Aku memutuskan kembali ke kamar, mengemas barang-barang yang gak seberapa. Rasanya tak baik lama-lama di sini, bisa-bisa mentalku hancur-hancuran dibuat Abah. Aku lebih baik pergi dulu. Masalah Yohana, menikah bukan perkara sederhana, hanya untuk menuruti keinginan Abah. Aku perlu memikirkan semuanya tanpa ada desakan apalagi intervensi.
"Mau kemana, Ben?" tanya bunda yang mengikuti aku ke kamar.
"Mau balik ke Jakarta Bun, nanti sore ada acara sosial. Ben harus pulang. Lagian malam Ben juga harus kerja. Sudah izin satu hati, tak enak kalau nambah izin lagi." kataku. Berusaha setenang mungkin.
"Tapi kan pembicaraan ini belum selesai."
"Bunda mau seperti Abah juga? Memaksa aku untuk menuruti keinginan Abah? Bun, bunda tahu kan yang namanya pernikahan bukan perkara sederhana. Ibadah seumur hidup, Bun. Aku nggak siap. Jangan sampai nanti rumah tangganya jadi seperti neraka."
"Tapi Ben,"
"Bun, maaf Ben pamit ya " kataku.
"Ben, nanti abahmu mengamuk." Bunda menahan tanganku. "Ben, kalau kamu tidak setuju, bukan hanya pada kamu Abah akan mengamuk, tapi juga ....."
"Bun," aku melepas pelan tangan Bunda.
"Lihat ini," waktu aku hendak melangkah, Bunda memperlihatkan luka lebam di lengannya yang semula tertutup lengan baju. "Ini tak seberapa, Ben. Masih ada lagi di punggung, bekas cambukan Abah beberapa waktu lalu saat kamu belum pulang. Abah begitu karena bunda tak setuju dengan rencana menikahkan kalian." Kata Bunda.
Aku mengepal kuat tanganku, menahan emosi yang melup melihat lebam di tangan bunda. "Sejak kapan begini?" tanyaku.
"Sejak dulu, bang. Bahkan sudah terjadi setelah kita beranjak dewasa. Bunda memang tak pernah cerita, tapi aku tahu setelah SMA. aku melihat beberapa kali Abah lepah tangan pada bunda ketika apa yang Abah inginkan tidak dituruti anaknya, maka bunda lah pelampiasannya." kata Ami yang entah kapan sudah berada di antara kami.
Aku kembali masuk ke kamar, duduk di atas tempat tidur. Geram mendengar cerita ini. Kenapa Abah begitu keterlaluan. Sangat kejam dan diktator pada keluarganya, padahal kalau di luar bisa teramat manis pada orang lain terutama jamaahnya. Abah selalu tampak bak malaikat yang tak ada cacatnya. Mulai dari kata-kata hingga ucapannya. Aku saja yang pernah menyaksikan Abah saat bergaul sampai terheran-heran, apa benar ini Abah yang jadi ayahku? Kenapa lain sekali dengan di rumah? Ingin sekali protes tapi seperti yang dikatakan Ami, bunda lah yang akan kena imbasnya nanti.
Jujur aku jadi menyesal sudah memusuhi bunda selama ini. Perempuan itu berada di posisi serba salah. Nurut sama suami bertentangan dengan hati nuraninya, membela anak ia yang akan dihabisi tanpa ampun. Tapi tak berani bicara pada siapapun sebab bunda tak punya tempat mengadu. Ia hanyalah seorang perempuan yatim piatu yang dinikahi Abah dari panti asuhan. Pernikahan Abah dan Bunda membuat orang berdecak kagum akan kebaikan hati Abah, semua memuji Abah hingga menjadikannya panutan.
"Ben akan bicara!" kataku, sambil bangkit dari duduk, hendak menemui Abah yang entah ada dimana, tapi ditahan oleh Ami.
"Bang, kalau Abang bicara pada Abah, apa Abang reka bunda dipukuli lebih sadis lagi? Saat Ami melihat bunda diperlakukan seperti ini saja Abah mengamuk menjadi-jadi. Abah memang tak marah pada Ami, tapi esoknya bunda jauh lebih babak belur lagi. Kita tak bisa melindungi bunda lebih intens ketimbang kebersamaan bunda dan Abah!" ucap Ami.
"Tapi mau sampai kapan seperti ini?" kataku.
"Sampai Abah atau kita yang mati," jawab Ami sambil menahan emosi.
"Astagfirullah, kalian bicara apa? Abah itu ayah kalian, bagaimanapun ialah pemimpin di keluarga ini. Baik dan buruknya Abah adalah baik dan buruknya kita sekeluarga. Kita harus nurut sama abah agar mendapatkan surga Allah." kata Bunda yang memang tanpa sadar sudah terdoktrin oleh Abah.
"Surga itu milik Allah. Kita masuk ke sana bukan karena seorang manusia yang zalim atau tidak." Kataku.
"Ben," bunda memohon padaku. "Bunda sudah tua. Bunda ingin akhir hidup bunda bahagia, nak. Bisakah kamu nurut saja pada abahmu? Apa yang sudah Abah rencanakan itu sudah dipikirkan matang-matang. Sudah menjadi yang terbaik." Kata bunda lagi.
Aku tak bisa berkata-kata. Hanya bisa mengelus dada dengan pendapat bunda. Begitulah kalau kita merelakan hidup dengan manusia toxic, tanpa sadar ia akan melakukan manipulatif yang membuat kita masuk dalam jebakannya.
***
Sore harinya, usai salat Ashar, aku mendengar suara Abah marah-marah. Awalnya aku tak peduli, tapi teringat akan Bunda makanya aku segera keluar, khawatir kalau orang yang dimarahi Abah adalah Bunda. Ternyata bukan, melainkan Reni.
Untuk apa ia ke sini? Aku nyaris terbelalak melihat kedatangannya. Nekat!
"Untuk apa kamu mengajak teman kamu ke sini?" Tanya Abah dengan galak padaku.
"Maaf pak, bukan Ben yang mengajak saya ke sini, tapi saya yang memberanikan diri datang ke sini sebab dari kemarin saya WA Ben tapi ia tak membalas." Jawab Reni.
"Saya juga heran, kenapa ada anak perempuan yang nyamperin rumah laki-laki. Perempuan seperti apa itu?" Abah melihat Reni dari atas ke bawah. "Kamu juga pasti mahasiswa yang urakan, tidak punya prestasi dan belum lulus-lulus juga. Atau kamu yang membuat Ben jadi seperti ini, tidak selesai kuliahnya, masa depannya hancur!" Abah mengomel. "Bisa saya banggakan bagaimana keluarga kamu berantakannya!"
"Bah, Reni ini Sarjana Kedokteran, lulusan terbaik di kampus Ben. Dia juga sedang koas. Sebentar lagi ngambil spesialis kandungan. Abah jangan sembarang menilai, Reni ini keturunan dokter terbaik. mulai dari orang tua, kakek, nenek, paman bibi hingga sepupunya semuanya dokter. Rumah sakit tempat Abah berobat itu rumah sakit kakeknya Reni." Kataku.
Abah diam, salah tingkah. Tapi sepertinya ia tak mau kalah. Tetap menyalahkan sebab Reni berani datang ke rumah kami. "Namanya anak perempuan baik tak akan pernah menyusul laki-laki ke rumahnya. Mau sehebat apapun dia dan keluarganya, tetap saja adab yang utama. Untuk apa berpendidikan dan punya titel bagus kalau tak bisa menjaga Marwah Keluarga!" Kata Abah.
"Maaf pak, masukan dari bapak saya terima. saya benar-benar minta maaf. Saya ke sini untuk memastikan saja Ben baik-baik saja sebab ia ....." Belum selesai Reni bicara, Abah sudah memotong.
"Apa maksudmu anakku tidak baik-baik saja? Dia itu pulang ke rumah keluarganya, bukan ke tempat kriminal. sembarangan saja kalau bicara. Hati-hati ya kalau bertutur, bisa membuat orang lain tersinggung besar dosanya!" kata Abah. "Sudah, Ben segera suruh mbak ini pulang. Abah tidak mau keluarga kita dijadikan bahan gunjingan orang-orang karena ruang Kita disamperin anak perempuan!" Cetus Abah sebelum masuk ke rumah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Nova
aduchhhh si abah.....kgk ada sopan santunnya ya...ngusir tamu seenaknya
2023-01-14
1