BAB 12
Sosok wanita muncul dari pintu utama, wajahnya sudah keriput, tapi tak mampu menutupi kecantikan yang ia miliki, pasti dikala muda beliau adalah gadis yang sangat cantik.
"Ngapunten* ndoro putri," sapa Pak Lek Yadi dengan tubuh setengah menunduk, tanda penghormatan pada majikan nya tersebut. "Tapi …"
(*Ngapunten : dalam bahasa jawa halus berarti juga permohonan maaf,)
Prang …
Tangan wanita tua itu gemetar hingga menjatuhkan cangkir berisi kopi hitam yang ada di genggamannya, berkali kali ia mengedip dan mengucek kedua mata nya.
Belum sempat pak lek Yadi melanjutkan perkataan nya, wanita yang dipanggil ndoro putri itu mendekati Bima, senada dengan pak lek Yadi, wanita itu pun menangis seketika, mata tuanya tak bisa dibohongi, ia tahu yang berdiri di hadapannya serupa dengan wajah putra sulungnya yang telah lama terusir dari kediaman Baskoro Narendra, bapak kandungnya sendiri.
Wanita itu terus menelisik dari ujung rambut hingga ujung kaki, kedua tangannya mengusap rambut, wajah, pundak, dan lengan Bima, aneh nya Bima hanya terdiam tanpa bisa melawan atau mengelak.
"Akhirnya pulang juga kowe anak lanangku* … ibuk kangen nak, kenapa lama sekali baru memutuskan pulang, ibuk ndak marah sama kamu, ibu terima kamu menikah dengan siapa Chandra, ibuk pengen lihat cucu ibuk …" wanita itu terus mencurahkan isi hatinya, kini ia bahkan sudah memeluk Bima dengan erat, tangisnya semakin kencang, hingga menarik perhatian orang orang yang sedang bekerja di depan pendopo.
(*Kamu anak lelaki ku)
Bima tetap terdiam, tak pernah berinteraksi dengan keluarga dan orang orang terdekat, membuat perasaannya seolah mati rasa, pun juga dengan wanita yang kini sedang menumpahkan tangis yang sarat akan rindu di dadanya, Bima hanya pasrah tanpa bisa berkata kata, bahkan menerjemahkan isi hatinya pun ia tak bisa.
Mendengar suara tangis pilu, dari Balik pintu utama tiba tiba muncul dua orang pria, seorang pria berumur, dengan wajah kaku dan tegas, bahkan rambutnya pun sudah putih sempurna, Bima seperti melihat bayangannya kelak ketika sudah tua, dialah Raden Mas Baskoro Narendra, sementara di sisinya seorang pria yang kira kira masih berusia setengah abad, dialah Raden Mas Kreshna Narendra adik kandung ayah Bima, dia pun berusaha ikut mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi.
"Bune* …" pekik an keras keluar dari mulut sang Ndoro Kakung (Baskoro), "dia bukan Arandhana …"
(*Ibuk e)
"Ora* mungkin pak, iki anak lanangku Arandhana." Balas Sang Ndoro Putri (Kartika Prameswari).
(*Tidak mungkin pak, ini anak lelakiku Arandhana)
Baskoro mengepalkan tangannya, tak sedikitpun ia bergeser dari tempatnya berdiri saat ini, terlihat sekali bahwa pria tua itu sangat tegas dengan aturan.
"Sak karepmu*, siapapun dia, aku tidak izinkan dia menginjakkan kaki di dalam rumahku." Titah kakung Baskoro.
"Mau sampai kapan bapak begini, keras sekali pada anak sendiri," desis Eyang Kartika.
“Aku orah* butuh anak tidak tahu diuntung, **orah nurut omongane wong tuwo.” pekik Eyang Baskoro.
(*orah : tidak)
(**tidak patuh perkataan orang tua)
“Di bagian mana Dhana tidak nurut pada bapaknya, Dhana selalu nuruti perkataan bapak, salahnya hanya karena dia menikahi gadis yang bukan pilihan bapak, hanya itu pak, *mosok tego sampek 25 tahun anaknya ndak pulang, ndak di golek i, bapak macem opo iku, opo patut dadi contoh,” Eyang Kartika menumpahkan kekesalan hati yang sudah di pendamnya sejak 25 tahun yang lalu.
(*masak tega sampai 25 tahun anaknya tidak pulang, tidak di cari, bapak macam apa itu, apakah masih patut dijadikan contoh.)
Wajah eyang Baskoro merah padam, baru kali ini ia mendengar istrinya berbicara kasar dan keras padanya, “*ora sudi, sampek kapanpun keturunan asli kesultanan Jogjakarta, ora trimo duwe mantu anak nya abdi dalem, aku ora sudi.” eyang Baskoro kembali meninggikan suaranya, terlihat dengan jelas, eyang Baskoro masih memegang teguh prinsip leluhur sejak jaman dahulu kala.
(*tidak sudi, sampai kapanpun keturunan asli kesultanan Jogjakarta, tidak terima memiliki menantu anak dari abdi dalem, aku tidak sudi.)
Susah payah memendam gemuruh di dalam dadanya, begitu pentingkah menjadi keturunan seorang sultan, hingga mengabaikan sisi kemanusian, harkat dan derajat manusia di mata tuhan, ingin rasanya Bima meluapkan emosinya, kemarahannya pada pria tua yang ternyata adalah kakek kandungnya sendiri, bahwa karena prinsip dan keegoisannya, kedua orang tuanya menjalani sebuah pernikahan tanpa restu, yang artinya tanpa mendapatkan doa terbaik dari orang tua, hingga hidup yang mereka jalani pun terasa sangat sulit, bagai melewati jalanan terjal berbatu dan berduri tajam.
Sang anak lelaki pun maju sebagai penengah, Kreshna berjalan ke tengah mendekati Bima dan sang ibu.
"Ya sudah kalau mas Dhana tidak boleh tinggal di sini, ayo menginap di rumahku saja." Kreshna menggamit lengan Bima, lalu membawanya menjauh dari ketegangan.
Sepeninggal Bima dan Kreshna, ketegangan masih berlanjut, pak lek Yadi dan beberapa buruh perkebunan perlahan menyingkir, tidak sopan rasanya jika mereka tetap di sana dan mendengarkan keributan antara kedua majikannya.
Bima terus berjalan, ia membiarkan pria di hadapannya membawanya pergi entah kemana, sampai di perbatasan dinding, pria itu berhenti, dia pun takjub mengamati wajah Bima, yang ternyata memiliki paras rupawan seperti wujud asli Arandhana, pria itu pun terlihat berkaca kaca, tak bisa di pungkiri, ia pun menyimpan rasa bersalah yang sangat besar pada kakak sulungnya, karena sudah membiarkan keponakannya terlantar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
himawatidewi satyawira
duuhh eyang blm.pernah ditabok online ya?
2025-01-23
0