Lebih baik dia

Rasa tak rela menyeru dalam hatinya dikala takdir tak sesuai dengan yang ia inginkan. Kenapa? Kenapa orang lain bisa sebahagia itu, sedangkan dirinya disia-siakan, padahal ia telah berjuang selama ini untuk mendapatkan haknya. Menjadi istri yang baik apa belum cukup bagi dia?

Dulu, saat masih bersama dia, yang ia dapatkan hanya kesakitan dan kekecewaan, tapi kenapa wanita itu begitu beruntung bisa dicintai begitu besar orang pria sehebat Wiliam.

Bahkan Jane bisa mengatakan Lizzy bahkan tak bisa menandingi kecantikan dan kelembutannya. Bahkan jika dibandingkan dari Tahta dan harta yang dimiliknya, Jane juga lembah unggul dari Lizzy yang hanya anak orang biasa yang mencoba menghangatkan ranjang suaminya dikala dia lengah. Tapi kenapa bisa membuat Wiliam begitu buta untuk mencintainya?

"Hentikan, Jane. Ini hanya akan membuat mu semakin terluka," Dion memperingati sahabatnya itu agar tak semakin melukai hatinya. Tapi Jane yang dasar keras kepala, meskipun sudah disakiti sedemikian rupa tetap saja mencintai dengan bodohnya.

"Bukankah mereka sangat romantis, Di?" Jane bertanya dengan perih, "tapi kenapa aku tak mendapatkan kesempatan indah seperti itu ... Meskipun hanya sesaat dia berperilaku lembut padaku, pasti aku akan rela menunggunya sampai mati."

Dion mengusap wajahnya dengan frustasi. Jane benar-benar wanita yang bodoh, ingin sekali dirinya menyeret wanita ini pergi dari sana sekarang juga.

"Berhentilah bersikap bodoh. Apa kau tidak bisa melupakan dia saja? Dia bahkan tak pernah menganggap mu ada, Jane."

Dion sungguh tahu semua tentang hidup Jane selama kepergiannya, dia bahkan juga tahu kalau selama ini Wiliam telah berbohong dengan mengatakan putus dengan Lizzy setelah menikah dengan Jane, padahal sebenarnya mereka tak pernah memutuskan hubungan selama ini.

Sekarang Dion merasa sangat membenci pria yang telah menyakiti wanita yang disayanginya. Suatu saat ia akan membalas kan rasa sakit ini berkali-kali lipat, agar pria itu rasanya.

Dion mendesah kesal, "ayo kita pergi, Je."

"Tidak, Dion. Aku masih ingin melihatnya sampai selesai."

"Ini bukan pertunjukan, yang harus kamu tonton, Jane. Ini hanya akan membuatmu semakin terluka jika melihatnya."

Jane tersenyum tipis mendengar perkataan Dion yang menghawatirkan nya.

"Aku bukan hanya terluka. Tapi telah hancur sejak lama. Lalu kenapa sekarang aku harus kawatir? Perasaan sakit ini sudah dari lama aku rasakan, jika sekali lagi, apa salahnya." Perkataan ini penuh dengan serat luka, jika saja seseorang mengerti bertapa menderita dirinya dulu, mungkin akan meneteskan air mata mendengar ceritanya.

Dion tak bisa lagi berkata-kata, ia hanya bisa pasrah dengan kebodohan cinta buta wanita ini. Yang bisa ia lakukan hanya memberi semangat pada Jane, karena ia sendiri tak bisa mencegah hati wanita ini menjadi begitu bodoh karena cinta.

Wiliam tampak selesai dengan makannya, pria itu berdiri yang sepertinya ingin pergi, membuat Jane yang dari tadi terus menatapnya segera mengalihkan pandangan.

Begitu mesra, bahkan Wiliam mengambil tas gadis itu untuk dibantu membawa. Jane menekan dadanya yang terasa sangat sesak. Kenapa masih sesakit ini? padahal mereka telah berpisah.

Mereka berdua lenyap dari balik pintu setelah keluar dari restoran itu. Bersamaan dengan itu tampak kedatangan Dila yang telah ditunggu dari tadi. Begitu lama sampai membuat Dion kesal pada gadis satu ini. Jika saja ia bisa datang lebih awal, mungkin mereka tak perlu melihat kemesraan yang penuh serat luka pada sahabatnya ini.

"Maaf, apa aku membuat kalian menunggu sangat lama." Dila datang dengan wajah bersalahnya, "sekali lagi maaf. Pekerjaan benar-benar membuat aku tak bisa pulang lebih awal,"

Dion hanya membuang muka, membuat hati Dila Semakin tak enak. Sedangkan Jane, ia tersenyum melihat kekesalan Dion, dan mencoba melupakan apa yang baru saja dilihatnya.

Waktu ia bersedih telah usai, ia akan selalu tersenyum jika didepan sahabat-sahabatnya.

"Sudah, lupakan. Ayo kita berpesta seperti yang telah dijanjikan,"

Dion menatap Jane dengan aneh. Begitu cepat berubah, bukannya barusan wanita ini bahkan menitikberatkan air matanya, tapi sekarang terlihat baik-baik saja.

"Kau..?"

Jane tersenyum, "aku sudah terbiasa, Dion. Jadi bersikap seperti ini adalah keahlian ku." Jane tertawa dengan paksa, malah pada akhirnya bukan terlihat bahagia tapi malah menyedihkan.

"Apa yang terjadi? Apa ada yang ingin mengatakannya padaku?" Dila penasaran apa yang terjadi sebelum ia sampai. Tapi melihat Jane maupun Dion tak ingin bicara membuat ia tak pertanya lagi. Mungkin sesuatu yang tidak enak dibicarakan.

Mereka diam tak berbicara lagi. Bahkan niat hati untuk bersenang-senang tadi hilang seketika, mereka malah saling diam-diaman.

Sesekali Dila mencuri-curi pandang pada Dion. Masih penasaran kenapa dia marah, tapi untuk bertanya ia juga tak berani. Begitu juga dengan Jane, terlihat mendung membuat ia bingung apa yang wanita itu pikirkan.

Satu nama yang muncul dalam pikiran Dila. Wiliam!

Pasti pria itu yang kembali membuat ulah dan membuat mereka berdua seperti ini. Apa mereka bertemu tadi?

Memikirkan tentang ini, Dila semakin membencinya. Kenapa pria itu begitu kejam sehingga tak membiarkan orang lain bahagia. Mereka telah bercerai, tapi pria itu selalu saja menghantui kehidupan sahabatnya.

Hari semakin larut. Merasa tak ada yang menyenangkan mereka mulai beranjak untuk pulang. Hanya saling diam-diaman dan melamun, membuat Dila benar-benar frustasi dengan sikap mereka berdua

"Lebih baik kita pulang saja," ucap Dila membuat mereka terjaga dari lamunannya. "Jane, lebih baik kamu pulang bersama ku." Mereka tinggal dirumah yang sama, tapi sepertinya Jane tak setuju.

"Aku ada sedikit urusan. Kalian pulanglah terlebih dahulu," Tak ingin pulang, ia butuh waktu sendiri untuk menenangkan perasaannya.

"Mau kemana? Biar aku temani," Jane menggeleng. Ia tak ingin bersama siapa pun sekarang, dia benar-benar butuh waktu sendiri.

"Pulanglah, sekarang aku tak butuh teman. Lebih baik kamu bantu aku mengantar Dila, tak baik gadis sepertinya keluar malam-malam sendirian"

Setelah itu Jane beranjak pergi. Meningkatkan mereka berdua yang masih diam menatap kepergiannya. Sampai punggung ringkih itu menghilang di balik gelapnya malam, barulah Dila mulai bertanya pada Dion apa yang terjadi.

"Ada apa dengannya?"

"Tidak perlu banyak tanya. Biarkan saja dia dengan keinginannya." Ucap Dion ketus.

Dila yang merasa sikap Dion ketus, segera beranjak pergi. "Tidak perlu antar, aku bisa pulang sendiri."

Dion tak bersuara, tapi ia mengikuti gadis itu sambil keluar dari restoran. Setelah tiba diparkiran ia segera menarik tangan Dila.

"Ikut denganku. Aku sudah berjanji dengan Jane mengantar mu dengan selamat."

"Tapi...,"

"Diam!" Tak membantah lagi, Jane membiarkan saja tangannya ditarik Dion.

Dalam diam ada senyum yang berusaha gadis itu sembunyi. Tak ada yang tahu tentang rasa ini. Dan sekarang saat ia mendapatkan perhatian kecil dari Dion, entah mengapa bisa membuatnya begitu bahagia.

Ya, Dion adalah pria yang dicintainya dalam diam selama ini. Ia bahkan sudah menyukai pria ini pada pandangan pertama. Tapi mana berani ia mengatakannya, bahkan perasaan ini telah bertahun-tahun ia simpan dalam hatinya. Bahkan ia enggan menerima cinta lain yang datang padanya, masih berharap suatu hari nanti pria ini akan peka dengan perasaan yang dia miliki.

Bersambung....

****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!