Hawa panas terasa merambat ketika Arlan mendapati Maysha menggunakan sapu tangan laki-laki lain untuk menyeka air matanya. Ada rasa berat di hati, meskipun ia sadar sepenuhnya bahwa dirinyalah pemicu melelehnya air mata itu.
Tak tahan melihat kedekatan Maysha dan Dokter Mario, Arlan melangkahkan kaki mendekat. Mario seketika memberi jarak antara dirinya dan Maysha. Terlebih, setelah menyadari dingin dan gelapnya tatapan yang dihujamkan Arlan kepadanya.
“Untuk hari ini sudah cukup, kan?”
Maysha yang baru menyadari kedatangan suaminya langsung menyeka sisa air mata dengan sapu tangan. Ingin sekali Arlan berteriak dan melemparkan sapu tangan itu ke pemiliknya.
“Sudah, Mas. Kamu mau langsung pulang?”
“Tidak. Aku sudah janjian dengan Andre ke kantor hari ini. Andre bilang mungkin aku bisa ingat sesuatu kalau sering ke kantor.”
“Dan Laura?” Maysha mendongak demi menatap manik hitam legam suaminya.
“Dia sudah pulang duluan sama Pak Udin." Sebelah tangan Arlan melingkar ke bahu istrinya dan menuntunnya berdiri. Sebuah sikap posesif yang terasa cukup menegaskan bahwa dirinyalah pemilik tubuh itu. Sebelum meninggalkan ruangan, ia menyempatkan diri berpamitan dan mengucapkan terima kasih untuk hari ini. Meskipun dengan garis wajah tak ramah.
"Sudah lama kenal dengan dokter itu?" Arlan berucap dengan nada rendah, cenderung dingin dan kaku. Membuat Maysha menatap sorot matanya yang gelap. Tatapan ini, nada suara ini, serta sikapnya sama persis seperti Arlan yang dulu. Namun, Maysha segera tersadar bahwa semua hanya harapan semata.
"Lumayan."
Maysha menurunkan tangan Arlan yang melingkari lengannya secara perlahan. Sebuah gestur sederhana yang mampu mengingatkan Arlan akan janji bodoh yang sempat ia berikan kepada Laura.
"Aku langsung ke ruanganku saja. Sudah ada beberapa pasien menunggu." Tanpa menunggu jawaban suaminya, Maysha melangkah begitu saja. Arlan hanya dapat menatap nanar punggung istrinya. Maysha yang biasanya lembut kini berubah dingin.
*
*
*
Arlan termenung menatap gedung pencakar langit di hadapannya. Hampir tak percaya bahwa gedung super megah itu adalah miliknya. Bayangan ketika dirinya bekerja sebagai pelayan di sebuah kafe menari-nari di kepala. Sungguh sulit dipercaya.
Kedatangannya pun disambut dengan hormat oleh beberapa staf yang kebetulan melintasi lobi. Arlan sempat risih dan tidak nyaman, namun Andre mengingatkan akan posisinya yang merupakan bos di perusahaan itu.
Satu hal yang berhasil menyita perhatian Arlan. Beberapa orang yang ia dapati sedang mengobrol langsung berhenti, memasang muka tegang dan membungkuk hormat. Arlan jadi sangat penasaran bagaimana dirinya di masa lalu. Mengapa semua orang terlihat seperti ketakutan saat berpapasan dengannya. Namun, ia diam seribu bahasa dengan pertanyaan yang terpendam. Bahkan ketika memasuki sebuah ruangan di lantai teratas, ia lebih banyak diam.
“Apa kata Dokter Mario?”
“Kamu kenal dokter sialan itu?” Entah mengapa mulut Arlan langsung menyebut kata sialan. Andre terlihat sedikit terkejut, tetapi kemudian tertawa renyah. Apanya yang lucu? Begitu tatapan Arlan berbicara, yang langsung dapat ditangkap oleh Andre.
“Meskipun amnesia rupanya alam bawah sadarmu tetap sama saja.”
“Maksudnya?” Arlan belum dapat menangkap maksud ucapan Andre. Ia mengerutkan dahi menatapnya bingung.
“Dokter Mario itu sahabatnya Maysha semasa kuliah dulu. Kamu pernah memukuli Mario sampai babak belur karena cemburu.”
"Jangan bercanda!"
"Kalau tidak percaya tanyakan sendiri ke orangnya! Semua orang yang mendekati Maysha pasti habis di tanganmu."
Tak langsung menelan ucapan Andre mentah-mentah, Arlan menatapnya penuh selidik. Mencari tanda kebohongan dalam setiap ucapan lelaki itu. Tetapi, yang ia temukan malah sikap spontan Andre dalam menyebutkan dosa-dosanya di masa lalu.
“Apa aku separah itu?”
Andre tergelak sesaat. “Kamu akan terkejut kalau tahu seperti apa dirimu di masa lalu wahai Tuan Arlan Alviano.”
Satu hal yang Arlan sadari, Andre adalah satu-satunya orang yang berani berkelakar dengannya hari ini. Sementara yang lainnya kaku dan sangat formal. Beberapa pria berjas yang katanya memiliki jabatan penting di perusahaan bahkan gemetar saat berjabat tangan dengannya tadi.
“Hey, kamu belum jawab pertanyaanku. Bagaimana hasil pemeriksaanmu?” tanya Andre kemudian.
Arlan mendesahkan napas panjang. Punggung tegapnya bersandar di kursi. Sisa-sisa kekesalan di rumah sakit tadi masih membekuk hatinya. “Katanya aku bisa merangsang ingatan dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan sebelum kecelakaan. Dia juga menyarankan supaya aku dan Maysha bepergian berdua.”
“Ide yang bagus. Kamu bisa melanjutkan bulan madumu yang sempat tertunda.”
"Bulan madu?"
Andre membuka laci meja kerjanya dan mengeluarkan lembaran tiket bulan madu. Sebelah alis Arlan terangkat tipis. Tangannya mengulur demi meraih benda tersebut.
“Tiga tahun lalu kamu memintaku menyiapkan semua kejutan itu untuk Maysha. Aku baru memberitahu Maysha tentang ini setelah kamu dinyatakan hilang. Tapi Maysha memintaku untuk tetap menyimpannya. Dia bilang, suatu hari kamu akan kembali.”
Arlan diam seribu bahasa. Tak dapat dipungkiri hatinya menghangat detik itu juga. Secara tidak langsung Andre baru saja memberitahu betapa Maysha begitu setia menunggunya selama tiga tahun.
“Kalau mau aku bisa mengatur jadwal ulang,” tawar Andre. "Kamu tinggal bilang mau berangkat kapan."
“Sepertinya akan sulit. Laura tidak pernah memberi kami kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama.” Nada Arlan terdengar frustrasi.
“Jadi selama pulang kamu belum pernah menghabiskan waktu dengan Maysha atau sekedar tidur di kamarnya?”
“Belum,” jawab Arlan spontan dan jujur.
Bola mata Andre membelalak terkejut. Seolah ucapan Arlan barusan mengandung bom atom yang siap meledak. Ia menggeleng pelan dengan hela napas panjang. Menatap Arlan dengan prihatin. Sebuah sikap yang bagi Arlan sangat aneh.
"Apa?" tanya Arlan ketus dengan sorot tak bersahabat.
"Sepertinya kamu memang sengaja membuka kesempatan untuk laki-laki lain mendekati Maysha."
"Jangan bicara sembarangan!" Tanpa sadar Arlan hampir membentak. Andre seolah sengaja memancing emosinya.
"Aku tidak sembarangan bicara. Tapi kalau sampai kamu meninggalkan Maysha, aku yakin dia akan jadi rebutan.”
Entah mengapa Arlan sangat tidak suka mendengar ucapan Andre. Dadanya terasa panas dan sesak. Melihat Maysha memakai sapu tangan Mario saja sudah membuatnya kepanasan, apalagi kalau sampai Maysha menjadi rebutan para lelaki. Arlan semakin frustrasi memikirkannya.
“Aku ingatkan, yang mau sama Maysha itu banyak. Dia cantik, berpendidikan dan berasal dari keluarga terpandang. Lagi pula, kalau memang selama pulang kamu belum pernah menghabiskan waktu bersama Maysha, artinya Maysha masih ....”
Ucapan Andre terpotong. Ia mengatupkan bibir rapat seperti baru saja salah ucap. Arlan menatapnya penasaran sampai rasanya ingin membelah kepalanya untuk melihat isi pikiran Andre.
“Maysha kenapa? Masih apa?”
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Dedeh Kuraisin
Maysha masih Virgin berarti blom tersentuh oleh Arlan
2024-12-08
0
Nitha Ani
masih perawan peak/Facepalm//Facepalm/
2024-11-04
0
Mama Acha Ara
Maysha masih bersegel, beda sama Laura, yang buka segel siapa yang tanggung jawab siapa.....
2024-03-01
1