Untunglah walaupun begitu, ia masih bisa tetap melepaskan diri dari jeratan Tiga Siluman Kanglam. Apalagi sampai sekarang, tiga tokoh sesat itu masih belum juga mendapatkan posisinya.
Luka mereka memang tidak separah si Pedang Kilat, tapi daya tahan tubuh ketiganya, juga tidak sekuat dirinya.
Apalagi jika membahas proses penyembuhan, tentu saja tiga tokoh sesat itu jauh lebih lambat darinya.
Karena itulah, si Pedang Kilat bisa melarikan dirinya dengan cukup mudah.
Suasana di tanah lapang itu telah berbeda cukup jauh dari sebelumnya. Puluhan mayat anggota Partai Panji Hitam yang dibunuh oleh si Pedang Kilat tadi, kini telah berhamburan ke berbagai penjuru.
Hal itu terjadi karena mereka telah terkena efek dari benturan dahsyat antara si Pedang Kilat dan Tiga Siluman Kanglam.
Bukan hanya orang-orang itu saja, bahkan bebatuan besar yang ada di sekitar tempat tersebut pun juga turut menjadi korban salah sasaran. Pecahan batu cadas itu berserakan di setiap penjuru.
Singkatnya, keadaan di tanah lapang itu telah berubah total. Seolah-olah di sana baru saja terjadi badai dahsyat yang sangat mengerikan.
Lewat lima belas menit kemudian, suasana mulai kembali normal seperti sedia kala. Debu yang tadi tebal dan mengepul tinggi ke angkasa, sekarang sudah lenyap begitu saja.
Pandangan mata menjadi terang. Hawa pembunuh yang sempat menyelimuti seluruh tempat sekitar pun, kini ikut lenyap tanpa bekas.
"Di mana si Pedang Kilat?"
Orang yang pertama kali berdiri di antara Tiga Siluman Kanglam adalah di Pengemis Gila. Ia bertanya kepada dua rekannya sambil menoleh ke sekeliling tempat sekitar.
"Entahlah, mana aku tahu. Mungkin dia sudah mati," jawab si Tombak Sesat sambil ikut berdiri pula.
Sejak tadi, dia tidak melakukan maupun memikirkan apa-apa. Si Tombak Sesat hanya konsentrasi untuk menyembuhkan luka dalam yang sedang dia derita.
Walaupun luka dalam itu tidak pulih sepenuhnya, tapi setidaknya menjadi lebih ringan.
Karena hal itulah ia sendiri tidak tahu-menahu soal ke mana perginya, atau bagaimana kondisinya di Pedang Kilat.
"Tidak, tidak," sambung Biksu Seribu Tasbih menggelengkan kepalanya sambil bangkit berdiri pula. "Dia tidak mati. Yang benar adalah dia sudah pergi dari sini,"
Ia berkata dengan nada dan ekspresi wajah serius. Dua orang rekannya langsung menoleh, seolah-olah mereka tidak percaya dengan ucapan yang baru saja dia katakan itu.
"Dari mana kau tahu bahwa dia belum mati?" tanya Pengemis Gila sambil mengerutkan kening.
"Karena dia adalah si Pedang Kilat!"
Biksu Seribu Tasbih tidak memberikan jawaban lebih jauh dan mendalam. Dia hanya menjawab seperti itu. Jawaban yang terkesan tidak pantas, tapi sebenarnya sudah cukup untuk mewakilkan segalanya.
Setelah merenung sejenak, si Tombak Sesat dan Pengemis Gila pun akhirnya mengerti tentang ucapan tersebut.
"Kalau benar begitu, mari kita kejar dia," ucap di Tombak Sesat setelah menghela nafas berat.
"Lebih baik kita bagi tugas. Kalian mengejarnya, biar aku yang memberikan laporan ke markas cabang tentang semua kejadian ini," sahut Biksu Seribu Tasbih.
"Usul yang baik. Aku setuju," uca Pengemis Gila.
Setelah membagi tugas, akhirnya Tiga Siluman Kanglam pun segera angkat kaki dari lapang yang tandus itu. Karena kondisi mereka mulai membaik, maka ilmu meringankan tubuhnya pun masih lebih cepat dari si Pedang Kilat sebelumnya.
Hanya dalam waktu yang cukup singkat, ketiganya sudah tidak berada lagi di tempat semula.
###
Zhang Xin si Pedang Kilat masih terus berlari semampunya. Untuk sekarang, keinginannya tidaklah banyak. Dia hanya ingin cepat sampai ke rumahnya dan memberi tahu kepada keluarga kecilnya tentang apa yang sudah terjadi.
Untungnya perjuangan yang dia lakukan tidak sia-sia. Tepat sebelum matahari tenggelam di balik gunung nun jauh di sana, Zhang Xin akhirnya tiba di kediamannya yang masih terletak di daerah Kanglam.
"Adik Lin, Adik Lin ..."
Orang tua itu menggedor-gedor pintu rumahnya dengan suara yang serak parau. Tidak perlu lama, pintu pun terbuka. Dari balik pintu itu muncul wanita cantik berumur sekitar empat puluh tahun.
Wanita tersebut mengenakan pakaian dengan warna putih bersih. Ia tampil serba putih. Wajahnya cantik dengan hidung bangir dan bola mata hitam bening. Kulit tubuhnya seputih salju.
Rambutnya yang hitam legam dan panjang, dibiarkan terurai begitu saja.
Wanita yang dimaksud tersebut bukan lain adalah Liu Lin. Istri dari Zhang Xin sendiri.
Begitu melihat kondisi suaminya yang penuh dengan luka-luka, Liu Lin pun menjerit kaget.
"Suamiku, apa yang telah terjadi kepadamu?" tanyanya sambil berjalan menghampiri lalu memapah Zhang Xin supaya tidak sampai jatuh ke lantai.
"Ceritanya panjang. Sekarang jangan dulu banyak tanya, di mana anak kita?" tanyanya.
"Anak Fei berada di dalam," jawab Liu Lin berusaha menenangkan dirinya.
"Zhang Fei ... Zhang Fei ..."
Wanita itu berteriak memanggil anak semata wayangnya. Untunglah si anak tersebut mendengar, dengan cepat dia pun menghampiri ibunya.
"Ada apa, Ibu?"
Zhang Fei, dia adalah anak dari pasangan Zhang Xin dan Liu Lin. Sama seperti kedua orang tuanya, anak muda itu pun mempunyai wajah yang tampan dengan kulit putih.
Rambutnya hitam, panjangnya sebahu. Rambut panjang itu diikat oleh kain sutera warna biru.
Kalau ibunya serba putih, maka anaknya justru serba biru.
Dengan pakaian ringkas ala kaum dunia persilatan, Zhang Fei muda tampak lebih tampan dari yang sebenarnya.
Saat ini, Zhang Fei baru berusia sekitar lima belas tahun. Namun karena sejak kecil Zhang Xin telah mendidiknya dengan keras, maka pertumbuhan anak itu jauh lebih cepat daripada anak-anak yang seusia dengannya.
Tubuhnya lebih tinggi dan tampak kekar. Otot-ototnya menonjol keluar.
Pada saat menghampiri ibunya, Zhang Fei terkejut setengah mati. Apalagi setelah dia menyaksikan kondisi ayahnya yang mengkhawatirkan itu.
Sebenarnya dia ingin bertanya lebih jauh, tapi dengan cepat Zhang Xin mendahuluinya bicara.
"Sekarang jangan banyak tanya dulu. Cepat siapkan barang-barang kita, lalu segera pergi dari sini," ucapnya terbata-bata.
"Cepat lakukan perintah Ayahmu, nak," kata Liu Lin meneruskan.
"Ba-baik, Ibu,"
Tanpa banyak bertanya dan berpikir panjang lagi, Zhang Fei pun langsung masuk ke dalam. Dia mempersiapkan barang-barang berharga yang dimaksudkan oleh ayahnya tersebut.
Lewat beberapa saat kemudian, anak muda itu sudah kembali dengan membawa dua buntalan kain yang cukup besar.
"Semua barang berharga sudah aku bawa, Ayah," katanya cepat.
"Bagus. Sekarang ambil dua ekor kuda peliharaan kita. Kita harus segera pergi dari sini," ujar Zhang Xin.
"Baik, aku mengerti," jawab Zhang Fei seraya menganggukkan kepala.
Kembali pemuda itu bertindak dengan cepat. Dia lari ke belakang rumah, membawa dua ekor kuda peliharaan ayahnya. Kemudian segera kembali ke depan.
Begitu dua ekor kuda sudah dipersiapkan, Liu Lin segera menaikkan suaminya ke punggung kuda. Dia sendiri yang menjadi kusirnya.
Zhang Fei tidak ketinggalan, ia pun segera melakukan hal yang sama.
Setelah semua persiapan selesai, keluarga kecil itu pun langsung pergi dari tempat kediamannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 516 Episodes
Comments
Yuda Suastika
ceritanya terlalu bertele" membosankan
2024-09-29
0
Jade Meamoure
waduh deg"an aq Thor
2023-11-22
2
Iron Mustapa
/Cry//Cry//Cry//Cry//Cry//Cry//Cry//Cry//Cry/
2023-11-13
0