“Pakde mbah tadi subuh asmanya kabuh sekarang ada di rumah sakit”.
“Ya sudah biarin saja, kan juga sudah di rumah sakit”.
Pakde berlalu meninggalkanku yang masih diam di depan pintu rumahnya.
Ah rasanya percuma saja ngomong sama pakde bukannya malah tenang yang ada aku semakin kesal dibuatnya.
Aku berlalu meninggalkan rumah pakde dan kembali ke rumah, sesampainya di rumah aku lekas masuk kamar kembali membuka struk saldo terakir yang slalu aku simpan tiap kali melakukan transaksi.
“Miris”.
Begitulah kira-kira uang tabungan yang bentuknya sudah semakin tipis bahkan lebih tipis dari sebuah triplek.
“Ya Allah bagaimana ini tabungan semakin tipis, mana belum ada pemasukan lagi”. Batin Tari dalam hatinya yang mulai bingung memikirkan biaya rumah sakit mbah.
***
Tiga hari berlalu keadaan mbah belum juga menunjukan perubahan, dokter mengatakan bahwa mbah memerlukan perawatan khusus karena banyaknya flek yang ada di paru-parunya, selain itu faktor usia mbah yang sudah tua juga semakin memperlambat proses penyembuhan.
Kalian tanya siapa yang jaga mbah selama di rawat di rumah sakit?.
Selama tiga hari di rumah sakit sejak mbah di rawat, ibu tidak lagi pernah ke rumah. Ibu sepenuhnya menjaga mbah tanpa ada yang menggantikannya. Beberapa kali aku menawarkan pada ibu untuk menggantikan menjaga mbah dan menyuruhnya pulang, tapi sayangnya ibu tak mau.
Aku dan ipul hanya menemani beberapa saat, kemudian sepenuhnya ibulah yang menunggu mbah selama opname di sana.
Kalian tanya aku ngapain saja selama di rumah?.
Ya begitulah beberapa hari ini aku sibuk mencari kerja melalui media sosial, melamar berbagai macam pekerjaan dan posisi yang sudah pernah aku jalani. Tak jarang untuk beberapa waktu aku datang langsung ke perusahaan-perusahaan untuk menaruh lowongan. Sayangnya hingga kini belum ada panggilan yang masuk.
Sabar begitulah kira-kira yang bisa aku lakukan saat ini.
Sebenarnya selain pakde Dar saudara ibu masih ada satu lagi, yakni paklek Wanto, paklek Wanto merupakan anak bungsu mbah yang kebetulan sekarang tinggal di Surabaya.
Dari ketiga bersaudara antara ibu, pakde Dar dan paklek Wanto. Paklek Wanto lah yang bisa di katakan paling sukses karena memiliki usaha sendiri. Usaha paklek Wanto sebagai pengepul rosokan, sayangnya setelah menikah paklek Wanto sudah jarang sekali pulang kecuali saat lebaran.
***
Rumah Ibu
Sore itu paklek Wanto datang ke rumah beserta istri dan anaknya, entah siapa yang sudah memberi tahu paklek jika mbah sedang sakit. Tapi jujur aku bahagia sekali kala paklek Wanto datang, pikiranku sedikit tercerahkan untuk masalah bisaya rumah sakit, harapanku setidaknya semoga paklek wanto dapat memberikan sedikit uluran tangannya untuk mbah.
“Loh Tar kamu sekarang di rumah?”.
“Iya pakde lima hari yang lalau Tari baru pulang, kangen ibu”.
Jawabku dengan meraih tangan pakde Wanto dan istrinya untuk berjabat tangan dan mencium tangannya.
“Ibumu di mana?”.
“Ibu di rumah sakit paklek”.
“Loh siapa yang sakit?”.
“Mbah paklek asmanya kambuh di tambah ada flek di paru-parunya”.
Jawabku menjelaskan sedikit tentang kondisi mbah.
“Paklek ada yang sedikit mau Tari sampaikan, sebentar ya Tari panggil pakde dulu”.
Aku berlari ke rumah pakde untuk memintanya ke rumahku sebentar. Sesampainya di rumah semua anggota keluarga sudah berkumpul bersama. Aku satu-satunya yang paling muda dalam ruangan tersebut.
“Pakde paklek ada yang mau Tari omongkan”.
Aku membuka keheningan dan ketegangan dalam ruang tamu berukuran empat kali empat tersebut.
“Katakan saja Tar jangan buat kami menunggu terlalu lama”.
“Pakde paklek jadi begini, mbah kan sudah tiga hari di rawat di rumah sakit, tapi belum juga menunjukan adanya perkembangan kondisi tubuhnya. Jujur Tari kesulitan dalam hal biaya rumah sakit untuk mbah. Tari mohon kiranya bantuan dari pakde dan paklek untuk menyumbang biaya pengobatan mbah”.
Tuturku dengan pelan takut menyinggung perasaan mereka.
“Apa bantuan uang Tar?, pakde dari mana ada uang Tari. Pakde ini tidak bekerja hanya mengandalkan sawah saja. Kamu juga tau ini belum masanya panen”.
Ucap pakde Dar dengan mendengus kesal.
“Aku juga tidak ada uang Tar, usahaku beberapa bulan ini mengalami penurunan yang luar biasa. Omset harian terjun bebas tidak seperti biasanya. Sebenarnya maksud kedatanganku kemari tadi mau meminta bantuan dari kalian semua”.
“Apa?”.
Aku begitu tercengang dengan ucapan mereka berdua. Aku pikir kedatangan paklek Wanto ke sini untuk menjenguk mbah ternyata malah cari pinjaman.
“Lantas bagaimana pakde dengan biaya pengobatan mbah? Tari juga tidak mempunyai uang?”.
“Yang suruh bawa ke rumah sakit siapa? Kamu kan?. Jadi ya kamu yang harus tanggung jawab untuk biaya pengobatannya”. Ucap pakde Dar dengan menunjuk ke arahku.
Astaga anak macam apa mereka semua ini, padahal posisiku di sini hanya sebagai cucu. Seharusnya merekalah yang berkewajiban bertanggung jawab atas mbah.
“Bukannya uang mbahmu juga masih banyak Tar? Coba saja tanyakan sama ibumu, selama mbahmu tinggal disini kan uang mbah yang dipakai untuk operasional hidup kalian”. Paklek Wanto mengatakan pendapatnya.
“Hah bagaimana bisa kalian berfikir seperti itu?”.
“Bukannya memang kenyataanya seperti itu?, selama ini kamu dan ibumu hidup paling enak di antara kami berdua. Ibumu yang menikmati semua harta mbah yang tersisa selama masih mudanya dulu”.
Pakde Dar sedikit meninggikan suaranya.
“Astaga pakde selama ini ibu dan mbah hidup dalam belas kasihku, aku yang menopang kehidupan dan keperluan mereka. Harta mbah sama sekali tak bersisa”.
Aku berusaha menjelaskan keadaan sebenarnya yang ada.
“Halah Tar itu hanya alasan kamu dan ibumu saja agar kita tidak meminta jatah harta mbah dari kalian berdua”.
Bude Murti turut memberikan bumbu obrolan sore itu yang semakin panas.
“Sungguh pakde tidak sama sekali, selama ini akulah yang membiayai kehidupan ibu dan mbah, aku juga yang membayar setiap pengobatan mbah selama sakit”.
Sayangnya ucapanku tak ada yang peduli. Mereka semua masih beranggapan bahwa mbah masih menyimpan harta yang besar dan kami yang menikmati.
“Jadi bagaimana pakde paklek untuk biaya rumah sakit mbah ini?”.
“Ya kamu pikir aja sendiri, bukannya kamu yang membawa ke rumah sakit jadi harus siap dong dengan segala resikonya, kalau tidak mampu untuk bayar ya jual saja rumah ini. Ini kan juga masih rumah mbah”.
Miris sekali perkataan pakde Dar begitu menusuk hatiku.
“Bagaimana bisa mereka juga beranggapan rumah ini milik mbah, sedang aku tau sendiri jika rumah ini adalah rumah hasil jerih payah bapak ketika masih hidup. Bapak membeli rumah ini pada mbah saat aku masih di bangku sekolah dasar”.
Hah rasanya percuma juga mengumpulkan mereka di sini ujung-ujungnya malah bikin makin makan ati. Lama-lama di rumah bukannya dapat ketenangan yang ada malah bikin gila.
“Ya Allah tolong datangkan rezeki dari arah yang tak terduga”.
Aku begitu kesalnya dengan keadaan yang ada.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments