"Boleh. Kapan kita akan melakukannya, Ibu?" tanya Zhang Fei penuh semangat.
"Sekarang pun tidak masalah,"
"Baiklah. Mari kita mulai,"
Zhang Fei segera bangkit berdiri. Dia berjalan ke tengah lapangan luas. Liu Lin mengikuti dari belakangnya. Ia berhenti di depan Zhang Fei dalam jarak sekitar sepuluh langkah.
"Gunakan pedangmu," katanya kepada sang anak.
"Baik, Ibu,"
Zhang Fei segera mencabut keluar sebatang pedang yang selama ini selalu digunakan dalam latihannya. Pedang itu adalah pedang kesayangannya. Ia mendapatkan senjata tersebut dari sang ayah saat dirinya berusia sepuluh tahun.
"Ingat, jangan pernah menahan diri. Keluarkan seluruh kemampuan yang kau miliki,"
"Baik, Bu,"
"Kau mengerti?"
"Ya, aku mengerti,"
"Bagus. Mari kita mulai sekarang juga,"
Liu Lin segera mempersiapkan diri. Ia memasang kuda-kuda. Begitu juga dengan Zhang Fei.
Ketika persiapan sudah selesai, anak muda itu segera memberikan serangan pertamanya.
Wushh!!!
Pedang di tangan Zhang Fei melesat bagaikan kilat. Pedang itu menusuk ke arah jantung. Ia langsung mengincar titik kematian yang terdapat di tubuh manusia.
Liu Lin tersenyum. Dengan gerakan sederhana, ia berhasil menepis ujung pedang menggunakan ujung jarinya.
Pedang itu segara terpental ke sisi. Tidak berhenti sampai di situ saja, Zhang Fei kemudian meneruskan serangan berikutnya.
Pedang berputar dengan cepat di tengah udara. Tebasan dari kedua sisi segera tercipta. Kelebatan cahaya perak merona menyelimuti tubuh Liu Lin.
Wanita tua itu tidak merasa kerepotan sama sekali. Dengan gerakan-gerakan yang sederhana namun pasti, ia berhasil menghindari maupun menangkis setiap serangan yang dilayangkan oleh anaknya.
Pertarungan antara ibu dan anak itu berjalan cukup sengit. Untuk beberapa waktu lamanya, Zhang Fei masih berada di pihak yang menyerang.
Meskipun setiap serangannya tidak membuahkan hasil, namun anak muda itu tidak pernah menyerah. Ia terus berusaha sebisa mungkin dalam hal menyerang ibunya.
Pedang terus berkelebat tanpa berhenti. Belasan jurus sudah terlewati. Semakin lama bertarung, semakin cepat juga gerakannya.
Liu Lin selalu tersenyum. Dia sendiri merasa bangga karena melihat kemajuan anaknya yang sangat pesat itu.
Semakin hari, kemajuan Zhang Fei semakin pesat dari sebelumnya.
Buktinya saja saat ini, andai kata ia tidak berlaku cukup serius, mungkin sudah sejak tadi dirinya terluka oleh pedang tersebut.
Wushh!!! Wutt!!! Wutt!!!
Cahaya perak dan desingan angin tajam terus memburu setiap inci tubuhnya. Untuk seorang anak muda seusia Zhang Fei, sebenarnya kemampuan yang ia miliki saat ini sudah terhitung luar biasa.
"Bagus anakku, keluarkan semua kemampuanmu. Jangan pernah menyerah, konsentrasi penuh,"
"Kakimu kurang lincah,"
"Tebasan pedangmu kurang tepat,"
"Jangan pernah mengalihkan pandangan mata. Tetap perhatikan setiap gerakan yang dilakukan oleh musuhmu,"
Liu Lin terus memberikan arahan kepada Zhang Fei. Tujuannya agar sang anak bisa memperbaiki kesalahannya dengan segera.
Hasilnya lumayan juga. Beberapa kali diberi peringatan, ternyata anak muda itu langsung mempraktekkannya. Alhasil, serangan yang tercipta pun semakin ganas dan berbahaya dari sebelumnya.
Tanpa mereka sadari, keduanya sudah bertarung lebih dari lima puluh jurus. Ini sudah terhitung bagus, sebab dua hari yang lalu, Zhang Fei hanya bisa bertahan selama tiga puluh jurus saja.
Ketika keduanya berada dalam pertarungan sengit, tiba-tiba sekelebat bayangan langsung memasuki arena pertarungan.
Blamm!!!
Pukulan keras dilontarkan. Ibu dan anak itu langsung terdorong mundur sebanyak tujuh langkah ke belakang.
"Suamiku ..."
"Ayah ..."
Mereka berseru secara bersamaan. Ternyata bayangan yang baru saja berkelebat itu tak lain adalah Zhang Xin sendiri.
"Jangan banyak bicara, ayo kalian berdua serang aku," ujarnya sambil tersenyum.
"Aih, baiklah. Terima seranganku ini, Ayah,"
Wushh!!!
Zhang Fei berseru kegirangan. Akhirnya dia bisa berlatih kembali bersama ayahnya.
Anak muda itu melompat dengan cepat. Ia langsung mengeluarkan salah satu jurus andalan yang telah diajarkan oleh Zhang Xin.
Tidak mau kalah dari sang anak, Liu Lin juga segera melakukan hal yang sama. Kali ini dirinya tidak menyerang dengan tangan kosong.
Selendang sutera yang selama ini menjadi senjata andalannya, sekarang sudah ia keluarkan.
Selendang warna putih tersebut segera melesat secepat kilat. Liu Lin mengincar titik penting di tubuh suaminya.
"Bagus. Kerja sama yang bagus," si Pedang Kilat bersuara penuh semangat.
Bersamaan dengan seruan itu, keduanya tangannya tidak tinggal diam. Ia segera menangkis serangan yang diberikan oleh istri dan anaknya.
Pertarungan yang lebih sengit sudah terjadi. Mereka bertiga seolah-olah memang sedang bertempur dengan serius.
Keluarga kecil itu baru berhenti melakukan latih tanding saat mencapai dua ratus jurus. Ketika berhenti, keringat sudah membasahi seluruh pakaiannya. Peluh sebesar biji kacang kedelai perlahan turun dari pelipisnya.
"Mari kita istirahat," ajak Zhang Xin.
Mereka bertiga berjalan secara bersamaan dan beristirahat di bawah pohon besar yang terdapat di sana.
Liu Lin masuk ke kediamannya. Begitu keluar, terlihat dia membawa satu guci air putih lalu segera diberikan kepada suami dan anaknya.
Tidak lupa juga, dirinya menyajikan daging rusa bakar sisa hasil buruan Zhang Fei kemarin.
"Ayah, bagaiamana ilmu pedangku sekarang?" tanya Zhang Fei ketika sudah santai.
"Cukup baik. Peningkatannya juga lumayan. Tapi kau harus berlatih jauh lebih keras lagi, anakku,"
Orang tua itu berkata seraya memberikan senyuman hangat dan penuh kasih sayang.
Zhang Fei juga tersenyum. Setiap kali mendapat pujian dari kedua orang tuanya, ia selalu merasa senang. Apalagi kalau mereka memuji ilmu pedangnya.
Perlu diketahui, sejak awal, Zhang Fei sudah mempunyai cita-cita besar. Dia ingin seperti ayahnya, menjadi pendekar pedang yang jarang menemukan tandingan.
Ia ingin menjadi seorang Dewa Pedang!
Entah kenapa, ia merasa begitu mencintai senjata berupa pedang. Bahkan kasarnya, ia lebih sayang terhadap pedangnya daripada nyawanya sendiri.
"Anakku, kalau kau ingin menjadi Dewa Pedang, maka kau harus menyerahkan seluruh hidupmu terhadap sebatang pedang," kata Zhang Xin meneruskan kembali ucapannya.
"Aku mengerti, Ayah. Tapi, benarkah aku bisa menjadi Dewa Pedang?"
"Dengan bakat dan semangat yang kau miliki, Ayah yakin bahwa dirimu bisa mencapai titik tersebut. Suatu saat nanti, kau pasti bisa menjadi seorang Dewa Pedang,"
Orang tua itu tidak sedang bicara omong kosong atau hanya memuji puteranya saja. Sebagai orang yang sudah mengenyam pahit getirnya kehidupan, sebagai pendekar yang sudah mempunyai pengalaman bertarung tak terhitung banyaknya, tentu saja ia bisa memberikan penilaian seperti itu.
Dia sangat yakin bahwa suatu saat nanti, apa yang dicita-citakan oleh Zhang Fei pasti akan terwujud. Bahkan dirinya juga percaya bahwa di masa yang akan datang, anaknya itu bisa melebihi kemampuan dia sendiri dalam hal ilmu pedang.
"Anakku, ingat baik-baik pesan Ayahmu ini,"
"Aku mendengarkan,"
"Puncak ilmu pedang tertinggi itu bukan terletak ketika kau bisa membelah rambut menjadi tujuh bagian tanpa banyak bergerak. Melainkan terletak saat kau bisa menyatu bersama dengan pedang itu sendiri. Pedang adalah aku, dan aku adalah pedang,"
Zhang Xin berkata dengan wajah dan nada yang serius. Dan ia mengatkan hal yang sebenarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 516 Episodes
Comments
Solar Lardi
lagi lagi 👍👍👍
2024-06-26
0
Iron Mustapa
lanjutkan bray... ☺☺☺☺
2023-11-13
1
glanter
pedang adalah aku, aku adalah pedang....."zhang xing"
2023-10-14
2