Hari Keberangkatan

Pagi itu, para kesatria telah berada di depan istana untuk berpamitan kepada Sang Raja, sebelum keberangkatan mereka ke medan pertempuran. Kala itu, suasana benar-benar terasa tegang dan penuh haru.

"Yang Mulia? Apakah Anda tak ingin mengatakan sesuatu?" Vokal Constantine berhasil menyadarkan sang ayah dari lamunannya. Tatapan gadis itu terasa dingin, sedangkan Luo Yang hanya mampu menyorot putrinya dengan pandangan yang dalam dan sulit diartikan.

"Aku ..., aku bangga kepada kalian. Mungkin, kita masih berada dalam ketidakpastian. Entah kita menang atau tidak, namun kalian para kesatria ..., kalian sudah benar-benar berjasa. Terima kasih atas pengorbanan yang kalian berikan. Aku harap ..., kalian semua bisa kembali lagi ke sini untuk merasakan hangatnya keluarga," kata Luo Yang. Pria tua itu tersenyum tipis.

"Selain itu ..., aku juga ingin meminta maaf atas kesalahan putraku karena dia ...—dia yang memicu pertempuran ini." Sang Raja menunduk dalam. Ia tak kuasa mengangkat kepalanya. Sejujurnya, ia malu—kemerdekaan rakyatnya terancam akibat tingkah tak bermoral sang Pangeran Mahkota.

"Suamiku!" Sang Permaisuri tampak ingin melayangkan protesnya karena tak terima ketika putranya disalahkan. Tatapannya terasa sangat tajam ketika menatap sang suami. Ia pun balik menyorot Constantine dengan benci; sedang sang atensi yang menyadari itu, hanya tersenyum mengejek ke arahnya.

"Sudahlah. Feng Yang memang bersalah, Permaisuri ...!" kata Luo Yang, membuat Chun Yang yang mendengar itu pun meradang, namun tak berani melakukan perlawanan.

Tak lama seorang lelaki dengan pakaian agungnya pun datang. Tatapannya tampak angkuh. Ia menatap Constantine dan kesatria lain dengan meremehkan.

"Kalian masih belum berangkat? Kasihan sekali yang mau menjemput kematiannya," kata sang pria. Dialah Feng Yang, pangeran tertua yang merupakan kakak dari Constantine.

"Di mana letak rasa malumu, Pengeran Mahkota? Pertempuran ini terjadi karenamu yang tidak bermoral itu. Bagaimana bisa seorang pengecut sepertimu berani merendahkan kesatria seperti kami," tegas Constantine, tak terima. Meski marah, nada suaranya tetap terdengar tenang.

"Ingat, Constantine—meskipun kaujuga anggota kerajaan, namun posisimu jauh lebih rendah dariku. Apa hak seorang anak selir untuk melawan calon pewaris takhta sepertiku?" Feng Yang tak mau mengalah. Ekspresinya terlihat bengis, membuat para rakyat yang juga ikut menonton, merasa geram kepadanya. Andai mereka bisa, maka mereka pastikan, Feng Yang akan tenggelam di bagian terdalam perairan di muka bumi ini.

"Setidaknya, para rakyat lebih menghormatiku yang seorang anak selir ini dari pada engkau yang seorang Pangeran Mahkota," sindir Constantine, tak gentar.

"Kau—"

"Cukup!" Sang Raja mencoba menghentikan perdebatan kedua anaknya. Lelaki tua itu, lalu memijit pelipisnya yang terasa pening. Sebagai seorang pemimpin, ia benar-benar merasa rendah karena tak mampu mengontrol kelakuan putranya, hingga merugikan seisi kerajaan.

Constantine menggelengkan kepalanya tak peduli, lalu turun dari Zilin, kuda kesayangannya. Gadis itu beranjak ke area belakang istana, tempat di mana para anggota kerajaan yang telah meninggal dimakamkan. Semua orang yang mengerti hal apa yang ingin dilakukan Constantine pun menunduk.

"Ibu ...," lirih Constantine, sambil menatap gundukan tanah yang telah telah mendapatkan dekorasi khusus itu. Meski sedih, gadis itu tetap berusaha untuk menahan air matanya. Ia tak ingin dianggap lemah karena hal tersebut.

Sejak kepergian Irene 14 tahun lalu, Constantine benar-benar berubah menjadi sosok yang dingin—terutama pada keluarga kerajaan. Gadis itu sadar, bahwa ibunya itu, harus meregang nyawa karena adanya unsur kesengajaan dari salah satu anggota kerajaan. Namun sayang, Constantine belum bisa menemukan sang tersangka.

"Ibu, aku merindukanmu." Constantine menunduk dengan dada yang terasa sesak. Ia mengembuskan napas.

"Aku butuh restumu. Aku akan kembali berperang—kali ini dengan lawan yang jauh lebih tangguh. Sekarang, putrimu ini seorang jenderal, Ibu ...! Bukankah kaumerasa bangga kepadaku?" tutur Constantine, dengan mata yang berkaca-kaca.

"Apakah kali ini aku mampu membawa kemenangan untuk bangsaku? Apakah nasibku bisa seberuntung seperti di pertempuran-pertempuran sebelumnya?" tanya Constantine, meski tahu, bahwa ia tak akan mendapatkan jawaban dari ibundanya.

"Ibu tahu hal konyolnya apa? Ini semua gara-gara Feng Yang! Dia yang menyebabkan perang ini. Lelaki hidung belang itu benar-benar angkuh dan semena-mena. Kalau bukan karena perbuatan bejꪖt tak bermoralnya yang memalukan, rakyat tak akan terancam seperti sekarang," keluhnya.

Constantine pun menatap kosong ke depan. Pikirannya, kini menampilkan kilas balik ke beberapa bulan lalu.

Terpopuler

Comments

Gaga

Gaga

Semaangaaaat!

2023-01-30

1

😳

😳

Seruuu

2023-01-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!