Hari ini hari dilaksanakannya sidang kedua perceraian Jane dan Wiliam. Saat ini keduanya menghadiri sidang. Jane tak bisa menahan air matanya saat palu itu diketuk tiga kali. Sekarang dirinya benar-benar sudah lepas dari pernikahan ini, statusnya benar-benar seorang janda yang telah dibuang. Air matanya menetes tanpa dapat ditahan, meskipun ia sudah begitu meyakinkan hatinya, tapi tetap saja terasa sakit saat kata cerai telah disahkan.
Saat sebelum Dila membawanya pulang, Wiliam datang menghampirinya bersama dengan kekasihnya itu. Senyum puas terpampang jelas di wajah Lizzy, seolah momen ini sudah ia tunggu sejak lama.
Dulu, bagi Jane suaminya adalah segalanya, surganya tempat ia berlindung. Tapi sekarang, pria ini semua menjadi penyebab hidupnya hancur, dari tatapannya saja semua orang akan tahu, jika dia sangat membenci Wiliam sekarang.
“Kenapa? Apa sekarang kalian ingin tertawa didepan ku?” Jane bertanya dengan ketus setelah Wiliam berdiri didepanya.
Wiliam terdiam sejenak. Ia sendiri tak tahu apa yang harus ia katakan pada mantan istrinya ini sekarang, tapi yang pasti hatinya cukup merasa senang karena mereka benar-benar telah terlepas dalam ikatan pernikahan ini. Tapi... Kenapa juga ada perasaan tak rela?
“Kenapa kau menolak pembagian harta yang aku berikan? Apa kau merasa yakin, jika kekasih mu sekarang mampu menghidupi wanita seperti mu?” Pada akhirnya hanya kata-kata pedas ini yang diucapkan pria ini.
“Aku tidak butuh uang mu lagi, tuan Wiliam. Lebih baik kau memikirkan ****** mu dari pada diriku!” Jane tersenyum sini, “aku takut kau tak sanggup menghidupinya, sehingga dia pergi mencari pria yang lebih kaya darimu.”
Lizzy terkejut melihat wanita lemah seperti Jane mampu melawan kata-kata Wiliam. Apalagi dirinya yang dikatakan ******, Lizzy tak terima dihina oleh wanita seperti Jane. Tapi ia juga tak bisa menunjukkan sifat kasarnya di depan William. Jadi ia hanya bisa merengek manja pada Wiliam untuk meminta keadilan.
“Sayang ... Lihatlah, dia mengatai ku ******,”
Wiliam juga marah mendengar Jane berani mengatai kekasihnya. Ia langsung mengangkat tangan untuk menampar wanita itu, tapi seseorang telah menghentikannya.
Dila memegang tangan Wiliam yang melayang, “hentikan tuan Wiliam! Dia bukan lagi istrimu yang bisa kau sakiti. Dia orang lain, yang jika berani kau menyentuhnya akan kami laporkan pada polisi!” gadis itu berteriak dengan marah.
Kata orang lain telah merusak pendengaran William. Seolah ia kembali disadarkan pada kenyataannya, jika dirinya baru saja telah sah bercerai dari wanita ini. Wiliam mengeram kesal, ia menatap Jane dengan penuh kebencian.
“Kau mengatai wanita yang ku cinta, ******. Lalu dirimu bagaimana, Jane? Pelacur? Atau wanita panggilan?”
Kata-kata itu bagaikan menikam dalamnya hati Jane. Tanpa terasa air matanya mengalir deras, membuat William sedikit merasa bersalah. Tapi hanya sedikit, tak lama ia kembali merasa puas karena berhasil menyakiti wanita ini tanpa harus menyentuhnya.
Jane terkekeh disela tangisnya, “benar. Aku seorang pelacur. Bukankah satu tahun ini aku menjadi pelacur mu, tuan Wiliam. Aku mengakuinya ... Terima kasih karena telah mengingatkan ku,” Jane tertawa bagaikan orang gila. Ia mengutuk setiap takdir yang membuatnya jatuh cinta pada pria yang berhati kejam ini.
Selama satu tahun ia telah disakiti. Dan sekarang saat dirinya terlepas dari belenggu ini, kenapa pria ini tak pernah puas untuk menyiksanya.
Wiliam pun tertegun dengan jawaban Jane. Benar, selama satu tahun ini dirinya hanya menganggap wanita ini sebagai pemuas nafsunya, setelah itu ia bahkan tidak akan peduli bagaimana wanita ini melalui hari-harinya.
Lizzy yang melihat itu menarik sedikit pakaian Wiliam. Ia ingin pembelaan, tapi kenapa kekasihnya ini hanya diam saja. Rasa tak puas dalam dirinya, ia ingin Wiliam seperti sebelumnya, memukuli wanita sampai dia meminta maaf pada dirinya.
“Jane ... Sebenarnya apa salahku padamu? Kau bahkan telah merebut kekasih ku selama setahun, membuat kami berdua begitu menderita. Bukankah seharusnya kamu meminta maaf pada kami, tapi kenapa sikapmu begitu sombong.” Lizzy berkata dengan lemah, seolah disini dirinyalah yang tersakati selama ini.
“Salahmu hanya satu Lizzy, kenapa kau berhati kejam? Merebut suami orang, itu lah kesalahan mu!”
Lizzy tercekat. Dia tak bisa membalas ucapan Jane. Jadi ia hanya bias menangis dengan sedih didepan Wiliam, “Wil, apa aku berhati kejam? Aku hanya berusaha mendapatkan apa yang menjadi milikmu, tapi kenapa dia menghinaku. Kita saling mencintai, lalu dia datang merusak hubungan kita. Bukankah dia yang salah?” Dengan wajah polosnya, siapa saja yang melihatnya pasti akan kasihan.
Disini entah siapa korban dan entah siapa penjahatnya. Jane tertawa dingin, sudah biasa baginya melihat pemandangan seperti ini. Menangis lalu memohon, pada akhirnya Wiliam hanya akan menyalahkan dirinya.
Wiliam memeluk Lizzy dengan lembut. “Ayo pergi. Tidak perlu mendengarkan ucapan wanita sepertinya,”
Wanita sepertinya?
Memangnya kenapa dengan dirinya? Dia hanya wanita kuat yang bisa menghadapi kegilaan suaminya. Bukan, mantan suami lebih tepat.
Setelah kepergian William, dengan gemetar Jane menangis sesenggukan. Kata-kata pria itu sangat tajam, hatinya merasakan sakit menusuk tanpa dapat ditahan.
Dia benci. Kenapa telah hidup suatu tahun bersama, tapi Wiliam tak pernah memandangnya. Apa yang belum ia korbankan selama ini pada pria itu, dia bahkan dengan sabar menghadapi penghinaan dan juga kekerasan darinya. Tapi sedikit pun tak ada cinta untuk dirinya yang malang.
Dila mengambil tisu, menghapus air mata Jane tanpa berkata. Matanya ikut memerah melihat bagaimana penderitaan temannya. Wiliam benar-benar pria yang kejam, tega mempermalukan mantan istrinya didepan umum hanya untuk kekasihnya yang bermuka dua itu. Dalam hati Dila berjanji, suatu hari nanti ia akan membalas dendam untuk sahabatnya ini.
“Jane ... Ayo kita pulang,”
Jane mengangkat kepalanya menatap Dila yang ikut menangis. Ia segera berdiri memeluk gadis itu.
“Aku membencinya ... Aku sangat membencinya, Dila.”
“Aku mengerti. Nanti kita bicarakan lagi, lebih baik kita pulang dan tenangkan dirimu dulu, Je.”
Jane mengangguk setuju. Mereka akhirnya pergi meninggalkan pengadilan itu dengan sedih. Dalam hati mereka berdua berharap agar tak akan pernah lagi datang kemari.
Saat mereka tiba diparkir, ternyata Dion datang menjemput mereka. Dila bernafas lega, setidaknya ia tak sendiri menjaga Jane yang sedang patah hati ini.
“Jane, apa kamu baik-baik saja?” Jane mengangguk lemah, sekarang ia tak ingin berbicara dulu. Ia hanya ingin waktu memenangkan diri, tak ingin bercerita yang akan kembali membuatnya menangis.
Dila berbicara pelan, “sudahlah, Dion. Beri dia sedikit waktu untuk menenangkan diri,”
Dion menarik nafas dalam, kemudian ia mengangguk mengiyakan.
“Apa kamu bawa mobil, Di?”
“Iya,”
“Kalau begitu biar Jane bersamaku saja,”
“Baiklah.”
Mereka bertiga berpisah disana. Jane pun masuk ke dalam mobil Dion, berlahan mobil itu mulai melaju membelah jalan raya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments