Mendengar salah satu selirnya melakukan aksi mogok
makan, Kaisar bergegas mendatangi Pangeran Lucas yang sedang berbaring
tertelungkup di kamarnya.
Putera mahkota kerajaan Frank itu seperti tak punya
tenaga, wajahnya disembunyikan di bawah bantal, seperti anak kecil yang sedang
merajuk. Kaisar yang melihat itu menghela napas lelah.
“Kalau punya selir lima dan semuanya bertingkah
seperti Pangeran Lucas, cabut saja nyawaku, wahai Dewa!” keluhnya dalam hati
sambil memutar mata malas.
Dia memegang pundak Pangeran Lucas. Pria itu tidak
mengetahui jika kaisar ada di kamarnya hingga saat dirinya di tepuk bahunya,
pria itu marah-marah.
“Aku bilang, aku tidak mau makan!”
“Kenapa tidak mau makan?” jawab Kaisar dengan suara
lembut.
Pangeran Lucas terkesiap dan langsung menoleh
dengan wajah pucat pasi. Dia sangat terkejut dengan keberadaan Kaisar di
kamarnya, bahkan sedang duduk di sisi ranjangnya. “Ya-Yang Mulia!” Pangeran
Lucas segera bangun dari tidurnya dan duduk di tepi ranjang.
“Hal penting apa yang membuang nafsu makanmu
menghilang, Pangeran Lucas?” tanya Kaisar dengan kesabaran yang hampir melewati
batas.
“Hei, wajahmu juga pucat, apakah kau tidak tidur
semalaman?” tebak Kaisar saat melihat kantung mata di wajah tampan suaminya
itu.
“Bagaimana hamba bisa tidur kalau melihat istri
hamba sedang berduaan dengan seseorang?” Bibir Pangeran Lucas memberengut,
membuat Kaisar ingin tertawa.
Dulu ia mengira, di antara para selir, Helios yang
paling bersikap kekanak-kanakkan, ternyata dugaannya salah, Pangeran Lucas
bahkan lebih parah.
“Jangan lupa seseorang yang kau bicarakan itu juga
suamiku,” jawab Kaisar sambil berusahan menahan tawanya.
Rasanya ia ingin menjambak rambut Pangeran Lucas
saking gemas. Kaisar sampai menomorduakan urusan pentingnya demi mendatangi
kamar Pangeran Lucas, karena dia tidak mau ada yang salah paham lagi.
“Yang Mulia, hamba tahu itu dan tidak akan lupa,
tapi hamba tidak akan minta maaf, karena hati ini sungguh sakit sekali.”
Pangeran Lucas menunjuk dadanya.
“Berbulan-bulan hamba menunggu saat-saat bisa
berdua dengan Yang Mulia, hamba mencoba bersabar. Tapi mencium aroma wangi,
melihat Yang Mulia mendatangi kamar Pangeran Evandor dan …. hamba tidak
sanggup. Bunuh saja hamba Yang Mulia!”
Pangeran Lucas terus merajuk. Kaisar sangat
berusaha untuk tidak tertawa.
Perasaan cemburu bermula dari rasa takut kehilangan orang yang disayangi,
Kaisar sangat memahami itu. Bagaimanapun kecemburuan Pangeran Lucas adalah
tanda lelaki itu sangat menyayanginya.
Bagi Pangeran Lucas perasaannya sangat hancur malam
itu. Entah kenapa mencintai Kaisar bagai domino. Dia jatuh pada Kaisar, dan
Kaisar jatuh kepada orang lain. Sangat menyebalkan!
“Pangeran Lucas, apakah kau berpikir aku tidur
dengan Pangeran Evandor semalam?”
Tentu saja Pangeran langsung mengangguk cepat. Meskipun setelahnya ia juga
menyadari anggukan itu tidak tepat. Bukankah mereka juga suami istri seperti
dirinya dan Kaisar? Tapi logikanya yang sudah dikuasai rasa cemburu membuatnya
gelap mata.
“Baiklah, aku tidak perlu menjelaskan padamu apa
yang sudah kulakukan semalam bersamanya 'bukan?”
Pangeran Lucas ragu-ragu hendak menjawab. Dia tahu
sikapnya ini berlebihan, tapi dia juga ingin dihargai sebagai suami. Kini
wajahnya makin pucat karena takut Kaisar akan murka dan menghukumnya.
“Aku tidak perlu menjelaskan apa yang terjadi
semalam di kamar Pangeran Evandor, karena aku juga akan melakukan hal yang sama
padamu.”
Kaisar mendekati wajah Pangeran Lucas, lalu meraih
bibir pangeran Lucas yang masih cemberut itu dengan bibirnya. Tak menyangka
mendapat perlakuan seintim itu, Pangeran Lucas jadi gelagapan.
Kaisar menciumnya dengan penuh perasaan. Pangeran
membalasnya, mereka berciuman sangat lama. Hingga Kaisar tersadar ini bukan
waktu yang tepat untuk menuntaskan hasrat yang mulai timbul.
Pangeran Lucas seperti tak rela saat bibir merah
merekah itu menjauh dari bibirnya. Dia mendesah meluapkan kecewa sekaligus
berusaha menata hatinya.
“Sekarang adil 'bukan?” tanya Kaisar.
Pangeran Lucas tersenyum malu-malu. Dia meraba
bibirnya yang terasa tebal. Ciuman tadi yang ia dambakan berbulan-bulan, tapi
hari ini justru datang saat dirinya tidak siap.
“Yang Mulia, Anda membuat saya gila! Hamba minta
maaf karena membuat Anda datang kemari, tapi hamba tidak akan minta maaf untuk
perasaan indah ini. Jangan berhenti, mari kita lanjutkan,” desisnya disambut
senyuman indah yang terbit dari bibir Kaisar.
Sementara itu Darius berdiri menunggu Kaisar di
depan pintu kamar Pangeran Lucas. Helios yang kebetulan melintas melihat sikap
sempurna Darius kemudian menyapanya.
“Tuan Darius, kenapa Anda serius sekali berdiri di
situ? Anda pasti tahu Kasar sedang mengunjungi salah satu selirnya, bukan
sedang berperang 'bukan?”
“Saya rasa, saya berhak untuk tidak menjawab
pertanyaan Anda?” Darius mencondongkan tubuhnya mendekati wajah Helios.
“Benar juga, saya memang tidak berhak
memaksa." Helios tersenyum manis, senyuman yang seperti mengejek bagi
Darius. “Tapi, sebaiknya Anda juga jangan terlalu berlebihan. Yang Kaisar
butuhkan saat ini bukan kekangan, Anda tidak lupa 'kan jika Kaisar sedang
hamil. Seharusnya, Kaisar mendapatkan pelayanan yang baik agar moodnya selalu
baik."
“Ahli filsafat sedang berceramah," sarkasnya.
Darius mulai naik darah. Ucapan Helios seolah menuduhnya tidak memperhatikan
hal-hal yang membuat Kaisar nyaman.
Helios merasakan sindiran yang tidak enak. Sebagai
pria yang bermartabat, Helios pun melakukan pembelaan akan harga dirinya.
Mengingatkan posisi mereka yang kini berbeda. “Saya mengerti akan kekecewaan
Anda. Saya di sini hanya berusaha mengingatkan, jika Kaisar tidak sendirian.
Ada benihku di dalam rahimnya, bukankah sudah sewajarnya, saya sebagai calon
Ayah memberikan yang terbaik untuk Kaisar?” Helios masih berpikir janin yang
dikandung Kaisar adalah anaknya.
“Apa kau sadar dengan ucapanmu barusan?"
“Tuan Darius, hamba sangat menyadari tidak
mempunyai kelebihan seperti Anda atau para selir lainnya. Tapi jika kekurangan
hamba akhirnya membuat Kaisar menambatkan pilihan untuk menghabiskan malam
pertama dengan hamba, apakah itu salah?”
Helios semakin berani. Baginya sikap berani
mengungkapkan pikiran adalah perbuatan ksatria, apalagi menyangkut wanita yang
sangat ia puja. Ditambah kenyataan bahwa ada anaknya yang sedang dikandung
Kaisar, bahkan nyawa pun rela ia pertaruhkan.
Darius makin gelisah. Ingin rasanya ia menonjok
wajah imut Helios yang saat ini semakin kurang ajar tersenyum seakan
mengejeknya. Bukan hanya itu, Darius ingin menyeret Helios ke suatu tempat
kemudian berteriak lantang bahwa dia adalah ayah dari anak yang sedang
dikandung Kaisar.
“Saya rasa Anda akan segera menyesali mulut besar
Anda, Tuan Helios. Sepertinya Anda lupa, jika bukan hanya Anda yang ada di
ranjang Kaisar waktu itu.”
Hanya itu yang keluar dari bibir Darius.
Dia masih berusaha menahan diri, karena jika ada
orang yang harus tahu siapa ayah dari anak yang berada di dalam kandungan
Kaisar Alessa, itu adalah sang Kaisar itu sendiri. Darius sedang menunggu momen
yang tepat untuk mengatakan hal itu secara langsung.
“Tuan Darius, lebih mudah mengalahkan musuh di
medan perang, ketimbang mengalahkan ego diri. Hamba menyadari tidak mudah
menerima kekalahan, tapi Anda harus belajar melakukannya,” ucap Helios sambil
memegang pundak Darius.
“Tuan Helios, langit tak perlu menjelaskan dirinya
tinggi. Jangan terlalu tinggi mengangkat kepala jika tak mau tertunduk malu.”
Sekarang Darius
yang berganti memegang bahu Helios sambil mengiriminya tatapan membunuh. Dia
merasa Helios bukan lawannya, tapi mulut tajam selir saingannya itu juga harus
diberi pelajaran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments