BAB 6.
Sepeninggal bu Roro, suasana ruangan yang semula hangat penuh dengan kekeluargaan, kini tiba tiba sunyi, Bima sendiri jadi merasa bersalah, padahal dia sendiri yang menempatkan diri di situasi serba tidak mengenakkan ini.
Sebagai saudara tertua Bagas mencoba berpikir tenang, ia pun menghampiri Bima yang masih di tempeli oleh anak dan keponakannya.
"Anak anak, bisa minggir sebentar, Ayah mau bicara dulu dengan om Bima dan tante Sherin." Pinta Bagas dengan suara lemah lembut.
Dengan patuh ke empat bocah laki laki itu menyingkir dan kembali bermain di halaman rumah, tanpa tahu apa yang sedang terjadi dengan orang orang dewasa di sekitar mereka.
"Kalian yakin tidak sedang berpura pura? Minggu lalu kalian bilang bahwa hubungan kalian hanyalah sebatas atasan dan bawahan." Tanya Bagas serius.
Sherin yang sudah bertekad menolak perjodohan segera buka suara, "memang minggu lalu, kami masih dalam masa PDKT mas, baru beberapa hari ini kami resmi pacaran mas," jawab Sherin lancar, seolah olah memang seperti itulah yang sedang terjadi.
Bima sendiri tercengang mendengar kebohongan Sherin, ia tak menyangka, sekertaris atasannya tersebut, sangat pandai mengolah kata.
"Benar begitu Bima?" Tanya Bagas memastikan.
"Begitulah adanya mas, tidak ada yang kami tutup tutupi.
"Kalau begitu, mas minta kamu pulang dulu, kita bicarakan masalah ini lain kali, karena sepertinya ibu sedang tidak bisa diajak bicara." Pungkas Bagas, sebagai saudara tertua, sekaligus wakil dari ayah mereka yang telah lama tiada.
Bima hanya mengangguk, sejujurnya ia pun tidak menyangka, akan ada tragedi semacam ini, pada awalnya ia hanya ingin membantu Sherin, tapi rupanya bu Roro benar benar marah, karena merasa telah dipermalukan oleh anak gadisnya sendiri, tapi di sisi lain hatinya meronta merasa tidak terima, Bima merasa selama ini selalu menjalani hidup sebagai orang baik, bahkan ia memiliki pekerjaan dan attitude yang baik pula, bagaimana bisa bu Roro memandang dirinya tak layak bahkan tak memberikan restu untuk hubungannya dengan Sherin, yah walaupun mereka hanya berpura pura.
Haruskah ia berhenti dan menyerah begitu saja? Atau haruskah ia berjuang mendapatkan restu bu Roro? Tapi sekali lagi apa hak nya? Ia bukan kekasih apalagi calon suami Sherin.
"Aaaaaaahhhh …" Bima berteriak sendiri, tangannya menggosok kasar rambutnya yang masih tertata rapi.
Harga dirinya sebagai pria sejati sedang dipertaruhkan, bukan Bima namanya jika ia tak sanggup menaklukkan tantangan.
Walau tak tahu apa tujuannya, tapi Bima tergelitik untuk menaklukkan kebekuan hati bu Roro.
***
Keesokan paginya, Bima dan Sherin kembali bersikap seperti biasa, seakan akan tidak terjadi apa apa diantara mereka.
Hingga jam istirahat tiba.
Tanpa sepengetahuan Andre, Bima menyeret Sherin ke tangga darurat.
Awal nya Sherin terkejut, tapi ketika teringat bahwa Bima sudah membantunya bersandiwara pada hari sebelumnya, maka Sherin pun urung protes.
Sesampainya Di tangga darurat.
"Bagaimana keadaan ibumu?" Tanya Bima tak sabar.
"Ya begitulah mas, eh maaf, pak," mendadak Sherin gugup hanya karena salah sebut panggilan sehari hari.
Diam diam Bima tersenyum mendengarnya, entah kenapa hatinya hangat manakala mendengar Sherin memanggilnya dengan sebutan 'mas'
"Ibu hanya mogok bicara," imbuh Sherin.
"Maaf yah, aku jadi merasa bersalah."
"Pak Bima tidak salah, sejak awal saya yang menginginkan semua ini." Sherin duduk di salah satu anak tangga.
"Selain itu? Apa ibu mogok makan, atau bahkan menunjukkan tanda tanda sakit?" Bima kembali bertanya.
"Bapak mendoakan yang jelek buat ibu saya?" Ucap Sherin sengit.
"Eh … bu … bu … bukan begitu maksudku," jawab Bima gugup.
Sementara wajah Sherin sudah tampak seperti hendak menerkam mangsa.
"Aku hanya khawatir, kamu tahu kan sejak kecil aku sebatang kara, dan kini tiba tiba aku terlibat dalam sandiwara yang membuat seorang ibu marah, aku khawatir ibumu jatuh sakit." Tutur Bima, mencoba menjelaskan situasi.
Wajah Sherin kembali datar. "Tenang saja pak, ibu memang sedikit keras kepala, tapi saya jamin itu tidak akan lama, hanya butuh kesabaran memberi pengertian pada beliau, pelan pelan juga ibu akan mengerti."
"Lalu keluarga pakdhe mu?"
Sherin kembali menghembuskan nafas nya kasar, "kalau itu, belum dibicarakan kembali. mas Bagas bilang, biarkan mengendap dahulu, semoga nanti bisa di cari solusi dan jalan tengah."
Bima menganggukkan kepalanya, ada kelegaan yang ia rasakan, manakala mendengar semuanya dari Sherin.
***
'Nanti sore, aku antar kamu pulang' -Bima-
Sherin mengucek mata nya, ia belum percaya pada Pesan singkat yang baru saja masuk ke ponselnya.
Tak ingin terlalu larut dalam praduga, ia pun memilih diam dan menunggu, sembari tetap melanjutkan pekerjaan.
Sementara si pengirim pesan, mulai gelisah, "kenapa dia diam saja, apa dia tak tahu ada pesan masuk?" Gerutu Bima seorang diri di ruangannya.
Bima berjalan ke jendela ruangannya, jarinya menyingkap sedikit tirai jendela, nampak Sherin tengah sibuk dengan pekerjaan nya, sementara ponselnya berada tepat di samping nya.
"Seharusnya dia sudah membaca pesanku, lalu kenapa tidak ada jawaban?" Bima semakin gusar.
Tapi kembali ia tersadar, siapa dirinya, ia bahkan bukan siapa siapa bagi Sherin, jadi kenapa juga harus marah, kalau Sherin menolak ya tidak masalah toh, wong setiap hari juga ia dan Sherin selalu pulang seorang diri.
***
Pukul delapan belas petang.
Bima menutup pintu ruangannya dengan perasaan aneh.
Kenapa?
Tentu saja karena meja Sherin sudah bersih, tidak ada tanda tanda gadis itu menunggunya, jangankan menunggu, membalas pesan pun tidak, entah kenapa Bima merasa marah.
Dengan langkah gontai ia berjalan menuju kotak Besi yang akan membawanya turun ke lantai dasar, alangkah terkejutnya ia ketika melihat ada Sherin di dalam sana, wajah cemberutnya seolah mengatakan bahwa ia sedang marah.
Bima tersenyum dalam hati ketika menatap wajah Sherin, tapi wajahnya nampak datar, seakan akan tidak terjadi perubahan emosi dalam dirinya.
Setelah pintu lift tertutup, mereka kini di dalam lift yang hanya dipakai oleh pemilik hotel, Bima berada di sudut kanan, dan Sherin berada di sudut kiri, "aku pikir kamu sudah pulang?"
"Pak Bima tega pada saya, katanya mau antar pulang, saya bahkan sudah menunggu satu jam lamanya." Gerutu Sherin.
"Karena kamu tak membalas pesanku, jadi kupikir kamu ingin pulang sendiri."
"Saya tidak membalas, karena saya sedang sibuk, bukankah bapak sendiri tadi."
"Dan aku pikir, kamu tidak membalas, karena mengabaikanku."
Tanpa sadar, keduanya saling memberikan konfirmasi tentang apa yang sebenarnya terjadi, entah apa hubungan mereka kini.
Tak lama kemudian mereka saling tatap.
Lift berhenti di lantai dasar, namun keduanya enggan keluar.
"Jadi bagaimana? Mau aku antar?" Bima mulai berani menggoda, seumur hidup ini pertama kalinya ia menggoda seorang gadis, padahal selama ini, ia berada di sisi Andre yang sering menggoda banyak gadis.
😂
"Ya iya lah, kalo naik motor, ini sudah kemalaman," gerutu Sherin, yang membuat dada Bima tiba tiba berdesir.
🤭
"Baiklah … aku akan mengantarmu, sekalian menyapa ibu, boleh kan?" Tanya Bima.
"Dilanjutkan makan malam juga boleh," jawab Sherin.
"Lalu bagaimana jika ibu menolak, memberikan makan malam padaku?"
"Kita beli makan di luar, ada satu makanan yang tidak bisa ditolak oleh ibuku." Bisik Sherin, seakan akan ingin memberikan, kartu keberuntungan pada Bima.
"Makanan apa itu?" Tanya Bima penasaran.
"Asinan betawi …"
"Aaahhh kamu … itu mah makanan kesukaan othor moon, pasti sekarang dia sudah ngiler, membayangkan asinan, asam, manis, pedas, seger, ditambah kerupuk renyah kriuk kriuk …" kelakar Bima.
Keduanya tertawa bahagia, menertawakan othor yang sedang menulis, sambil ngiler membayangkan asina.
🤧 # Dah puas kalian ngetawain othor …
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
rinny
dan pastinya kak othor nulis sambil ngeces 🤭🤭🤭😄😄😄
2025-04-14
0
himawatidewi satyawira
udh ngeces malah bim
2025-01-23
0
himawatidewi satyawira
ayooo bim..terjang, serbuuu
2025-01-23
0