.

“Hahahaha…” Thea tertawa kecil. Yang ia lakukan saat ini cukup menghiburnya

Ia duduk di bawah pohon cemara, memejamkan matanya seraya menghela nafasnya dalam.

“Jika ini mimpi, maka aku berharap aku tidak akan pernah terbangun. Di tempat ini, aku bisa mencium wangi bunga, melihat tanpa kacamata dan merasa kalau tempat ini menyambutku dengan baik. Walau dingin, ini lebih baik bagiku.” Ucapnya.

Tempat asing ini rupanya memberi banyak perubahan baik dalam diri Thea.

Sekali lalu ia membuka matanya dan memandangi awan yang tidak terlalu putih.

Walau ada matahari, langit tidak secerah biasanya. Seperti ada air hujan yang siap turun kapan saja dari awan-awan yang memayunginya.

Lama terdiam, Thea merasakan perutnya yang keroncongan.

“Aku sangat lapar.” Ia bangkit dari duduknya dan melihat ke sekeliling. Tidak ada jalan yang terlihat sebagai arah yang harus ia tuju.

“Dimana aku bisa menemukan makanan?” celingukan sendiri karena tidak ada satupun yang bisa ia tanya.

Thea berjalan ke sembarang arah. Membiarkan kakinya mencetak jejak yang entah akan dilihat oleh siapa. Di beberapa batu yang tertutup salju, ia melihat lumut hijau. Semakin jauh ia melangkah, lumut di bebatuan itu semakin banyak.

“Sepertinya aku akan segera bertemu dengan sungai atau danau.” Gumamnya.

Thea mempercepat langkahnya menuju arah yang ia yakini menuju ke sungai atau danau. Semakin banyak lumut di bebatuan langkahnya semakin cepat hingga akhirnya ia memutuskan untuk berlari.

Pemandangan berbeda di lihat Thea saat ia keluar dari hutan dan menyingkap satu daun lebar yang menghalangi pandangannya.

“Waaawww… Ini sangat indah…” Mata Thea terkesima saat melihat pemandangan di depan matanya.

Sebuah danau dengan pepohonan yang tidak terlalu tinggi dan daunnya yang lebat juga lebar, berdiri di sekitar Thea. Tidak ada salju di tempat ini, hanya saja udaranya sama-sama dingin. Matahari bersinar tidak terlalu terik, entah karena banyaknya pepohonan di sekitar Thea atau karena cahayanya yang memang tidak terik.

Ia mendekat ke bibir danau, lalu berjongkok di sana.

Jernihnya air membuat Thea bisa bercermin dan melihat wajahnya yang kotor.

“Lucas benar, aku memang sangat jelek.” Keluh Thea mengasihani dirinya sendiri.

Pantas saja selama ini lingkungan selalu menolaknya. Tidak sedikit orang yang memalingkan wajahnya saat melihat Thea.

“Apa aku seburuk itu?” lirih Thea seraya mengguyar rambutnya perlahan. Ia menampakkan seluruh wajahnya di atas permukaan air yang bahkan tidak beriak.

“Kamu tidak hanya jelek, kamu juga menyedihkan Thea.” Imbuhnya yang tersenyum ketir pada wajahnya sendiri.

Perlahan, Thea mencelupkan tangannya ke air. Rasa dingin dari air terasa merambat mengisi aliran syaraf di tubuhnya hingga sampai ke ujung kepala dan kakinya.

“Ahhh… Aku menyukainya…” Thea memejamkan matanya beberapa saat seraya merasakan dinginnya air yang ia sentuh. Energinya seperti terisi kembali.

Tidak lama Thea membuka kembali matanya. Bisa ia lihat, air yang semula tenang, kini mulai beriak.

“Tunggu, apa di danau ini ada buayanya?” Thea segera menarik tangannya. Ia takut jika beriak air itu karena mahluk penghuninya bergerak mendekat pada Thea.

Tapi saat Thea mengangkat tangannya, riak air itu berhenti.

“Ada apa dengan danau ini?” Thea memperhatikan permukaan air yang tidak bergerak sedikitpun.

Karena penasaran, ia mencelupkan kembali tangannya dan perlahan riakan air itu kembali terlihat.

Ia asyik sendiri melihat riakan air itu hingga kemudian ia memutuskan untuk melucuti semua bajunya satu per satu dan  hanya menyisakan pakaian dalam saja. Ia berjalan menuju danau yang semakin lama semakin landai hingga merendam tubuhnya.

Dalam beberapa langkah, kepala Thea tenggelam di danau dan air itu tetap dengan riaknya yang berkilauan saat terkena cahaya matahari.

“Haahh…” kepala Thea kembali muncul di permukaan. Sambil membuang dan menarik nafas bergantian. Ia perlu menukar udara di rongga dadanya.

Ia sedikit menggerakan kaki dan tangannya, berenang di sekitar danau yang dangkal dan ia merasakan kalau tubuhnya seperti menyatu dengan alam.

Cukup lama Thea berenang dan menikmati waktunya berendam. Ia baru berhenti saat merasakan perutnya yang sangat lapar.

Kembali ke daratan, Thea segera mengenakan bajunya.

“Hah, Lukaku mana?” Thea di buat terkejut saat melihat beberapa lukanya yang mulai tertutup.

Ia mengecek sikutnya, hanya luka tipis yang seperti mau mengering yang ia lihat. Ia juga perutnya yang terbentur, ternyata luka lebamnya sudah memudar. Thea semakin semangat untuk mengecek luka di  paha, lutut, betis dan ujung ibu jari kakinya, semuanya membaik.

“Hah, apa air ini obat untuk segala pengakit?” Thea kembali berjongkok dan memandangi wajahnya yang memantul dari permukaan air.

Sisa tanah di pipi, luka di sudut bibir bahkan bekas luka kehitaman di dahinya pun hilang. Ia semakin yakin kalau air danau ini adalah penyembuh segala penyakit.

“Kalau aku meminumnya, apa aku juga akan kenyang?” Thea semakin penasaran.

Tanpa menunggu, ia segera mengangkup air dengan kedua tangannya, lalu meminumnya.

“Ahhh… sangat menyegarkan.” Ucapnya. Dahaganya seperti hilang seluruhnya.

“Gruukkk…” Thea segera menyentuh perutnya saat ternyata rasa laparnya tetap tidak hilang apalagi setelah berenang.

“Aku sangat lapar, tapi tidak ada buah yang bisa aku makan.” Thea terduduk lemah di tepi danau.

Sambil berpikir, ia iseng menjentik-jentikkan jarinya di dalam air.

Dan alangkah terkejutnya ia saat melihat beberapa ekor ikan mendekat.

“Hah, apa aku bermimpi?” Thea segera berjongkok dan semakin semangat menjentikkan jarinya.

Satu ekor ikan berukuran cukup besar mendekati jari telunjuknya, lalu

“HAP!” dengan mudah Thea menangkapnya.

“Astaga ini mudah sekali. Mereka bahkan tidak melawan.” Ucap Thea dengan perasaan senang.

Ia kembali menangkap ikan, dua, tiga, empat hingga lima ekor ikan.

Menaruhnya di tepi danau dan hanya beberapa saat ikan-ikan itu menggelepar kemudian terdiam. Hanya penutup insangnya saja yang terlihat buka tutup, mencoba meraup oksigen dari udara.

“Kalian pergilah, lima ekor ikan ini sudah sangat cukup untukku.” Ucap Thea.

Ia tidak lagi menjentik-jentikkan jarinya dan membiarkan ikan-ikan itu pergi dengan sendirinya.

Ikan yang sudah ia tangkap, ia bawa mendekat ke bebatuan. Menusuknya dengan ranting-ranting pohon dan mencoba membuat perapian.

Thea menggesek-gesekkan ranting pohon di atas tumpukan dedaunan kering dan tidak lama pijar apipun terlihat. Cepat-cepat ia menyusun batu dan membuat tungku lalu menaruh ikan-ikan itu di atasnya.

Ia mengipasinya dengan daun kering yang lebar dan semakin lama wanginya semakin tercium.

“Wah, ternyata seperti ini wanginya ikan bakar.” Gumam Thea, menyesap wangi yang baru ia tahu.

“Hrrrr… Hrrr…” Sayup-sayup Thea mendengar suara yang cukup asing di pendengarannya.

“Hhhrrr… Hrrr..” Semakin lama suara itu semakin keras terdengar.

“Siapa itu?!” Seru Thea.

Ia mencari batang kayu yang bisa ia gunakan untuk melawan siapapun yang mungkin mendekat.

Tidak lama, ia melihat bayangan di atas dedaunan, bayangan yang semakin lama semakin besar dan mendekat. Thea segera bangkit dan mengambil ancang-ancang jika sesuatu mendekat.

Dan seketika,

“AAaaakkkkkkk!!!!”

*****

Terpopuler

Comments

Siti S

Siti S

mungkin yang datang manusia serigala

2023-01-24

2

Evi

Evi

up up up

2023-01-21

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!