Waktu terasa begitu cepat berlalu. Sudah hampir Dua bulan Jane bekerja di, dan sepetinya ia berhasil melewati hari-hari yang sulit dengan baik.
Dan tentang Wiliam... Berlahan Jane mulai bisa belajar ikhlas. Dia bahkan sudah tak pernah lagi bertemu dengan pria itu setelah malam itu, malam yang membuat ia belajar untuk ikhlas selamanya.
“Apa nanti kamu akan kembali lembur lagi, Jane?” tanya Dila, “bukankah hampir satu seminggu... Oh tidak, bahkan bisa dibilang semenjak kau bekerja aku merasa bosmu selalu saja menyuruhmu lembur sepanjang malam.”
Jane menghabiskan sarapan paginya, “Aku juga tidak tahu, Di. Padahal jika bisa menolak aku juga tak ingin, rasanya sangat lelah dan ingin cepat pulang. Tapi dia punya seribu perintah untuk aku kerjakan di luar jam yang seharusnya.”
“Apa semua karyawan akan dia perlakukan seperti itu?”
Jane berpikir sesaat, sepertinya tidak. Meskipun Chef azal sangat galak pada yang lain, tapi merek Jarang di suruh kembur. Tapi kenapa dia setiap hari ya?
“Sepertinya tidak,”
“Apa kamu membuat kesalahan padannya? Mangkanya dia jadi membenci mu,”
Mata Jane melebar saat dia ingat awal mula Chef Azal mulai menyiksanya. Benar dia membuat kesalahan, dan sepertinya pria itu marah dan mendendam.
“Kamu sudah ingat ya?” tanya Dila lagi, “apa yang aku katakan benar? Kamu benar-benar membaut masalah sama bos sendiri?”
Jane jadi meringis. Dia tidak mungkin mencari masalah, hanya saja....
“Kamu ingat gak, Di? Bulan kemarin aku pernah gak pulang ke apartemen dan pergi bersama Dion. Jadi hari itu aku meminta izin seenaknya. Nah, sejak itu Bos ku itu selalu mencari kesalahan dan menyiksa ku.” Ujar Jane jujur, “oh... Ada lagi, ada lagi! Aku juga pernah membuat kesal saat pertama kali dia meninta aku lembur dan membatunya mengunjungi sebuah panti asuhan.”
“Lalu?” Dila benar-benar tak aabar mendengar kelanjuat cerita Jane, sepertinya ini cukup menarik. Tapi ada satuhal jiga yang membaut Dila merasa sedikit tergangu.
“Ya, begitulah. Saat di panti dia meningalkanku di luar sendirian. Karena aku pikir dia lama di dalam tempat itu, jadi aku pilih pulang duluan.”
Dila berdecak kesal. Jika seperti itu tentu saja bos sahabatnya ini sangat marah. Bagaimana bisa pulang tanpa pamit, pergi berdua malah pulang sendiri-sendiri. Dila yakin pasti waktu itu bos Jane sangat kawatir dengan karyawannya.
“Benar-benar kamu! Bagaimana bisa pergi tanpa pamit seperti itu, pantas saja dia jadi dendam karena sudah membuat dia marah.”
Jane merasa tak terima, saat itu bukankah dia sudah berpesan pada Anak panti itu, itu berarti dia sudah izin dong?
“Tapi waktu itu aku sudah titip pesan sama anak-anak di sana,” ucap Jane tak mau disalahkan.
Mendengar alasan Jane, Dila hanya mendengus. Terkadang dila sedikit bingung dengan sikap sahabatnya ini, kadang-kadang bersikap sangat dewasa jika sedang sedih atau patah hati mungkin. Tapi dia juga sering menjadi kekanakan bersikap polos atau sok polos seperti sekarang ini.
“Sudahlah, berbicara sama kamu bikin kesal, Je. Lebih baik aku berangkat kerja saja.” Dila berdiri membawa piring kotor bekas sarapannya ke wastafel dan menyuci singkat. Setelah itu ia segera menyambar tasnya dan berlalu pergi.
Berbeda dengan Jane. Ia masih terlihat santai, karena Dia akan berangkat ke restoran jam setengah sembilan nanti. Jadi sekarang masih ada waktu untuk bersantai sejenak.
Jane menekan nomor Dion, menghubungi sahabatnya itu untuk sekedar menanyakan kabar. Tapi beberapa kali dia coba tetap tak mendapat jawaban dari seberang sana.
“Tumben Dion mengabaikan panggilan ku?”
Sekali lagi Jane mencoba menghubungi nomor Dion, tapi tetap saja pada akhirnya hanya terdengar suara operator yang menjawab. Mendadak Jane sedikit cemas, apa sebaiknya dia pergi ke rumah pria itu sebentar sebelum berangkat kerja ya?
“Sepertinya aku memang harus segera kesana,”
.....
Tak butuh waktu lama, hanya Lima belas menit dengan menaiki taksi, sekarang Jane telah berdiri didepan rumah Sederhana milik Dion.
Pria itu memang tidak tinggal di rumah keluarga bersama orang tuanya. Selain Dion yang suka kesunyian dan kedamaian, pria itu juga tak suka ada orang lain ikut campur dengan urusan pribadinya. Jane sangat tahu itu, jadi karena itu mereka berdua bisa bersahabat begitu lama, karena saling memahami satu sama lain.
Saat Jane memacet Bel, baru satu kali Dion sudah keluar dengan wajah kusutnya.
“Loh, Jane? Kamu kok disini?” Dion terlihat bingung, “Kamu cari aku kenapa?” tanya Dion lagi.
“Tadi aku telepon kamu, Dion. Kenapa gak diangkat?”
Dion terlihat sedikit meringis. Dia sebenarnya sengaja, malas saja menjawab telepon Jane tadi, disaat hatinya sendiri sedang galau memikirkannya.
“Tadi aku tidur, karna itu aku tak tahu... Maaf kalau membuatmu kawatir,” Dion berharap Jane tak melihat kebohongan yang dicoba disembunyikannya.
Jane mengangguk mengerti. “Apa kamu tak ada niat membawaku masuk, Dion? Jahat bangat sama tamu,”
“Apa kamu masih butuh persetujuan ku? Bukankah semua yang ku miliki juga seperti milikmu sendiri. Kamu bisa melakukan apapun.” Jane jadi cemberut karena digoda Pria tampan didepanya ini, dia tahu Dion hanya bercanda dengannya seperti biasa.
Namun, tidak dengan Dion. Sebenarnya apa yang dia katakan adalah yang sesungguhnya ia rasakan. Dia masih berharap suatu hari nanti ada kesempatan dimana ucapannya tadi dikabulkan. Dia tak bisa membayangkan sebahagia apa saat nanti rumahnya juga menjadi rumah Jane dalam sebuah hubungan pernikahan yang mengikat mereka untuk selamu bersama.
BERSAMBUNG....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments