Surabaya
Waktu menunjukan pukul sembilan malam, aku baru saja menginjakan kaki di rumah singgah sementara (kos) setelah seharian berada di Malang. Ya seperti yang sudah di sampaikan atasanku bahwa mulai bulan ini aku akan di sibukkan dengan serangkaian tugas tambahan dari kantor.
“Alhamdulilah”. Rasa sukur tiada terkira ku ucapkan atas titipan rezeki dari sang ilahi.
Sebelum sampai di rumah kosan, aku menyempatkan untuk membeli makanan terlebih dahulu. Entah mengapa malam ini aku ingin sekali makan lalapan nasi bebek dan roti bakar.
Sepulang dari acara rombongan kerja kantor, aku menyempatkan diri untuk membeli nasi bebek dan roti bakar yang berada di ujung gang kosanku.
‘’Sesekali tak apalah untuk memberikan penghargaan pada diri sendiri, toh aku jga tidak pernah jajan sama sekali”. Ucap Tari di tengah letihnya pekerjaan yang tiada habisnya.
Sebungkus lalapan bebek lengkap dengan minuman es teh dingin di tambah roti bakar sdah di tangan, dengan hati yang riang Tari melenggang untuk masuk ke dalam kos.
Sepanjang perjalanan menuju kosan, Tari membayangkan makan nasi hangat dengan lalapan bebek yang masih panas, duduk bersila di lantai dengan menggunakan daster tak lupa mandi dan keramas dulu. Ah pastinya enak sekali. Maklum seharian berada di luar rungan dengan memakai baju formal membuat tubuhnya gerah dan ingin lekas membersihkan diri.
Sesampainya di kos Tari lekas menjalankan misinya dengan begitu tenang. Tangganya dengan cepetan meraih handuk dan berangkat mandi meninggalkan nasi bebek dan roti bakar di atas kasurnya.
Berdering
Ponsel Tari berdering di saat dia sedang mandi.
Dua puluh menit kemudian setelah Tari bersiap-siap duduk bersila di lantai dengan nasi bebek dan roti bakar berada di depannya, ponselnya kembali berdering.
Berdering.
📞 Ibu....
📞 Ibu...
Tangannya terulur meraih benda kecil tersebut yang berada di atas meja samping kasurnya.
“Assalamualaikum bu apa kabar?”. Tari begitu semangat menerima panggilan dari sang ibu, maklum sudah satu bulan lebih dia tidak plang.
“Waalaikumsalam Tar, ibu baik nak, kamu bagaimana?”.
“Alhamdulilah bu Tari sehat”.
“Tar ada yang ma ibu sampaikan”.
Deg.
Entah mengapa hatinya langsung merasa tidak enak ketika sang ibu mengawali sebuah percakapan dengan kalimat tersebut.
“Iya bu ada apa?”.
“Tar kamu ada simpanan uang tidak nak?, genting rumah kita nak”.
“Kenapa bu dengan genting rumah kita?”.
“Sudah banyak yang melorot, kamu tahu sendirikan sekarang lagi musim penghujan. Ibu takut nak kalau rumah kita nanti roboh bagaimana?”,
“Di rumah tidak ada laki-laki dewasa yang bisa di andalkan Tar. Jujur ibu kesusahan tiap kali hujan harus membersihkan lantai yang banyak genangan airnya. Ibu juga tidak mungkin naik dengan tangga untuk membenarkan genting tersebut”.
“Hem gitu ya bu”. Helaan nafas berat dan panjang mengikuti jawaban Tari.
“Seadanya saja Tar dulu mencicil dari depan, nanti kalau ada uang lagi kita lanjut lagi yang bagian belakang”.
“Kira-kira butuh dana berapa ya bu?”.
“Ibu tidak tahu, mungkin kisaran sepuluh juta, nanti ibu coba tanyakan ke pakde”.
“Baiklah bu nanti Tari sahan tapi tidak janji ya bu, tolong jangan berharap lebih”.
“Kamu sdah makan nak?”.
“Ini Tari lagi mau makan bu”.
“Kamu makan apa nak?”.
“Kebetulan ini Tari lagi makan lalapan bebek buk, Tari juga beli roti bakar dan es teh”. Tari menjawab dengan senyum merekah di wajahnya dengan tangan yang terulur hendak mencomot bagian dari potongan roti bakar tersebut.
“Tuh kan Tar ibu kan sudah bilang jangan boros-boros kalau makan, jangan banyak jajan kamu itu harus banyak menabung buat benerin genting rumah kita. Apa kam juga tak ingin membelikan ibu perhiasan seperti Udin membelikan bude kalung dan gelang”.
Tut.... tut...tut....
Sambungan telfon terputus entah karena tidak ada sinyal atau memang sengaja di matikan ibu.
Tari lekas menghentikan tangannya yang suda terulur hendak mengambil potongan roti bakar. Tanga tersebut suda sampai di depan mulutnya namun enggan ia teruskan untuk masuk ke dalam mulutnya.
Tes.
Air matanya jatuh begitu saja membasahi wajahnya yang masih basah terkena air mandi.
Nelangsa begitulah kira-kira yang sedang di rasakan Tari.
Baru saja ingin memberikan apresiasi pada dirinya sendiri atas kerja kerasnya selama ini urung sudah di lakukan.
Hatinya begitu nelangsa.
Ya Tari memberikan lalapan nasi bebek dan roti bakar dingin begitu saja, sementara es teh dalam cup plastik dibiarkan meleleh membasahi lantai begitu saja, entah mengapa rasa lapar yang sudah ia tahan begitu lama tiba-tiba hilang sudah tak terasa, tergantikan hati yang nelangsa.
***
Di Rumah Ibu.
Sementara itu ibu yang berada di rumah sedang kesal sekali dengan anak gadisnya, bukan tanpa alsan ibu menyuruh anaknya untuk hemat malah membeli makanan yang banyak dan untuk di makan sendiri. Sebenarnya tak begitu masalah yang jadi masalah adalah ketika Tari membeli makanan untuk dirinya sendiri.
Lain lagi kala misal Tari membeli makanan yang enak-enak dan di bawa pulang tentu ibu akan senang sekali, apa lagi ketika nanti dapat berbagi dengan tetangga dan pakde pasti membuat sang ibu semakin bangga dengan anaknya.
Ya ibu Tari lebih suka anaknya untuk berbagi dengan orang lain ketimbang harus menikmati sendiri.
Prinsip dalam hidupnya adalah asalkan bisa berbagi dengan yang lain kenapa tidak, toh hidup hanaya sekali dan harta tak di bawa mati.
Beberapa menit kemudian untuk menghilangkan rasa jengkel di dada ibu memutuskan untuk pergi ke rumah bude. Ibu pergi ke sana dengan harapan sedikit membuat hatinya tenang.
“Asalamualaikum. Sapa ibu dan langsung masuk ke dalam rumah.
“Wassalamu'alaikum”. Jawab bude dengan pakde secara bersamaan kebetulan mereka sedang melihat tayangan tv di ruang tengah.
“Lihat apa mbak, kok kayaknya serius sekali?”.
“Itu lo Andin sama mas Al lagi berantem, eh Elsa tambah jadi kompor. Sebel sekali aku lihat kelakuan Elsa anak kok gak ada terimakasihnya jadi orang”. Ucap bude menggerutu sendiri menyaksikan drama di depannya.
Ibu pun turut serta duduk di karpet yang ada di ruang tengah tersebut. Mata ibu tertuju pada sekotak brownies yang ada di depan mereka.
Menyadari akan tatapan ibu yang mendamba brownis tersebut bude dengan cekatan langsung mengamankan kotak brownis tersebut dan membawanya masuk ke dapur.
“Oh anu itu browniesnya Udin, tadi beli sebelum berangkat kerja di gang paling ujung itu lo”.
“Oh iya mbak”, Jawab ibu dengan kik kuk.
Ya seperti itulah bude ketika dia mempunyai sesuatu maka dia tidak akan rela membagi walau dengan saudara sendiri. Bude slalu berdalih jika itu milik salah satu dari anak mereka. Dan tak berani membagi pada yang lain jika anak mereka belum sepenuhnya puas dengan apa yang di belinya.
Entahlah siapa yang benar ibu atau bude?, mereka berdua sama-sama wanita yang memiliki anak, namun memiliki kepribadian yang begitu jauh berbeda.
.
.
.
.
Jangan lupa like komen ya teman-teman, dukungan kalian adalah semangatku untuk menulis 😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments