Udara pagi yang sangat menyegarkan membuat kekalutan dalam pikiran Nayla seketika menghilang. Senyumnya lepas ketika melihat matahari yang terbit dengan sangat indahnya.
Matahari yang masih bersembunyi itu terlihat malu-malu, membuat dirinya ingat akan hidupnya yang masih bersembunyi dari bayang-bayang ketakutan pada suaminya.
Nayla menengadahkan wajahnya pada langit, berharap agar hembusan angin bisa menyegarkan wajahnya yang terlihat kusut karena banyaknya pikiran.
Sinar matahari pagi itu menerpa wajahnya dan lama kelamaan membuatnya silau ketika membuka matanya.
Namun, ketika dia membuka matanya, ada seseorang yang menghalangi sinar matahari tersebut dari dirinya. Nayla memicingkan matanya, mencoba untuk melihat wajah seseorang yang kini ada dihadapannya.
Samar-samar dia melihat senyuman manis dari seseorang yang dikenalnya. Mata Nayla mengerjap-ngerjap melihat orang yang di hadapannya itu sedang menatapnya dengan senyuman manisnya yang menembus jantungnya.
Jantung Nayla berdegup kencang hanya dengan melihat senyuman manis dari seorang laki-laki yang kini sedang menghalangi sinar matahari dari wajahnya.
“Devan?” celetuk Nayla tanpa sadar, seolah terhipnotis oleh senyuman yang diberikan oleh Devan padanya.
“Sedang apa kamu di sini Nayla?” tanya Devan sambil tersenyum manis padanya.
“Mmm… aku… aku sedang menunggu Caca,” jawab Nayla sambil tersenyum kaku.
Jujur saja Nayla malu bertemu dengan orang tua dari teman Calista dalam keadaan seperti tadi. Apalagi orang tersebut adalah Devan yang sudah berkali-kali bertemu dengannya. Dan dia sudah kenal dekat dengan Calista, anaknya.
Devan melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Dia masih dalam posisi memunggungi sinar matahari untuk melindungi Nayla dari sengatan sinar matahari sambil berkata,
“Masih lama. Kamu akan menunggunya di sini sampai jam pulang sekolah?”
Nayla tersenyum getir mendengar pertanyaan dari Devan. Memang benar adanya jika dia tidak tahu apa yang akan dilakukannya selama anaknya berada di sekolah.
Biasanya di hari liburnya, dia selalu pulang ke rumahnya untuk membersihkan rumahnya. Tentu saja dia tidak pernah bertemu dengan suaminya di sana. Karena pada jam-jam tersebut, Bayu selalu tidak pernah berada di rumah.
“Aku sedang libur dan aku sudah menyelesaikan semua pekerjaan di rumah. Sekarang aku tidak tau harus melakukan apa,” jawab Nayla sambil tersenyum getir.
“Seharusnya kamu menunggu Caca di café saja. Jadi tidak harus panas-panasan di tempat ini,” tukas Devan yang masih pada posisi berdiri di hadapan Nayla.
“Aku hanya menuruti ke mana langkah kakiku mengajakku pergi. Di sini aku merasa bebas tanpa suatu kekangan dan tekanan. Dan di sini aku serasa seperti sedang menunggu sesuatu,” ucap Nayla sambil tersenyum lepas karena wajahnya tersapu oleh hembusan angin.
“Menunggu?” tanya Devan sambil mengernyitkan dahinya.
Nayla tersenyum dan menganggukkan kepalanya membenarkan apa yang ditanyakan oleh Devan. Kemudian dia berkata,
“Menunggu kebebasanku dari belenggu peraturan yang selalu menekanku.”
Nayla mengatakan semua itu tanpa sadar. Entah mengapa dia seperti tanpa beban berbicara dengan Devan.
Sepertinya pembawaan Devan yang tenang dan penyayang membuat Nayla nyaman berbicara dengannya.
Nayla sangat iba pada Devan yang menangis tersedu-sedu di rumah sakit taman ketika malam hari kematian Keyla. Hati Nayla trenyuh melihat seorang ayah meneteskan air matanya untuk mengiringi kepergian putrinya.
Selama hidupnya dia tidak pernah melihat seorang pria dewasa yang menangis di tempat umum, seperti yang dilakukan oleh Devan saat ini. Maklum saja, ayah Nayla sudah meninggal sejak Nayla masih kecil
Dan Bayu, suami Nayla itu sangat menjunjung tinggi martabatnya, sehingga dia tidak akan mempermalukan dirinya sendiri di hadapan orang banyak.
Apalagi menangis di tempat umum, sudah bisa dipastikan bahwa dia tidak akan melakukannya. Sebisa mungkin dia akan selalu menjaga harga dirinya di mana pun dia berada.
Devan tersenyum iba pada Nayla. Entah mengapa dia merasa prihatin padanya. Tapi di sisi lain dia sangat nyaman berbicara dengannya. Sikap keibuannya membuat Devan salut padanya.
“Kebetulan aku akan pergi ke asrama Keyla untuk mengambil barang yang dibawa oleh Polisi untuk dijadikan barang bukti waktu itu. Apa kamu ingin ikut denganku? Sepertinya kita bisa sampai sini lagi sebelum Caca pulang sekolah,” ucap Devan mencoba untuk menghibur Nayla yang terlihat sedang memikirkan banyak hal.
Nayla terlihat bingung. Dia melihat jam yang ada di pergelangan tangan kirinya. Kemudian dia memandang Devan dengan wajah bingungnya.
Devan tersenyum padanya dan dia menarik tangan Nayla, sehingga Nayla berdiri dari duduknya. Kemudian dia berkata,
“Cobalah sekali-sekali cari kesenangan untuk dirimu sendiri agar kamu bisa tenang. Lupakan sejenak Caca yang sedang bersekolah. Jemputlah Caca kembali di saat dia pulang sekolah nanti.”
Tanpa sadar Nayla menganggukkan kepalanya. Dia menyetujui apa yang disarankan oleh Devan padanya.
Devan tersenyum melihat anggukan kepala Nayla. Dan dia menarik tangan Nayla untuk berjalan menuju mobilnya.
Entah mengapa mereka berdua melakukan semua itu seperti tanpa sadar. Mereka tidak berpikir panjang. Mereka hanya mengikuti kata hatinya saja. Mereka seperti terhipnotis oleh pesona masing-masing.
Nayla merasa canggung berada di dalam mobil Devan. Dia duduk di sebelah Devan yang sedang mengemudi. Dia tidak tahu harus berbicara apa padanya. Hingga dia hanya bisa berkata dalam hatinya,
Apa ini? Apa yang sedang aku lakukan sekarang? Ini tidak benar. Kenapa aku bisa meninggalkan Caca yang sedang bersekolah?
Hati kecil Nayla merasa bersalah. Dia menyalahkan dirinya sendiri yang dengan mudahnya menyetujui ajakan Devan untuk ikut bersamanya.
Tadinya Nayla mengatakan pada dirinya sendiri untuk ikut dengan Devan karena ingin mengucapkan terimakasih pada ibu asrama dan meminta maaf padanya karena belum sempat berpamitan dengan benar waktu itu.
Sayangnya kini ketika dia sudah berada di dalam mobil Devan, dia ragu dengan apa yang dilakukannya saat ini.
Devan merasakan keresahan yang terlihat dengan jelas dari wajah dan sikap Nayla yang selalu menghela nafasnya.
“Aku tau kamu sedang mencemaskan Caca. Kamu merasa bersalah karena pergi tanpa menunggunya,” ucap Devan sambil fokus mengemudi.
Nayla menoleh ke arah Devan dan dia menganggukkan kepalanya, membenarkan apa yang dikatakan oleh Devan.
Devan hanya melirik dari ekor matanya. Kemudian dia tersenyum karena apa yang dikatakannya dibenarkan oleh Nayla.
Devan mencoba mengalihkan kecemasan Nayla dengan menceritakan tentang keluarganya. Tentang hubungannya dengan Keyla yang sebenarnya bukan anak kandungnya.
Nayla terkejut mendengarnya. Dia tidak bisa berkata-kata. Dia sangat takjub akan sikap Devan dan kasih sayang Devan pada Keyla yang menjadi anaknya setelah berumur Sembilan tahun.
Sangat jarang dia menemukan seorang pria yang sangat menyayangi anak tiri mereka seperti anak kandungnya sendiri. Bahkan perhatian dan kasih sayangnya melebihi ibu kandungnya sendiri.
Pantas saja Keyla sangat membanggakannya sebagai papanya. Dia sangat pantas untuk dibanggakan, Nayla berkata dalam hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Katherina Ajawaila
keren thour ceritanya.
2025-01-06
0