Darius memimpin pasukannya menuju perbatasan
timur Aegis. Sesampainya ke medan perang, perbatasan timur Aegis telah
porak-poranda.
Benteng pelindung hancur, tenda-tenda pasukan
roboh, mayat-mayat bergelimpangan di sepanjang jalan. Mayat itu adalah prajurit
Aegis yang berjaga di perbatasan yang bertarung nyawa. Menyadari pasukannya
kalah, Darius tak mampu menutupi kesedihan.
Panglima perang itu menarik tali kekang,
memperlambat kudanya. Matanya mencari-cari pasukan musuh. Darius mengangkat
tangannya. Remo, salah satu prajurit kepercayaannya mengikuti gerakan Darius,
mengangkat bendera perang Kerajaan Aegis. Seluruh pasukan berhenti sesuai
komando Remo.
“Apakah kau melihat tanda-tanda mereka bersembunyi,
Remo?” Mata Darius nyalang mengamati sekeliling. Dia tak kunjung melihat
pergerakan pasukan Kaisar Louis. Darius mencium hal yang aneh, dia merasa
pasukan Aegis kalah karena kurang waspada.
“Pasukan kita terlena, sepertinya pasukan musuh
sudah memperhitungkan semuanya matang-matang, sehingga dengan mudah mereka
menerobos masuk benteng lalu membantai semua pasukan kita,” gumam Darius
sembari turun dari kudanya.
“Pasukan, turunkan perlengkapan! Kita akan berjaga
di sini untuk waktu yang belum diketahui. Setelah beristirahat sejenak, kalian
harus segera memperbaiki benteng! Semuanya waspada, pasukan musuh bisa datang
kapan saja!” Perintah Darius ditanggapi dengan antusias oleh pasukannya.
Mereka segera melakukan tugas masing-masing.
Bahu-membahu menyiapkan diri untuk tugas yang sudah diberikan pemimpinnya. Yang
utama mereka mendirikan tenda-tenda untuk berlindung, tak butuh waktu lama
tenda untuk Darius pun telah terpasang.
Laki-laki itu tak mau membuang waktu. Seperti
janjinya, ia harus memberi kabar tentang situsi terkini di perbatasan timur
kepada Kaisar. Darius pun mengirimkan sepucuk surat untuk Kaisar agar tidak
terlalu khawatir.
“Remo, perintahkan anak buahmu membawa surat ini ke
istana, serahkan kepada Kaisar.”
Remo mengangguk patuh, lalu memanggil prajurit yang terbiasa menjadi kurir
surat.
Setelah kepergian Darius, Pangeran Jerome
menggantikan posisinya di istana. Dia mulai menggantikan Darius melatih separuh
pasukan Aegis.
“Semua pasukan berkumpul! Hari ini kita akan
berlatih ilmu pedang, aku akan mengawasi kalian!” teriak Pangeran Jerome dengan
suara menggelegar. Para prajurit yang dari pasukan pedang menyambut dengan
yel-yel pembangkit semangat.
“Hidup Aegis! Hidup Aegis!”
Suara dentingan pedang saling beradu menimbulkan suara nyaring di telinga. Para
prajurit yang tidak ikut ke medan laga menumpahkan keringat mereka untuk
meningkatkan kemampuan olah pedang. Mata tajam Pangeran Jerome menatap setiap
gerakan para prajuritnya. Tak jarang ketika ada prajurit yang dirasa memiliki
gerakan bagus, pria bertubuh besar itu bergabung menjadi lawan.
Tidak ada yang beristirahat. Semua selir melakukan
banyak hal sebagai antisipasi kemungkinan buruk yang terjadi. Helios
mengirimkan surat untuk sekutu dan meminta penjagaan ketat pada masing-masing
perbatasan.
“Kirimkan surat ini pada raja Kerajaan Frank,
sampaikan ini adalah perintah Kaisar Alessa,” ujarnya kepada utusan kerajaan.
Pria yang ditunjuk mengangguk memberi hormat, lalu sigap melaksanakaan
tugasnya.
“Kau!” tunjuknya pada salah satu pria yang berbaris
berderet,”ini surat untuk Kerajaan Mesopotamia. Sampaikan salam Kaisar dan
minta jawaban surat ini secepatnya.”
Semua utusan yang telah menerima surat segera
membubarkan diri, lalu memacu kuda mereka menuju tempat yang sudah disebutkan
Helios.
Pangeran Lucas mengatur persediaan makanan istana dan rakyat Aegis. Dalam
kondisi darurat perang, persediaan pangan harus diawasi satu komando agar
rakyat tak kelaparan.
“Gudang selatan sudah penuh, bahan makanan itu
untuk wilayah Selatan Aegis. Kalian harus awasi dan berikan pada para pemimpin
daerah masing-masing!” perintahnya kepada prajurit yang bertugas menjaga gudang
makanan.
Dia juga mengundang para pemimpin wilayah untuk
memberi pengarahan.
“Umumkan kepada rakyat, untuk sementara waktu pajak
ditiadakan!” teriakannya disambut gembira oleh para pemimpin wilayah.
Pangeran Evandor terjun ke pasar untuk mengajak
para pemuda menjadi pasukan cadangan.
“Hei kau!” tunjuknya pada seorang pemuda yang
sedang mengangkat karung gandum. Pemuda itu menoleh, lalu tunduk memberi hormat
saat melihat yang memanggilnya adalah utusan istana. Setiap melakukan kegiatan
kerajaan di luar, seluruh selir harus mengenakan atribut istana agar mudah
dikenali.
“Kau! Ikut aku! Kalian harus berlatih menjadi
prajurit cadangan.”
Pangeran Evandor mendapatkan banyak pemuda berbadan
kekar di pasar yang segera dibawanya ke istana untuk segera diserahkan kepada
pangeran Jerome untuk dilatih.
“Hari ini aku menemukan banyak calon prajurit yang
bisa kau andalkan, Tuan Jerome,” lapornya kepada Pangeran Jerome.
“Berapa orang?” tanya Pangeran Jerome pendek.
Matanya terus mengawasi prajuritnya yang sedang berlatih. Kali ia berada di
area latihan memanah.
“Dua puluh orang,” sahut Pangeran Evandor bangga.
“Aku butuh pasukan besar, bukan kelompok bermain
Tuan Evandor. Cari lagi! Bila perlu datanglah ke setiap desa dan seret mereka
kemari!”
Meskipun sedikit dongkol, pangeran Evandor
mengiakan perintah selir saingannya itu.
Kaisar mengamati apa yang dilakukan para selirnya dari kejauhan. Dia tak bisa
hanya beristirahat di dalam istana. Meskipun tubuhnya mudah lelah, Kaisar tetap
menilik satu persatu pekerjaan yang dilakukan para selirnya.
Ada senyum kelegaan di wajah Kaisar yang kini
terlihat makin segar. Ia merasa keputusannya mengambil para selir adalah hal
yang benar.
“Mereka sangat bisa diandalkan,” desisnya seraya
meninggalkan area latihan pasukan pemanah. Wanita cantik itu menuju gudang
makanan dan menyaksikan Pangeran Lucas yang biasanya sangat manja, sedang
mengatur keperluan logistic untuk rakyatnya.
“Lucas juga melakukan tugasnya dengan baik,”
gumamnya seraya melanjutkan langkahnya. Dia menoleh sesaat kepada selir
tampannya itu yang kebetulan pangeran Lucas juga tengah mengarahkan pandangan
padanya. Bertemu pandangan dengan wanita yang amat ia cintai, membuat Pangeran
Lucas salah tingkah.
“Wilayah barat Tuan Lucas, bagian selatan sudah
beres,” protes salah satu pemimpin wilayah barat, saat pangeran Lucas salah
menyebutkan nama saking terpesona pada istrinya.
“Helios, apakah semua sudah beres?” tanya Kaisar
saat memasuki ruang kerja Helios yang berada di sebelah ruangan Tuan Cicero.
Helios berdiri memberi hormat begitu melihat Kaisar menghampirinya.
“Semua negeri sekutu kita hari ini telah menerima
surat atas nama Yang Mulia. Hamba bisa memastikan mereka akan memperketat
penjagaan di wilayah masing-masing.
“Bagus! Kita tidak akan memberi celah untuk pasukan
Louise menyerang dari perbatasan kerajaan mereka." Kaisar tersenyum puas
atas kinerja para selirnya. Pria-pria hebat itu memang pantas bersanding
dengan dirinya.
Setelah hari yang sibuk dan melelahkan, Kaisar
mengadakan jamuan makan malam bersama keempat selirnya. Mereka berbaur dan
saling bercanda, serta saling menyemangati satu sama lain.
“Kalian bisa membayangkan Tuan Evandor hanya
membawa dua puluh pemuda untuk dilatih menjadi prajurit? Bahkan untuk mengisi
satu tenda saja masih kurang,” ungkap pangeran Jerome yang disambut gelak tawa
selir lainnya.
“Kita mencari manusia kekar, berotot bagus Pangeran
Jerome, bukan seperti mencari domba di pasar untuk disembelih,” tangkis
pangeran Evandor.
Kaisar turut tersenyum mendengar perdebatan kedua
selirnya. Kali ini perdebatan itu membuatnya tenang, karena mereka semua
memikirkan Aegis.
Tak ada aroma
persaingan, apalagi permusuhan. Kaisar benar-benar merasa terbantu dan merasa
beruntung memiliki para selir itu. Penyerangan dari Kaisar Louis mampu
menyatukan selir-selir yang dulu sering bersitegang memperebutkan dirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments