Tiba-tiba Jadi Suami
[Ben, bisa pulang malam ini. Ada hal penting yang terjadi di rumah. Hanya kamu yang bisa membantu bunda menyelesaikannya, tolong pulang ya. Bunda tunggu. Bunda nggak akan tidur sebelum kamu pulang!] pesan dari Bunda.
Aku mengerutkan kening. Masalah apa, hingga harus aku yang menyelesaikan? Bukankah aku hanya benalu di rumah? Kenapa tiba-tiba aku menjadi sangat penting? Tapi mencari jawaban lewat pesan hanya sia-sia saja. Apalagi bunda adalah tipe orang yang jarang memegang Hp. Kalau mengirim pesan pasti dalam kondisi urgen saja.
Pulang, tidak. Pulang, tidak. Pulang, tidak? Aku masih asik menimbang-nimbang ketika seseorang menepuk pundakku.
"Heh, dicari kemana-mana malah nongkrong di sini. Nanti malam jadi, kan?" tanya Reni, mahasiswi kedokteran yang kini rajin mengajakku ikut kegiatan sosial meski ia sering ku abaikan. Gadis berdarah Melayu itu duduk di sampingku. Menurut penilaian teman-teman, gadis itu menyukaiku. Makanya ia sangat perhatian. Sementara aku sendiri, tak memikirkan masalah itu. Ingin menjalani semuanya apa adanya. "Ben, ditanya bukannya ngejawab, malah melamun. Ada apa?" ia menatapku.
Tak bisa ku pungkiri, ia cantik, dengan kulit kuning Langsat dan senyum menawan. Apalagi ia adalah tipe yang sangat humble, makanya berada di sisi Reni sangatlah nyaman. Tapi sepertinya hanya sekedar menjadi teman. Entah nanti, ia bisa mendapatkan hati ini. Tiba-tiba aku merasa tergelitik, PD sekali aku ini, hanya seorang mahasiswa hukum semester melayang yang tidak punya prestasi, tapi sudah berpikir seolah aku donjuan tampan dan mapan yang digilai banyak wanita.
"Ibuku nyuruh pulang," kataku, sambil menyesap sebatang rokok terakhir yang ku miliki.
"Lalu? Wajar tho ibumu nyuruh pulang? Apa mau ditemani, sekalian aku lamar ni." Reni tertawa kecil, menggemaskan.
"Halah, gaya bener kamu Ren. Mau hidup susah? Aku yang cuma pelayan cafe freelance mana bisa lulus seleksi sebagai calon mantu bapak ibumu yang semua keturunannya dari kakek sampai cicitnya dokter. Di otak saja aku kalah jauh. IP dua koma mana berani sama anak kedokteran yang lulus cumlaude sebagai Sarjana Kedokteran. Sekarang malah lagi koas, lulus ambil spesialis. Udah, jauh Ren. Jauh banget. Bak langit dan dasar bumi kita itu. mana berani aku jadi punuk merindukan bulan.." aku meledek. Semua orang tahu, siapa Reni. Bibit, bebet dan bobotnya memang sebagus itu. Ia anak tunggal dari sepasang suami istri yang menjadi dokter ternama. Ayahnya dokter bedah di rumah sakit besar bilangan Jakarta Selatan. Ibunya dokter kandungan terkenal yang sudah punya tempat praktek dengan pengunjung selalu membludak. Belum lagi kakek, nenek, paman, bibi, om, Tante hingga sepupu-sepupu Reni. Semuanya dokter. Kalau aku bergabung bisa-bisa roaming.
Reni tak menjawab, ia hanya melihat dengan wajah sendu.
"Kenapa kamu?" kini giliran aku yang heran dengan mimik wajahnya itu.
"Apa sih kamu Ben. Itu semua nggak penting tahu!" Reni membuang muka, sempat kulihat ada mendung di kedua matanya.
"Iya iya. Aku tahu kamu enggak begitu. Kamu itu teman terbaikku. Malah sangat baik. Aku yang jelata ini beruntung Ren bisa kenal sama kamu." aku mengingat kembali pertemuan pertama kami saat masih menjadi mahasiswa baru.
Saat itu ospek, kami berdua sama-sama terlambat. Sama-sama di hukum. Namanya senior di kampus kami terkena sekali sadis kalau menghukum. Mereka memberi hukuman tanpa pandang laki-laki atau perempuan. Semuanya sama rata. Aku yang merasa ini terlalu keras akhirnya protes, tak tega seorang perempuan diperlakukan sekeras itu. Alhasil, aku disuruh menanggung hukuman Reni dan anak-anak yang terlambat lainnya. Tak masalah bagiku, aku menerimanya dengan santai meski akhirnya saat hukuman berakhir bersamaan dengan azan Maghrib, aku pingsan karena kelelahan.
Begitu sadar, aku melihat Reni di sebelahku. Gadis cantik itu terlihat khawatir. Ia berulang kali mengucapkan maaf dan terimakasih. Permintaannya itu menurutku cukup berlebihan, seolah aku sudah melakukan hal besar yang menyelamatkan hidupnya. Sejak saat itulah kami bersahabat.
Di tengah kesibukan Reni menjalani kuliah kedokteran, ia selalu menyempatkan untuk nyamperin aku di falultasku yang berjarak dua gedung dengan fakultasnya. Tiap hari ia jalan kaki. Reni benar-benar tak pernah Alfa.
Empat tahun menjalani kuliah, Reni lulus sebagai lulusan terbaik. Ia meminta agar aku dapat di acara wisudanya. Aku menyanggupi, tapi saat melihat keluarga besarnya, aku mundur teratur. Takut, minder dan segala rasa tak enak. Aku hanya bisa melihat dari jauh sambil mencuri gambarnya. Diam-diam aku memfoto Reni dalam balutan kebaya merahnya lewat Hp tuaku.
Malamnya, Reni menyusul ke cafe tempatku bekerja. Ia marah, mengatakan aku pembohong karena tak tepati janji. Tapi begitu aku menunjukkan foto-fotonya di kamera Hp, Reni menangis. Ia sampai kelepasan memelukku.
"Aku kira kamu enggak datang, Ben. Aku benar-benar kecewa. Aku sedih, Ben. Lagipula kenapa enggak nyamperin sih, yang lain, yang hadir itu enggak lebih berarti kok dari kamu!" cetus Reni.
"Halah kamu ini, kalau aku samperin beneran pasti malu. Apalagi kalau papa mama kamu lihat. Dih, bisa-bisa aku diusir. Mahasiswa gembel seperti aku mana ada tempatnya, Ren." Kataku.
"Prasangka buruk saja kamu itu." Reni merengut. "Aku serius kok, kamu itu teman terbaikku, mana mungkin aku malu, justru aku bangga. Pengen foto sama kamu juga. Tapi gagal. Besok-besok kamu harus selesaikan kuliah kamu secepatnya supaya aku bisa jadi pendamping wisuda kamu!" pinta Reni.
"Hahahah, kalau itu sih kayaknya masih lama, Ren."
"Kenapa sih Ben? Untuk apa ngelama-lamain kuliah. Toh kamu setiap hari selalu nongkrong di kampus. Ngapain? Yang ada kamu yang rugi, sudah usia terus tambah tua, bayaran kuliah juga jalan terus!" kata Reni.
"Nggak ada alasan untuk mempercepat kuliah, Ren. Kalau lulus, terus aku harus ngapain?"
"Kamu bisa cari kerja yang lebih baik lagi."
Untuk apa? Gaji di cafe lebih dari cukup untuk biayaku sehari-hari."
"Gak mau nikah kamu?"
Aku diam. Menikah? Dulu, di usia delapan belas tahun, keinginan untuk menikah itu ada. Namun, hilang. Ketika Abah mengatakan, aku hanyalah benalu. Tak pantas menjadi kepala keluarga. Bisa-bisa anak dan istriku menderita hidup di bawah kepemimpinan ku. Kata-kata itu menusuk hatiku, meninggalkan luka amat dalam hingga aku akhirnya takut untuk sekedar memikirkan pernikahan.
Abah, lelaki yang menjadi panutanku. Lelaki yang harusnya menguatkan aku, yang bisa menilai bagaimana darah dagingnya sudah membuat pernyataan betapa buruknya aku. Lelaki mana yang tega membuat anak dan istri yang ia cintai hidup menderita. Kalaupun ada, itu bukan aku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Nova
semangat Thor...aku ikuti ceritanya
2023-01-13
1