BAB 20.
Bima mencium tangan eyang putri, bahkan eyang menghujani wajahnya dengan ciuman sayang, serta banyak doa dan harapan untuk cucunya yang sudah lama menghilang.
Kemudian Bima naik ke mobil yang sudah Kreshna siapkan, untuk mengantarnya ke Yogyakarta International Airport.
Eyang putri melambai dengan senyum, ada kebanggan kala melihat cucunya yang beranjak dewasa, bahkan sudah mandiri secara finansial di tengah sulitnya mencari mata pencaharian di ibukota Jakarta.
Beberapa saat setelah kepergian Kreshna dan Bima.
“Kamu gak sekolah?” tanya eyang putri pada Yudha.
“Hari ini disuruh libur dulu sama ayah.” jawab Yudha singkat. “eyang kok belum masuk?”
Eyang putri menatap Yudha. “lha kamu sendiri, kenapa masih disini?”
Eyang putri pun mengajukan pertanyaan pada Yudha, dan Yudha hanya menjawab dengan mengangkat kedua pundaknya, “entah, ayah bilang Yudha di suruh nunggu di sini selama 30 menit.”
Eyang putri hanya manggut manggut.
Mereka termangu, duduk berdampingan di depan pendopo, merasa ada sesuatu yang hilang, karena baru beberapa hari merasa terbiasa dengan kehadiran Bima.
Suka atau tidak, kehadiran Bima membawa warna tersendiri dalam kehidupan mereka yang sudah berjalan seperti itu sejak dahulu.
“Bimaaaa …” tiba tiba terdengar suara pekikan keras dari dalam rumah.
Eyang kakung berjalan setengah berlari menuju pendopo, sambil meneriakkan nama Bima.
Eyang putri dan Yudha yang terkejut, langsung berdiri bersamaan.
“Ada apa eyang?” tanya Yudha terkejut.
“*Endi putuku?” tanya eyang kakung.
(*mana cucuku?)
“*Lha iki putune kang mas.” jawab eyang putri. “*putu sing endi maneh?” tanya eyang putri
(*Lha ini cucunya kang mas)
(*cucu yang mana lagi)
“Bima…” jawab eyang kakung dengan nada agak tinggi, keangkuhannya mulai runtuh, hatinya mulai merasakan sesal karena menolak ajakan Bima ketika berpamitan.
“Owalah mas Bima.”
“Owalah Bima toh.”
Kata Yudha dan eyang putri bersamaan.
Senyuman tipis tersungging di bibir mereka.
"Kok malah senyum? mana Bima?” tanya eyang kakung sekali lagi.
“Sudah jalan ke airport yang.” jawab Yudha santai.
“Bocah gemblung, *ora duwe toto kromo, balik ke jakarta tidak cium tangan eyang nya, mau jadi cucu durhaka? ayo antar eyang kakung nyusul mas mu!!” pinta eyang kakung setengah memaksa.
(*Tidak punya tata Krama)
Walau terkejut, tapi eyang putri tampak tersenyum melihat kepanikan eyang kakung.
“Oh i … i … iya eyang.” jawab Yudha patuh, kini ia paham kenapa dirinya diminta sang ayah untuk menunggu di depan pendopo eyangnya.
Yudha memacu kencang motornya, tentunya setelah eyang kakung duduk dengan aman, agar bisa mengejar mobil yang ditumpangi Bima dan Kreshna.
“Ayo Yudh … cepat!! kenapa motormu malah jalan seperti siput?” teriak eyang kakung tak sabar, eyang kakung bahkan beberapa kali memukul pundak Yudha agar cucunya tersebut segera menambah kecepatan motornya.
“Iya eyang, ini sudah cepat, Yudha takut eyang jatuh.” balas Yudha.
Merasa bahwa sang bapak pasti berubah pikiran, Kreshna sengaja berjalan dengan kecepatan sedang, karena Bima sendiri ingin beli tiket pesawat ketika sudah berada di airport, khawatir tidak leluasa berpamitan dengan eyang kakung dan eyang putri.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, dari kejauhan kreshna melihat Yudha sedang berjalan mendekati mobil yang ia dan Bima tumpangi.
“Ada apa om?” tanya Bima ketika menyadari Kreshna menepikan mobilnya.
Kreshna tersenyum, “ada eyang kakung.” jawab Kreshna santai kemudian turun dari mobil yang dikendarainya.
Sesaat kemudian, motor yang di kendarai Yudha akhirnya tiba.
Bima yang belum mempercayai perkataan Kreshna, kini ikut turun, walau bingung, tapi ia senang, karena ternyata kalungnya bersedia menyusul.
"Bocah durhaka, mau pergi tidak cium tangan eyang dulu." Semprot eyang Kakung.
Bima terdiam, padahal tadi ia sudah berpamitan, tapi eyang Kakung yang tidak mau membuka pintu kamarnya, dan kini beliau menyusul lalu memarahinya, walau bingung dengan sikap eyang Kakung, Bima hanya bisa diam dan mengiyakan perkataan eyang Kakung.
"Iya eyang, maafkan Bima," jawab Bima sopan, dengan wajah ditundukkan.
"Sini …" panggil eyang Kakung, dan Bima pun mendekat seraya mengulurkan tangannya.
Tapi lagi lagi Bima harus menelan kecewa, karena eyang Kakung menolak uluran tangannya, namun hal itu hanya berlangsung sesaat karena detik berikutnya, eyang kakung mengulurkan tangannya, bahkan menarik Bima kedalam pelukannya, di peluknya dengan erat cucu yang bahkan sejak lahir belum pernah ia gendong, apalagi ia peluk dengan sepenuh hati.
Sebuah adegan yang mengharukan, meluluh lantakkan hati dan perasaan siapa saja yang melihatnya, semarah apapun orang tua, ia tetaplah orang tua yang ingin senantiasa di rayu oleh anak anaknya, setinggi apapun gengsi nya, ia akan bertekuk lutut dihadapan cucunya, eyang Kakung bahkan menumpahkan tangis penyesalan, ini adalah satu hal yang belum pernah terjadi, selama ini orang orang tahu nya, eyang Baskoro adalah pria yang tegas dan galak, jika sudah berkata tidak, sampai kapanpun tidak akan berubah, dan kini ia tiba tiba menangis haru, tangisan yang sarat akan sebuah kerinduan, rindu yang tak akan pernah menemukan obat penawar, karena sang buah hati telah pergi mendahuluinya menghadap sang maha pencipta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Rusmini Rusmini
mau marah bagaimanapun Bima tetap darah dagingnya eyang kakung
/Cry//Cry//Kiss//Kiss/
2024-12-14
1
himawatidewi satyawira
sabar yang..yudha blm.lulus training racing dr pak lentino
2025-01-23
0
Hasanah Purwokerto
mewek lg nih kak moon..
2025-01-02
1