Empat hari berlalu sejak mbah di bawa ke rumah sakit, sedikit ada perubahan kesehatan mbah, asma mbah mulai berkurang bahkan berangsur menghilang. Sayangnya tidak dengan penyakit yang lain. Mbah di diagnosa dokter menderita struk karena faktor gaya hidup tempo dulu selain itu usia mbah juga yang memang sudah sepuh.
Drift...draft...draft....
Hari ini hari minggu, aku sengaja bangun lebih siang dari biasanya ingin menikmati hari liburku, meski tidak ada niat untuk jalan-jalan menghirup udara segar di luar.
Aku meraih ponsel yang berada di atas nakas kamarku. Masih dengan orang yang sama menghubungiku untuk kesekian kalinya setiap hari tanpa jeda, entah itu merupakan wujud rasa khawatir atau apa aku terkadang tidak bisa mengartikannya.
“Assalamualaikum bu ada apa?”.
“Wassalamu'alaikum Tar, kamu di mana?”.
“Aku masih di kamar buk”.
“Loh tidak masuk kerja?”.
“Hari ini kan hari libur bu”.
“Bukannya kamu lembur kalau hari minggu?”.
“Aku ijin libur bu tidak ikut lembur dulu”.
“Kenapa harus libur jika ada kesempatan untuk lembur? Kan sayang sekali. Bukannya kalau masuk di hari libur itu gajinya naik tiga kali lipat dari hari biasanya ya?. Mumpung masih muda harusnya kamu jangan malas-malas dong biar lekas bisa benerin genting rumah ibu. Biaya rumah sakit mbah juga kurang Tar.”.
“Aku tidak mengambil lembur ingin istirahat sebentar bu, lelah sekali setiap hari pulang malam”. Tuturku dengan nada memelas.
“Bu untuk sementara waktu fokus dulu saja ya pada kesehatan mbah, doain Tari bisa dapat rezeki lebih biar masalah genting lekas terselesaikan”.
“Makanya kamu yang rajin kerjanya, ibu harus minta ke siapa lagi kalau tidak ke kamu nak?, ibu sudah tidak kuat untuk kerja lagian kalau ibu kerja siapa yang akan merawat mbahmu”.
“Iya bu Tari mengerti, ibu jangan capek-capek ya”.
“Oh ya Tar satu lagi, ibu minta untuk saat ini kamu jangan dulu berfikir untuk menikah dulu ya nak, adikmu masih perlu biaya yang cukup besar untuk sekolah selain itu mbah juga sekarang sakit jadi ibu butuh dana lebih besar dari biasanya”.
“Jika kamu menikah siapa lagi yang akan membantu ibu untuk menyekolahkan adikmu serta membiayai pengobatan mbah, kamu tau sendirikan bagaimana sikap saudara-saudara ibu”.
Perkataan ibu sedikit mengusik ketenangan hatiku, aku harus mengubur dalam-dalam keinginan untuk lekas berkeluarga membina rumah tangga seperi orang pada umumnya.
Saat ini usiaku menginjak tiga puluh tahun, meski sampai pada usia tersebut aku belum pernah sama sekali mengenal pacaran atau menjalin hubungan dengan orang, tapi apa salahnya jika aku ingin lekas menikah seperti teman-temanku pada umumnya.
“Ya Allah sampai kapan aku harus seperti ini?”
Meskipun aku tinggal di kota metropolitan yang tidak terlalu mempermasalahkan usia saat menikah, tapi sebagai wanita normal pada umumnya aku ingin menikah dengan usia yang tidak terlalu tua.
Beberapa kali aku mencintai teman atau rekan kerjaku, beberapa kali pula aku harus mengubur impian untuk bersanding dengan salah satu di anatar mereka. Aku tak cukup punya kepercayaan diri ketika berdekatan dengan mereka.
Ah sudahlah nikmati saja yang ada saat ini, mungkin ini bagian wujud dari berbakti dan membalas budi pada orang tua.
“Doakan Tari dapat jodoh yang baik ya bu”. Jawabku pada ibu setelah cukup lama melamun tak menghiraukan ibu.
“Kalau kamu menikah Tar pasti kamu akan sibuk dengan keluargamu sendiri, kamu akan ibuk dengan keperluan suami dan anak-anakmu”.
“Doakan Tari dapat suami sholeh yang kaya raya ya bu”.
Ibu yang berada di sebrang sana hanya tertawa saja.
“Mau cari di mana Tar orang yang kayak gitu?”.
Sebenarnya ibu orang yang biak, hanya saja keadaan yang membuatnya harus bergantung sepenuhnya padaku. Aku tidak bisa menyalahkan ibu, bagaimanapun juga aku tidak akan tega melihat ibu menjadi ART atau buruh tani di sawah orang, sedangkan aku sekarang sudah memiliki gaji yang cukup. Meskipun dari total keseluruhan gaji yang aku terima setiap bulannya tidak lebih dari dua puluh persen yang bisa kunikmati sendiri.
***
Rumah Ibu
Sore itu mbah sudah di perkenankan untuk pulang ke rumah, tidak ada anak yang menjemput mbah sama sekali. Ibu pulang membawa mbah di bantu dengan Ipul dengan menyewa kendaraan tetangga rumah beserta sopirnya.
Biaya rumah sakit selama empat hari di rawat sebesar dua belas juta, semua biaya sepenuhnya aku yang membayar. Tidak ada aset mbah yang dapat di jual untuk saat ini. Hampir seluruh aset yang mbah miliki sudah di atas namakan wanita simpanannya yang konon bernama Jumik.
Sebenarnya mbah masih memiliki beberapa bidang tanah pekarangan dan sawah, hanya saja semua itu harus lewat persetujuan anak-anak mereka yang lain terlebih dahulu ketika ingin menjual aset tersebut.
Sesampainya di rumah ibu dan Ipul mengalami sedikit kesulitan ketika harus memindahkan mbah dan membawanya ke kamar, maklum tenaga wanita tidak terlalu kuat untuk mengangkat tubuh seorang pria,sedangkan ipul memang dia laki-laki tapi masih bisa di katakan anak-anak usianya masih lima belas tahun tubuhnya belum tumbuh dengan sempurna, badannya masih kecil dan sangat kerempeng mungkin karena kita hidup dengan asupan gizi yang tak cukup dulunya.
“Cak cak bantu aku memindahkan bapak”. Panggil ibu pada salah satu kakak tertuanya, yang kebetulan rumah kami bersebelahan.
“Mau di pindah di mana?”. Ucap pakde yang taj beranjak dari tempat duduknya.
“Ya di bawa ke kamar dong cak, masak dibiarkan begitu saja di atas kursi roda”.
“Dari dulu kerjaannya merepotkan orang saja oran tua itu”. Ucap pakde dengan kesal,
“Hus jangan begitu cak, kasian bapak sudah sepuh sudah menjadi kewajiban kita untuk merawat bapak”.
“Merawat? Aku dari kecil tidak pernah di rawat sama bapak, bapak meninggalkan kita untuk bersenang-senang dengan dunianya sendiri”.
“Sudahlah cak yang berlalu biarlah berlalu, sekarang ayo kita sama-sama rawat bapak”.
Pakde bergegas menuju rumahku tanpa berbicara lagi, dengan penuh keterpaksaan pakde mengangkat mbah dan memindahkan ke dalam kamar. Selanjutnya pakde lekas pergi meninggalkan kamar tanpa bosa-basi sedikitpun.
Beberapa hari berlalu sejak mbah pulang ke rumah. Benar apa yang di katakan ibu beberapa waktu yang lalu jika pengeluaran akan membengkak beberapa kali dari biasanya. Aku harus memberikan uang lebih pada ibu untuk biaya diapres dan bubur untuk konsumsi mbah, aku juga harus membayar setiap kali mbah kontrol ke rumah sakit berikut uang transportasinya.
Sejenak aku memegang kepalaku yang mulai terasa berat.
Kalian tau apa aku masih punya tabungan saat ini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments
Ummu Sakha Khalifatul Ulum
Pusing aku thor, ada ya seorang ibu yg menjadikan anaknya kuda 🤦♀🤦♀
Ibu.... klo pengen ini itu instan kerja dong.... emang gampang nyari duit tuh, tinggal nyerokan doang kaya nyerok pasir 🤦♀🤦♀
Semangat thor semangat 💪💪💪
maaf thor emosi 🙏🙏😄
2023-05-13
1