..."Slalu ada hal yang tak terduga yang menjadi urusan kita"....
Pagi ini aku berangkat kerja lebih awal karena ingin mengirim uang terlebih dahulu untuk adikku Ipul, aku dulu sering merasakan telat saat bayar sekolah bahkan pernah beberapa kali di tunda untuk tidak mengikuti ujian karena belum mampu melunasi tunggakan uang sekolah. Aku tak mau Ipul merasakan hal yang sama sepertiku.
“Bu uang untuk bayar spp ipul sudah aku kirim sekalian untuk uang sakunya”.
Dalam hitungan menit ibu segera membalas pesan wa ku.
“Trimakasih Tar, bagaimana dengan uang untuk perbaikan genting?”.
Masih saja hal yang sama yang di tanyakan ibu, aku pikir ibu sudah lupa.
“Sabar ya bu, Tari sedang berusaha untuk mengumpulkan uangnya nanti kalau sudah terkumpul akan segera ku kirim”.
“Jangan lama-lama nanti keburu ambruk rumah ibu”.
Sebelum kembali melanjutkan perjalanan menuju kantor, aku melihat struk resi saldo mataku berkaca-kaca karena uang itu masih sangat jauh dari yang ibu minta.
Aku tak membalas pesan ibu biarlah nanti saja saat pulang kerja didiskusikan kembali.
***
Sesampainya di kantor aku lekas menuju ruanganku yang berada di lantai tujuh, jika melihat penampilanku orang tidak akan mengira jika aku bekerja di daerah Kuningan karena memang gaya berpakaian ku yang sangat biasa-biasa saja tak seperti pekerja lainnya.
Lobi kantor hari ini cukup ramai semua pekerja sudah sibuk lalu lalang menuju ruangan masing-masing. Beberapa ada yang menuju cafetaria untuk sarapan terlebih dahulu, beberapa ada yang menunggu temannya, sedangkan sisanya langsung menuju ruang kerja. Aku termasuk dalam golongan yang langsung menuju meja kerjaku.
Dua tahun bekerja di sini tidak membuatku mempunyai cukup banyak teman, aku hanya memiliki beberapa teman saja itupun yang satu divisi denganku. Tak ada teman dekat baik laki-laki maupun perempuan. Bagiku teman dekat di area kerja itu tidak ada hubungan kami hanya sebatas rekan kerja. Tak ada niat untuk membuka diri untuk saling bercerita kehidupan pribadi.
Kami beda kasta hinga saat aku ingin bercerita tentang kehidupanku dan kesulitanku mereka tidak akan paham. Jika dilihat dari segi nominal gaji, rata-rata gaji kami sama untuk ukuran satu divisi. Bedanya dengan gaji yang sama teman-teman kerjaku sudah mampu membeli beberapa aset berharga dan dapat memenuhi kebutuhannya dengan sangat layak.
Sedangkan aku?, aku masih terbelit dalam lingkaran sandwich generation. Semoga Allah mengangkat derajatku dikemudian hari.
Siang itu hujan turun begitu sangat lebatnya, tampak dari kaca ruang kerjaku air mengalir dengan sangat derasnya dari langit. Aku berada di ruangan yang sangat nyaman, meski hujan turun begitu lebatnya tidak ada tetesan air yang jatuh mengenai tubuhku. Tak ada kedinginan yang kurasa kecuali dari faktor Ac dalam ruangan. Aku hanya bisa merasakan indahnya air hujan yang menari-nari di balik kaca.
Aku merenung sejenak mengingat ibu.
Bagaimana keadaan rumah di desa kalau hujan angin seperti ini? Apakah ibu dan ipul bisa merasakan indahnya hujan seperti yang kurasakan? Atau bahkan ibu akan ketakutan jika hujan datang karena kondisi genting yang banyak bocornya.
Aku kembali meraih ponselku membuka pesan wa yang ada dan mengirimkan pesan pada ibu.
“Bu lagi apa sekarang?”.
Tak ada jawaban dari pesan yang aku kirim bahkan hanya centang satu.
“Ah mungkin ibu sedang repot”. Gumamku dalam hati lantas kembali melanjutkan pekerjaan.
Seperti biasanya aku akan di sibukkan dengan berbagai macam riset yang dilakukan perusahaan. Kami di tuntut untuk membuat suatu produk pengembangan produk yang diinginkan pasar saat ini. Tak jarang di suatu kesempatan aku dan tim harus turun langsung ke lapangan untuk melihat kondisi pasar sebelum melakukan riset lebih mendalam.
Hampir menuju sore pekerjaan mulai sedikit berkurang, aku kembali membuka pesan rupanya ada panggilan masuk dari ibu dan beberapa pesan masuk di sana. Belum sempat aku membuka pesan ponselku kembali berdering.
Drift...drift...drift....
Getaran ponsel di atas meja membuatku menghentikan jari-jari yang sibuk mengetik keyboard komputer di atas meja. Aku meraih ponsel dan membaca sebuah pesan Wa di sana.
Wajahku mendadak berubah begitu terkejut saat membaca pesan tersebut.
Aku mencoba melakukan panggilan telfon ingin memastikan apakah yang ku baca benar adanya.
“Bu apa benar yang dikatakan paklek jika mbah sakit?”.
“Iya Tar benar mbah sakit, asmanya kabuh sejak tadi pagi selain mbah juga batuk-batuk terus”.
“Lekas bawa ke rumah sakit bu”, jawabku pada ibu.
“Bagaimana bisa ibu membawa mbah ke rumah sakit sedang ibu sudah tidak punya uang sama sekali, uang yang kamu kirim setiap bulannya hanya bisa untuk mencukupi kebutuhan sebulan saja, belum lagi kemarin ada hajatan tetangga kamu belum mengganti uang itu”.
Aku menghela nafas panjang mencoba menghirup udara sebanyak yang aku bisa, entah mengapa ruangan kerja menjadi begitu pengap dan sesak meski ada Ac.
“Paklek dan pakde bagaimana bu? Apakah mereka semua tidak ada uang?”.
“Tidak ada Yu pakde dan paklek baru saja membayar sekolah anak-anak mereka, lagian mereka mana ada yang peduli dengan mbahmu”.
“Ya sudah bu lekas bawa mbah ke rumah sakit saja dulu, biar Tari kirimkan uang setelah ini”.
“Benarkah nak?”.
“Iya bu, lekas bawa mbah berobat kasian, minta tolong sama paklek atau pakde untuk mengantarkan”.
Ibu lekas menutup sambungan telfonnya, selain ibu dan saiful aku juga harus menanggung mbahku yang turut serta tinggal bersama dengan ibu di rumah peninggalan bapak.
Ya sejak sudah tidak mampu bekerja lagi dan jatuh miskin mbah kembali ke rumah, tidak ada satupun dari anak-anak mereka yang menerima kehadirannya.
Lucunya aku harus menjadi sandwich generation yang menanggung hidupnya, bukan karena bapakku bangkrut atau sudah pensiun, aku menjadi sandwich generation karena mbahku gelar selingkuh dan berfoya-foya saat masa mudanya. Bapak dan ibu harus menutup semua hutang-hutang itu hingga bapak tiada, beberapa hutang yang belum terlunasi masuk menjadi tanggung jawabku.
Dahulu mbahku tergolong orang yang lumayan berada di desa. Karena sebuah perselingkuhan membuat kehidupan mbah berubah drastis.
Tidak kaleng-kaleng menurut beberapa cerita yang aku dengar dari beberapa saudara, mbah membelikan selingkuhannya rumah, membiayai hidupnya hingga membawa jalan-jalan ke beberapa kota yang ada di Indonesia. Selain itu mbah juga memberikan sebagian besar sawahnya pada selingkuhannya itu.
Ujung-ujungnya klasik saat mbah sudah miskin, mbah kembali pulang pada sanak keluarganya, hanya dengan membawa baju dan badan saja sudah di buang selingkuhannya karena tidak punya uang. Badan yang dibawa pulang pun sudah tidak lagi sehat.
Pulang ke rumah memohon-mohon pada anaknya meminta untuk di urus, tentunya dengan membawa agama dan beberapa ayat-ayat bahwa betapa durhakanya seorang anak jika tidak mau mengurus bapaknya.
Sayangnya semua anak-anaknya sudah tidak peduli dengan hal itu, kecuali ibuku.
Sedang saat ini ibuku sediri juga sudah tidak bekerja.
Bagaimana aku menjalani hidup ini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments