Devan bingung harus bagaimana. Dia ingin sekali membawa jasad putrinya untuk disemayamkan di dekat keluarganya. Tapi dia harus memikirkan perasaan istrinya.
Semalaman dia termenung memikirkan jasad putrinya. Dia menghubungi pamannya yang berada di desa untuk meminta tolong agar menguburkan Keyla di tempat pamannya.
Di kota yang berbeda, seorang wanita hanya diam saja tanpa memiliki ekspresi apa pun. Liana, ibu kandung dari Keyla tidak mau menemui putrinya untuk terakhir kalinya. Bahkan dia tidak mau menerima jasad putrinya. Kaget, syok dan merasa bersalah. Itulah yang dirasakannya saat ini.
“Tidak, bukan karena aku. Dia kecelakaan karena keteledorannya. Bahkan aku sudah mengingatkannya agar tidak berkeliaran di jalan. Aku sudah menyuruhnya pulang dan dia tidak mematuhiku. Lihat apa yang sekarang terjadi karena tidak menurut padaku,” ucap Liana sambil menekankan setiap katanya.
Dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri jika semua yang terjadi pada Keyla bukanlah kesalahannya. Dia yakin jika Keyla kecelakaan karena dirinya sendiri. Bukan karena berdebat dengannya melalui telepon waktu itu.
Bahkan dia tidak berani menemui jasad putrinya untuk yang terakhir kalinya. Kebenciannya pada putrinya memang sudah berakar. Dia sudah mempunyai rencana untuk menjauhkan putrinya itu dari dirinya dan keluarganya. Sayangnya tanpa rencananya itu, putrinya sudah meninggalkan dunia ini untuk selamanya.
Keesokan harinya, Devan bersiap mengantarkan jenazah putrinya ke desa tempat pamannya berada. Kebetulan sekali Calista sudah diperbolehkan pulang saat itu. Calista hanya mendapatkan luka-luka kecil di beberapa bagian tubuhnya. Entah bagaimana cara Tuhan melindungi Calista, dia hanya mendapatkan luka, tidak separah Keyla yang harus mendapatkan operasi dan kehilangan nyawanya.
“Om, Caca mau ikut mengantar Kak Keyla,” ucap Calista dengan tatapan penuh permohonan pada Devan.
Devan iba melihat keadaan Calista yang sangat kehilangan Keyla, sama seperti dirinya yang sangat kehilangan putri kesayangannya. Tangannya mengusap lembut rambut Calista yang terurai sambil berkata,
“Pasti Keyla sangat bahagia memiliki teman sekamar yang sudah dianggap sebagai adiknya sangat menyayanginya. Dan dia juga pasti sangat bahagia diantar Caca menuju tempat terakhirnya.”
Mendengar apa yang dikatakan oleh Devan, seketika Calista kembali meneteskan air matanya. Dia kembali mengingat wajah Keyla dan hari-harinya bersama dengan Keyla.
Melihat Calista yang menangis, dengan segera Devan memeluknya dan berkata,
“Jangan menangis lagi. Keyla pasti akan sedih nanti.”
Dalam pelukan Devan, Calista menganggukkan kepalanya. Dia tidak mau jika Keyla bersedih karenanya.
“Bawalah Caca masuk ke dalam mobilku,” ucap Devan sambil menekan kunci mobilnya sehingga berbunyi dan lampu mobilnya menyala.
Nayla menganggukkan kepalanya dan membawa Calista masuk ke dalam mobil Devan. Mereka berdua menunggu Devan yang masih memberikan alamat pada sopir ambulans untuk mengantarkan jenazah Keyla.
Mobil Devan berada di depan mobil ambulans tersebut. Mereka menuju ke desa tempat tinggal paman Devan untuk memakamkan Keyla.
Sesekali Devan melihat Nayla dan Calista dari kaca spion yang ada di tengah. Dia tersenyum tipis melihat kedekatan ibu dan anak yang duduk di belakangnya. Sungguh sangat hangat dan menyenangkan melihat mereka.
Tidak dipungkiri jika dia tidak pernah melihat Liana dan Keyla sedekat Nayla dan Calista. Dia memakluminya karena Liana yang sangat gila kerja, sehingga dia jarang sekali berada di rumah. Bahkan dia jarang bertemu dengan Keyla, apalagi bermain dengannya.
Setelah beberapa jam, sampailah mereka di suatu desa yang tenang dan jauh dari kebisingan kota. Mereka menguburkan jenazah Keyla di tempat pemakaman keluarga besar mereka.
“Kenapa wanita itu tidak ikut?” tanya paman Devan dengan nada kesal.
“Liana sedang bekerja Paman,” jawab Devan lirih.
“Ibu mana yang bisa dengan tenangnya bekerja ketika putrinya sedang dikuburkan? Bahkan dia menolak untuk menerima jenazah putrinya. Apa benar dia ibu kandungnya?” tanya paman Devan dengan kemarahannya.
“Paman, Liana pasti sedih karena selama ini dia selalu jauh dari putrinya. Mungkin dia merasa bersalah dan dia tidak kuasa melihat putrinya untuk yang terakhir kalinya,” jawab Devan yang terlihat sangat sedih teringat akan putrinya.
“Jika dia merasa bersalah, harusnya dia menebus kesalahannya dengan berada di dekat putrinya untuk terakhir kalinya,” ucap paman Devan menanggapi ucapan dari Devan.
“Sudahlah Paman, aku tidak mau Keyla bersedih jika mendengarnya,” tukas Devan menghentikan pembicaraan mereka tentang istrinya.
“Apa benar dia ibu kandung Keyla? Kenapa sikapnya pada Keyla seperti ibu tirinya? Lihatlah wanita dan putrinya yang datang bersamamu. Paman percaya jika mereka ibu dan anak. Tapi melihat sikap Liana pada Keyla, Paman tidak yakin jika mereka benar-benar ibu dan anak,” ucap paman Devan sambil menunjuk Nayla dan Calista menggunakan dagunya.
Devan hanya menghela nafasnya mendengar apa yang dikatakan oleh pamannya. Dia tidak mengelaknya karena semua yang dikatakan oleh pamannya benar adanya. Dia hanya bisa memandang Nayla yang sedang duduk sambil memeluk Calista sambil mengusap lembut rambutnya.
“Sudah Paman bilang waktu itu, Paman tidak setuju kamu menikah dengan wanita itu. Bukan karena dia sudah mempunyai anak, Paman sangat menyukai Keyla, dia anak yang sangat baik dan mandiri. Paman hanya tidak suka dengan sikap ibunya,” ucap paman Devan yang mengeluarkan semua kebenciannya pada Liana.
“Sudahlah Paman, Keyla sudah tiada. Kita jangan lagi membahasnya,” tukas Devan sambil tersenyum tipis pada pamannya.
Setelah beberapa saat, akhirnya Devan mengajak Nayla dan Calista pulang. Sebelum mereka pulang, Calista meminta untuk diantar kembali ke makam Keyla untuk berpamitan.
“Maaf jika kalian pulang terlambat karena ikut denganku,” ucap Devan sambil mengemudikan mobilnya.
“Tidak. Kami yang harusnya berterima kasih karena telah mengantarkan kami pulang. Sebenarnya… kemarin aku terburu-buru datang ke rumah sakit, sehingga aku tidak mengganti bajuku dan tidak membawa tas ataupun dompet. Beruntungnya, ponselku ada di tanganku waktu itu,” ucap Nayla sambil tersenyum tipis menertawakan kebodohannya.
“Lalu, bagaimana kamu membayar taksi? Atau mungkin suamimu yang mengantarkanmu kemarin?” tanya Devan penasaran.
“Dengan ini,” jawab Nayla sambil menunjukkan ponselnya.
Devan tersenyum melihat jawaban Nayla dari kaca spion tengahnya. Kemudian dia berkata,
“Untung saja sekarang sudah canggih. Sehingga tidak perlu membawa dompet lagi ketika akan bertransaksi.”
Nayla pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya, menyetujui apa yang dikatakan oleh Devan. Setelah itu mereka kembali terdiam, mereka tidak mau membangunkan Calista yang sedang tertidur.
Setelah beberapa jam, akhirnya mereka sampai di rumah Nayla. Devan membantu membukakan pintu mobil Nayla yang sedang menggendong Calista.
“Biar aku bantu menggendongnya ke dalam rumah,” ucap Devan ketika melihat Nayla menggendong Calista.
“Tidak usah. Terima kasih. Biar aku saja,” ucap Nayla sambil berusaha menahan tubuh Calista dalam gendongannya.
“Emmm… apa aku boleh bertemu dengan Caca jika aku rindu dengan Keyla?” tanya Devan ragu.
Nayla tersenyum dan menganggukkan kepalanya sambil berkata,
“Tentu saja boleh, karena kamu sudah sangat dekat dengan Caca. Pasti dia akan sangat senang bermain bola denganmu.”
Devan tersenyum senang mendengar apa yang dikatakan oleh Nayla. Setelah itu dia berpamitan pulang dan Nayla menggendong Calista masuk ke dalam rumahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Katherina Ajawaila
kasihan Devan, bingung juga ada ibu yg. nolak anak walau sdh jadi jenazah 😎
2025-01-06
0