..."Seorang tuan rumah tidak akan mengkhianati tamu dengan menyembunyikan makanan"....
“Ah tidak ada”.
“Kalau tidak ada tamu yang datang kenapa masak sebanyak ini bu?”.
“Biasanya ibu juga masak segini Tar, bedanya hari ini dengan menu yang sedikit lebih enak mumpung kamu di rumah”.
“Kenapa ibu harus masak sebanyak ini?, bukankah di rumah cuma ada ibu dan Ipul saja, sedangkan mbah juga sudah tidak bisa makan makanan seperti ini”.
Tanyaku yang masih bingung.
“Tunggu saja sebentar lagi kamu juga tau alasan ibu masak banyak seperti ini setiap harinya.
“What setiap hari?”.
Aku lekas mematuhi perintah ibu, membantu memasak semua bahan makanan yang kami beli di pasar tadi. Memasak satu persatu menu makanan yang sudah di tetapkan sama ibu. Hampir dua jam berlalu semua makanan sudah tersaji dengan sangat rapinya di meja makan.
Sebenarnya bukan meja makan juga, hanya meja kecil tempat untuk menaruh beberapa makanan yang sudah matang. Selama ini jika kita makan biasanya akan duduk di bawah sambil menonton tv, atau jika makan bersama keluarga besar saat kumpul kami akan menggelar karpet dan makan di ruang tengah.
“Tar jangan lupa buahnya di kupas ya”. Titah ibu dengan meyerahkan satu buah semangka besar padaku.
Dengan sigap aku meraih semangka tersebut dan mengupasnya menjadi beberapa bagian potong kecil-kecil, aku hanya memotong seper empat dari buah tersebut. Karena memang sangat besar sekali ukurannya. Sisanya aku kembali menyimpannya dalam lemari es.
Bau masakan sudah tercium dengan begitu harumnya, semua sudah berjajar dengan rapi lengkap dengan buah dan minuman hangatnya. Aku menyandarkan diri di kursi yang ada di dapur sejenak melepas penat gerah setelah memasak, maklum kami memasak menggunakan tungku atau dengan kayu.
Mengusap butiran keringat yang membasahi dahiku.
Beberapa menit kemudian.
“Assalamualaikum”. Sapa Bude yang datang beserta keluarga lengkap dengan pakde dan kedua anaknya.
Oh anak pakde ada tiga kebetulan si sulung masih tertidur karena habis kerja masuk malam.
“Wassalamualaikum”.
“Wah baunya sedap sekali masakan ini”.
Pakde Dar lekas meraih piring yang ada di meja tersebut dan mengambil makanan. Tanpa permisi dan meminta ijin terlebih dahulu pakde Dar lekas mengambil makan.
“Enak buk e”. Begitulah kira-kira percakapan yang aku dengan antara pakde Dar dan bude Murni.
Bude Murni lekas meraih piring dan mengambil makanan yang terhidang di atas meja. Tak lupa mereka mengambilkan makanan untuk kedua anak mereka.
Luar biasa aku cukup tercengang dengan apa yang mereka lakukan, mereka semua mengambil dengan porsi yang lumayan banyak seperti tidak pernah makan saja.
“Tar buahnya hanya ada ini saja apa?”.
“Ada bude sebentar Tari ambilkan dulu”.
Aku kembali dengan membawa beberapa buah yang aku beli di pasar tadi dan menyajikannya di atas meja.
Bude Murni lekas mengambil begitu pula dengan pakde Dar mereka memakan habis semua buah yang baru saja aku ambil tadi.
Kalian tanya ibu dimana ketika bude Murni dan pakde Dar makan di rumah?.
Ibu sedang menyeka mbah, menggantikan bajunya dan menyuapi dengan bubur hangat yang baru saja di masak.
Ibu begitu tulus sepenuh hati merawat mbah meskipun dulunya mbah tidak pernah peduli dengan keluarganya. Sedangkan pakde yang juga anak pertama mbah sama sekali tidak peduli dengan itu. Pakde datang ke rumah hanya untuk makan saja setelah di rasa kenyang rombongan keluarga tersebut langsung kembali ke rumahnya.
Tak lupa sebelum pulang bude Murni membungkus satu porsi nasi lengkap dengan ikannya untuk makan anaknya yang nomor tiga, kebetulan pagi itu belum bangun tidur jadi tidak ikut makan di rumahku.
“Tar bude bawa buahnya ya”. Ijin bude Murni padaku.
“Iya bude silahkan”.
Kupikir bude akan membawa buah yang ada di meja tersebut, ternyata aku salah bude mengambil buah yang ada di kulkas.
“Astaga apa setiap hari mereka begini?”.
Aku meremas tanganku, merasa kesal dengan tingkah mereka yang serakah sekali.
Sepulangnya bude Murni dan pakde Dar ibu baru kembali ke dapur membereskan semua sisa makanan yang tersisa dan mencuci beberapa piring kotor yang ada di sana.
“Bu apakah setiap hari seperti ini?”.
“Maksudnya Tar”?.
“Ya setiap hari keluarga pakde Dar makan di sini?”.
Hem ibu menghela nafas kasar dan berat.
“Ya seperti itulah Ter keadaanya, mereka akan sarapan atau makan malam di sini setiap harinya”.
“Apakah setiap hari ibu juga memasak dengan menu yang lengkap seperti ini?”.
“Biasanya ibu akan memasak dengan jumlah yang besar setiap harinya, tapi untuk lauk ibu akan menyesuaikan keadaan. Hari ini ibu masak enak karena kamu sedang di rumah Tar. Ibu tidak mau kamu di bilang pelit oleh saudara-saudara ibu”.
“Astaga pantes saja setiap uang yang aku kirim pada ibu setia bulannya slalu habis tak tersisa, padahal aku mengirimkan dengan jumlah yang lumayan besar untuk ukuran biaya hidup di kampung”.
Ungkapku dalam hati menahan perih di dada.
“Kenapa mereka makan di sini bu?, bukankah keadaan ekonomi keluarga mereka jauh lebih baik dari kita?”.
“Pakde masih beranggapan bahwa mbah memiliki banyak uang Tar, sedangkan mbah sekarang tinggal di sini menurut mereka otomatis uang mbah ibu yang mengelola. Sedangkan kamu tahu sendiri kan mbah pulang tidak membawa apa-apa”.
“Dulu mbah juga pernah memberikan sebidang sawah pada ibu waktu masih muda, kemudian sawah itu ibu jual untuk pengobatan mbah putri yang kala itu di tinggal mbak kung bermain gila dengan wanita lain”.
“Mereka juga beranggapan bahwa hidup ibu sudah enak, kamu adalah satu-satunya dari keluarga ibu yang bisa sekolah sampai tinggi dan bekerja di kantor, dengan begitu mereka beranggapan uang kamu pasti banyak sekali”.
“Bukankah uang kamu memang banyak nak?”.
Ibu bertanya dan tersenyum padaku dnegan begitu manisnya.
Tak ingin membuat ibu kecewa dan merasa sedih aku menganggukkan kepala saja.
“Tidak terlalu banyak bu, hanya cukup saja doakan Tari ya bu semoga rezekinya lancar”.
Aku kembali teringat dengan statusku sekarang sebagai pengangguran.
“Duh gusti bagaimana bisa keluargaku ini bisa hidup, jika aku tempat mereka bersandar sedang goyah dan tidak memiliki pekerjaan”.
Sudut mataku berembun sekuat tenaga aku mencoba menahannya untuk tidak jatuh di depan ibu.
Bagaimana bisa mereka seperti ini pada ku sedang aku harus menahan dan menekan segala keinginanku sendiri, bahkan untuk makan saja aku terlampau berhemat luar biasa, berharap di rumah dapat makan dengan kenyang.
Benar saja yang kenyang saudara-saudara ibuku.
Aku menatap kesal ke arah rumah pakde Dar yang terdengar sedang riuh menikmati semangka yang aku beli tadi.
RATE BINTANG 5 YA KAK 🙏🙏🙏
jangan lupa like, komen, vote, jadikan favorit dan berikan hadiah sebanyak-banyaknya 💙💙
Trimakasih 🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments
Jeruk Balii
fokus saja pada kebaikn..,..
2023-03-12
1