Hati Maysha dipenuhi harapan baru pagi ini. Setelah beberapa kali membujuk Arlan dan harus berdebat panjang dengan Laura, akhirnya menemui kata sepakat untuk berkonsultasi dengan seorang dokter ahli syaraf. Arlan sudah lebih dulu keluar beberapa menit lalu. Sementara Maysha mempercepat langkah ke mobil setelah sebelumnya mengambil tas yang ketinggalan di kamar.
“Kita jalan sekarang, Non?” tanya Pak Udin, begitu melihat sang majikan duduk di kursi belakang.
“Iya, Pak.” Maysha menjawab singkat, lalu memasang seat belt.
Pak Udin mulai melajukan mobil. Baru saja akan meninggalkan halaman rumah sudah terdengar suara panggilan. Laki-laki berusia 40 tahunan itu langsung menekan pedal rem hingga mobil terhenti.
Arlan membuka kaca jendela mobil. Sedikit heran melihat Laura sudah berdiri di samping mobil. Telah berdandan dan berpakaian rapi. “Ada apa, Laura?”
“Aku mau ikut ke rumah sakit!”
Maysha yang duduk tepat di sebelah Arlan mengerutkan dahi. Padahal tadi Laura menolak dengan berbagai alasan dan tidak setuju jika Arlan menjalani terapi. Tetapi sekarang wanita itu malah menghadang mereka dan merengek ikut.
“Bukannya tadi kamu tidak mau ikut, ya?” Arlan menaikkan sebelah alisnya heran.
“Aku berubah pikiran. Sekarang aku mau ikut.” Tanpa banyak bicara Laura menarik gagang pintu mobil. “Tapi aku mau duduk di tengah,” pintanya, seraya menatap Arlan dan Maysha bergantian.
Arlan menghembuskan napas kasar dan turun dari mobil. Sehingga Laura segera mendesakkan tubuhnya ke dalam. Maysha pun harus menggeser posisi ke ujung karena Laura benar-benar menghimpitnya.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit Maysha harus mendengar rengekan Laura kepada suaminya. Seolah sengaja mempertontonkan sikap manjanya, meskipun beberapa kali Arlan menghindar demi menjaga perasaan Maysha.
“Sayang, Mbak Maysha kan sudah punya mobil sendiri, mewah lagi. Apa kamu tidak ada rencana membelikan aku mobil juga?” Laura menyandarkan kepala di bahu Arlan. Kembali merengek dengan manja.
"Sepertinya di rumah ada banyak mobil," tolak Arlan, mengingat di rumahnya ada beberapa koleksi mobil yang sepertinya jarang terpakai.
"Aku tidak mau barang bekas. Aku maunya yang baru!" balas Laura tak mau kalah.
"Ya ampun, Laura. Mobil-mobil di garasi masih dalam keadaan sangat layak untuk digunakan."
"Pokoknya aku mau mobil baru, Mas!"
“Aku tidak tahu, Laura. Kalau Maysha tidak keberatan kamu boleh membelinya.”
Laura cemberut tak terima. “Kenapa harus minta persetujuan Mbak Maysha? Di sini kamu yang kepala keluarga, bukan Mbak Maysha! Dan satu hal lagi, Mbak Maysha tidak berhak keberatan kalau kamu mau membeli mobil untuk aku.”
"Kita bisa bicarakan itu nanti di rumah. Tolong, jangan sekarang!" Arlan memijat pelipis yang mendadak terasa berdenyut.
Sementara Maysha tetap acuh tak acuh sambil memainkan ponselnya. Bagi Maysha mungkin sebuah mobil sama sekali tak ada harganya. Dibanding harus berdebat dengan Laura dan menguras emosi.
*
*
*
Arlan menatap dingin seorang dokter kira-kira seusia dirinya yang menyambut kedatangannya dengan begitu ramah. Sebenarnya bukan keramahan sang dokter yang menjadi pusat perhatiannya, melainkan interaksi antara Maysha dengan laki-laki itu, yang tampak cukup akrab dalam penilaian Arlan.
Rumah sakit itu memang tempat Maysha praktek. Wajar jika ia mengenal bahkan berteman dengan dokter-dokter yang ada di sana. Tetapi, senyum Maysha ketika bertukar suara dengan dokter tampan itu menciptakan rasa panas di hati Arlan, sampai rasanya ingin menendang meja saking kesalnya.
"Selain terapi apa ada cara untuk merangsang ingatannya agar lebih cepat pulih?" Pertanyaan itu diajukan Maysha pertama kali setelah serangkaian pemeriksaan yang dilakukan kepada suaminya.
Hasil pemeriksaan menunjukkan kondisi Arlan stabil dari segi fisik dan mental. Hanya saja ia tak dapat mengingat apapun dari masa lalunya.
"Sebenarnya ada banyak upaya yang bisa dilakukan. Salah satunya banyak melakukan kebiasaan-kebiasaan pasien seperti sebelum kecelakaan itu terjadi, atau bepergian ke tempat-tempat yang membawa kenangan untuk kalian." Dokter Mario menjelaskan panjang lebar.
"Bepergian berdua?"
"Iya, saat Arlan menghilang kalian pasangan pengantin baru. Mungkin bulan madu bisa membantu."
Tiba-tiba saja Maysha teringat dengan paket bulan madu yang diam-diam dipersiapkan Arlan untuknya tiga tahun lalu. Sayangnya, sebelum rencana indah itu terwujud, Arlan harus keluar kota dan mengalami kecelakaan. Maysha sendiri baru mengetahui tentang rencana kejutan itu setelah Arlan dinyatakan hilang.
"Cappadocia! Mas Arlan pernah berencana membawa aku ke sana," lirih Maysha.
"Itu tempat yang sangat bagus. Kalian bisa mengawalinya dari sana," balas Dokter Mario.
Maysha dan Arlan saling melirik satu sama lain. Sementara Laura sedang sibuk menggigiti kuku-kukunya yang lentik. Demi apapun, Laura tidak akan rela jika sampai Arlan dan Maysha mewujudkan bulan madu yang sempat tertunda itu.
Tidak! Mas Arlan tidak boleh pergi jauh. Mbak Maysha jangan egois, ya! Mbak Maysha bukan satu-satunya istri Mas Arlan. Aku juga istri Mas Arlan dan aku lebih membutuhkannya karena aku sedang hamil." Laura memotong pembicaraan itu dengan cepat.
"Jaga sikapmu, Laura! Ini tempat umum," tegur Arlan menekan suara.
"Memang kenapa kalau ini tempat umum?" Laura semakin berapi-api. "Ingat janji kamu ke aku kemarin bahwa kamu tidak akan menyentuh Mbak Maysha tanpa seizinku!" Laura melirik Maysha dan Dokter Mario bergantian. "Aku tahu, Mbak Maysha pasti kerja sama dengan dokter ini untuk menjauhkan aku dari Mas Arlan, kan? Busuk ya kalian berdua?"
Meskipun Dokter Mario tampak terkejut dengan makian Laura, tetapi masih berusaha untuk bersikap santai. Laura lantas meninggalkan kursi dan berlari keluar dari ruangan.
"Maaf, permisi sebentar." Arlan ikut bangkit dan menyusul Laura.
Maysha masih diam di tempat duduknya dan hanya menatap punggung suaminya. Sepasang matanya mendadak tergenang oleh kristal bening.
"Are you okay, Maysha?" tanya Dokter Mario.
"Aku baik-baik saja. Maaf, Rio, kamu harus melihat keadaan tidak mengenakkan seperti ini," ujarnya tak enak sambil mengusap ujung mata yang basah.
"Santai saja. Aku mengerti. Kamu harus banyak-banyak sabar menghadapi situasi ini."
...*...
...*...
...*...
"Laura tunggu!" Arlan menarik pergelangan tangan Laura, hingga menghentikan langkah cepat wanita itu. Sekarang mereka berdua sedang berdiri di koridor rumah sakit.
"Lepas, Mas! Aku mau pulang saja!"
"Aku tahu kamu kesal, tapi tidak usah marah-marah seperti tadi, kan? Setidaknya kamu pikirkan perasaan Maysha. Rumah sakit ini tempatnya bekerja!"
"Oh, jadi sekarang kamu sudah mulai memikirkan perasaan istri kamu itu ya, Mas?"
Arlan berdecak kesal. Semakin kesal karena ulah Laura yang seolah sengaja mempermalukan Maysha di depan Dokter Mario.
"Sudahlah, percuma bicara sama kamu! Terserah kamu mau apa!" Arlan hendak melangkah, tetapi Laura menarik pergelangan tangannya.
"Kamu mau ke mana lagi, Mas?"
"Mencari Maysha!" Arlan menghempas tangan Laura dengan kasar.
Kemudian beranjak meninggalkan Laura begitu saja menuju ruangan Dokter Mario tempatnya tadi meninggalkan Maysha. Saat akan mendorong daun pintu, Arlan menengok ke dalam. Maysha tampak sedang menangis terisak-isak, meskipun sudah berusaha ditahannya.
Mendadak kedua tangan Arlan terkepal. Sorot matanya tajam menghujam. Di dalam sana Dokter Mario tampak sedang mengulurkan sapu tangan miliknya kepada Maysha.
...****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Dedeh Kuraisin
Hilang ingatan tpi rasa cemburunya mulai
2024-12-08
0
Nitha Ani
cemburu nieeee
2024-11-04
0
Alanna Th
emank enak y dbwt cemburu itu; bnyk ksmptn maysha utk mnendang km arlan; brsikaplh tegas n mndisiplin s lauar!
2023-12-14
2