BAB 11.

BAB 11.

Sherin menatap hampa pada layar ponselnya, baru saja ia bertukar pesan dengan Bima, dan ini hari kedua Bima mengajukan cuti, tapi sungguh terlalu, ia bahkan sudah rindu pada pria yang beberapa hari lalu melamarnya di kamar mandi, "maafkan ibuku mas, karena permintaan ibuku, kamu jadi jauh kesusahan menemukan keluargamu, bahkan kamu harus menelusuri silsilah keluarga mu." Gumam Sherin lirih, tanpa tahu masalah Bima yang sebenarnya.

Mungkin benar jika asa yang mengatakan, wanita sangat mudah tersentuh hatinya, ini lah yang tengah dialami Sherin saat ini, semenjak Bima pasang badan demi membantu mewujudkan keinginannya menolak perjodohan, semenjak itu pula, Sherin melihat Bima dengan cara berbeda.

Ada bahagia ketika melihat Bima, ada kagum saat Bima bahkan tak pernah marah menghadapi sikap bu Roro, ada kehangatan saat melihat Bima bermain dan bersenda gurau dengan ke empat keponakannya, Bima pria mapan yang bersahaja, tak hendak memamerkan apa yang dia punya hanya demi sebuah kata ‘iya’ dari bu Roro, sebaliknya, Bima memilih berjuang menemukan dan menggali masa lalunya.

“Eh ciyeeee … ada yang kangen.” sebuah suara membuyarkan lamunan Sherin, karena terkejut, Sherin bahkan menjatuhkan ponselnya.

“hahahaha …” 

siapa lagi yang bisa tergelak puasa selain atasannya sendiri, Sherin menatap gugup ada Andre, yang kini menatap wajah nya yang tengah merindu.

“aku tahu kamu rindu, tapi Bima pergi demi masa depan kalian, dia pasti kembali, yakinlah,” hibur Andre.

Sherin hanya mengangguk malu, kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya, yah benar perkataan bos nya, Bima sedang berjuang mendapatkan restu dari ibunya, ia harus mendukung, bahkan menahan rindu tentu bukanlah apa apa jika dibandingkan perjuangan pria itu.

Sementara itu, nun jauh di kota gudeg, dimana kini Bima berada, sejalan dengan Sherin, Bima pun mulai merasakan rindu, namun ia tak bisa berhenti di tengah jalan, karena pilihan telah ia ambil, dan kini tinggal selangkah lagi ia menemukan apa yang selama ini mengganggu pikirannya.

Sudah sejak kemarin siang ia tiba di Jogja,  tapi hatinya terasa begitu berat untuk melangkah, banyak sekali yang ia pikirkan, bagaimana nanti reaksi kakaknya manakala melihat kedatangannya? apakah akan dipersilahkan masuk? Atau bahkan langsung di usir?.

Walau Bima lahir dan hingga usia 5 tahun masih tinggal di jogja, tapi tetap saja kota ini terasa asing baginya, Bima menatap lalu lintas kota dari lantai 10 kamar hotel yang ia tempati, tidak terlalu padat, karena saat ini bukanlah masa libur nasional, pemandangan yang langka, karena masih ada delman berseliweran di jalanan, jika di Jakarta, becak saja sudah dilarang melewati kawasan tertentu.

***

Dari kejauhan, rumah itu nampak besar, ornamen ornamen jawa kuno menghiasi dinding dan pagar, mungkin sekitar 50 tahun yang lalu, rumah itu adalah rumah mewah pada jamannya, mengingat kakek dan nenek nya berasal dari kasta tertinggi yang masih memiliki darah ningrat dari kesultanan Jogjakarta.

Bima kembali menguatkan tekadnya, semakin dekat dengan masa lalunya, semakin ia takut menghadapi nya, sekuat tenaga ia menahan debaran jantungnya, kembali ia melangkah perlahan, semakin dekat semakin terlihat jelas aktifitas yang sedang berlangsung di balik dinding pagar rumah besar tersebut.

Rupanya leluhur Bima adalah pemilik perkebunan cengkeh dan tembakau terbesar di Jogja, belum lagi termasuk hasil perkebunan lainnya, kelapa, kopi, bahkan kakao, pada masa kolonial, sebutan yang tepat untuk leluhur Bima adalah juragan, karena memiliki banyak lahan perkebunan yang hingga kini masih menghasilkan rupiah yang tidak sedikit, mengingat tanaman tanaman tersebut menjadi idola di kalangan pengusaha makanan.

Bima mengeratkan genggaman tangannya yang mulai berkeringat, topi dan kacamata yang ia kenakan sedikit banyak membantu menyamarkan penampilannya, tapi buat apa? Di daerah sini tak ada yang mengenalnya, akhirnya Bima pun melepas kacamata hitamnya.

"Den Dhana?" Sapa seorang pria tua yang tengajenuntun sepedanya?

Sepersekian detik Bima terkesiap, ia tak mengenal siapapun di daerah ini, tapi pria tua ini tiba tiba memanggilnya dengan sebutan den Dhana.

Pria tua itu gemetaran, ia menjatuhkan sepedanya begitu saja, kemudian mendekati Bima, kedua tangannya yang sudah keriput kini bergerak menyentuh kedua lengan Bima, pria tua itu kini berurai air mata.

"Bener, ini den Dhana? Ini pak lek Yadi den, dulu aden sering main ke rumah pak lek dan minta dibuatkan layang layang, ketapel, bahkan gasing." Pria yang menyebut dirinya pak lek Yadi itu terus berceloteh, seakan akan sedang berusaha keras kembali mengumpulkan kepingan puzzle masa lalunya bersama den Dhana, anak sulung sang majikan.

"Kenapa baru pulang den, ini sudah lebih dari 25 tahun, paklek kangen sama aden …" paklek Yadi kini tersedu, kedua tangannya bahkan mengusap pipi dan kepala Bima, menelisik seluruh penampilan Bima, dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Melihat betapa pak lek Yadi menangis dan mengamatinya, tentu pak lek Yadi adalah seseorang yang sangat menyayangi ayahnya, tak tega Bima mengatakan bahwa den Dhana yang beliau maksudkan, sudah meninggal 25 tahun yang lalu. 

"Maaf, tapi saya bukan Arandhana paklek, saya Bima." Jawab Bima sopan.

Pak Lek Yadi kembali mendongak, pria muda di hadapannya memang serupa dengan Arandhana sang majikan kecilnya, tapi ini dalam versi berbeda, hidung dan matanya berbeda, barulah pak lek Yadi menyadari, bahwa pemuda ini adalah anak dari Arandhana, yang dulu pernah dibawanya menjumpai Baskoro Narendra, sang kakek.

"Nak … kamu mirip sekali dengan bapakmu, paklek sampai tek mengenalimu, lalu dimana bapakmu, kenapa tidak pernah pulang?" Tanya pak lek Yadi.

"Ayah sudah meninggal 25 tahun yang lalu." 

Pak Lek Yadi kembali menangis, "meninggal kenapa? Tidak pernah ada yang tahu kabar beritanya," dengan tangis sedih ia terus menanyakan penyebab kematian Arandhana.

Dan Bima tak tega mengatakan bahwa Kedua orang tuanya meninggal karena bunuh diri, akibat terlilit hutang 10 milyar, padahal hutang itu adalah ulah licik dari pesaing bisnis nya.

"Ayah meninggal karena sakit paklek," bohong Bima, agar pak lek Yadi tak terlalu bersedih dengan kepergian majikan kecilnya.

"Owah deen Dhana, paklek nyuwun ngapuro*. tidak tahu kalau aden sakit, bahkan sampai meninggal, paklek tidak tahu apa apa." Sesal pak lek Yadi.

(*Ngapuro : dalam kamus bahasa jawa berarti permohonan maaf.)

"Aden sendiri namanya siapa?" Tanya pak lek Yadi, pipi keriputnya bahkan masih basah oleh air mata.

"Saya Bima paklek,"

"Walaahh … dulu den Dhana suka sekali dengan dongeng pewayangan, paklek tidak menyangka bahkan anaknya diberi nama Bima," pak lek Yadi kembali membelai rambut dan wajah Bima, karena Bima sudah melepas topinya. "Aden mirip sekali dengan den Dhana, rambut, bentuk wajah dan postur tubuh, tidak ada yang berbeda, hanya hidung dan mata saja yang berbeda." 

Bima hanya mengangguk sopan mendengar penuturan pak lek Yadi.

"Aden mau ketemu sama juragan Baskoro?" 

"Inginnya begitu paklek, tapi …" jawaban Bima menggantung.

"Ayo … pak lek antar, ndoro putri dan juragan pasti senang melihat den Bima." Wajah pak lek Yadi berbinar penuh semangat.

Pak Lek Yadi kembali menuntun sepeda tuanya, "mari paklek antar den," tutur pak lek Yadi, pria tua itu seolah tak peduli dengan rasa yang berkecamuk dalam dadanya.

Beberapa buruh perkebunan, menoleh manakala melihat kedatangan Bima dan pak lek Yadi.

"Sopo kuwi paklek*?" Sapa beberapa buruh yang tak mengenali Bima.

(*Siapa itu pak lek)

Mereka adalah para pekerja yang baru bergabung beberapa tahun belakangan, melihat wajah tampan nan rupawan tentu adalah hal yang langka di kalangan buruh.

Wajah dan postur tubuh Bima, memang tak bisa menutupi garis kebangsawanannya, wajahnya rupawan, karena memiliki leluhur yang juga bukan orang sembarangan, kalau ibunya dianggap berasal dari kelas rakyat jelata, tetap saja yang menonjol adalah sisi tampan dan rupawannya.

Bima dibawa menuju teras rumah besar tersebut, senada dengan dinding dan pagar, di dalam rumah itu pun suasana klasik kental terasa, pendopo yang luas dengan beberapa kursi antik dan juga seperangkat gamelan, yang sepertinya kini jarang digunakan.

Sosok wanita muncul dari pintu utama, wajahnya juga sudah keriput, tapi tak mampu menutupi kecantikan yang ia miliki, pasti dikala muda beliau adalah gadis yang sangat cantik.

"Ngapunten* ndoro putri," sapa Pak Lek Yadi dengan tubuh setengah menunduk, tanda penghormatan pada majikan nya tersebut. "Tapi …" 

(*Ngapunten : dalam bahasa jawa halus berarti juga permohonan maaf,)

Belum sempat pak lek Yadi melanjutkan perkataan nya, wanita yang dipanggil ndoro putri itu mendekati Bima, senada dengan pak lek Yadi, wanita itu pun menangis seketika, mata tuanya tak bisa dibohongi, ia tahu yang berdiri di hadapannya serupa dengan wajah putra sulungnya yang telah lama terusir dari kediaman Baskoro Narendra, bapak kandungnya sendiri. 

.

.

.

.

.

.

Maaf baru up lagi, kemarin sibuk dengan persiapan novel baru, dan Extrapart nya AndreBella, jadilah Mas Bima tergeser, maafkan othor ya maaass 🤭

Terpopuler

Comments

Anisatul Azizah

Anisatul Azizah

pripun to pak lek Yadi, masa Arandhana setelah 25th masih awet muda🤭

2025-02-22

0

Eti Kode

Eti Kode

iya aku baru ingat si kembar anak stella dan Alex di SEPASANG MANTAN ya thor

2023-02-11

1

moon

moon

Andre untuk Bella, kemarin menyelesaikan eps terakhir yang tayang hari ini

2023-01-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!