Sadar

Setelah hampir satu Minggu di rumah sakit, kini Tio sudah kembali sadar. Perlahan matanya terbuka menatap sang mamah yang sedang berdiam diri duduk di sofa. Melirik sekitar hingga ingatannya kembali pada kejadian dimana mobilnya menghantam mobil putih yang menyelamatkan dirinya.

"Mah...."

Mamah yang sedang melamun memikirkan kesembuhan putranya terkejut mendengar panggilan dari Tio. Beliau segera melangkah menuju ranjang dimana Tio sedang berusaha untuk duduk.

"Badan Tio kaku mah," keluhnya.

"Pelan-pelan sayang!" Mamah membantu Tio dan meletakkan bantal di belakang punggungnya. "Minum dulu ya!"

"Sudah berapa lama Tio di sini mah?"

"Kamu sudah seminggu nak, mamah bersyukur hari ini kamu sudah sadar. Mamah sedih melihat kamu nggak bangun-bangun. Mamah panggilkan dokter dulu untuk memeriksa keadaan kamu ya sayang."

Setelah di periksa oleh dokter, keadaan Tio dinyatakan sudah lebih baik dari sebelumnya. Bahkan lusa dia sudah boleh pulang. Benturan di kepalanya sudah sembuh serta luka lecet di beberapa bagian pun sudah mengering.

"Mah, bagaimana kabar orang yang ada di dalam mobil putih itu? dia selamat kan?"

"Alhamdulillah selamat nak, tapi....." Mamah diam, sang anak yang baru sembuh membuatnya ragu untuk memberi tahu kabar Pak Bima.

"Tapi apa Mah?" tanyanya lagi.

"Beliau masih kritis nak, sejak kecelakaan itu beliau koma dan dinyatakan kritis. Sampai hari ini pun belum ada perkembangan yang berarti. Doakan saja ya sayang, semoga cepat sadar dan pulih dari koma."

Tio tercengang mendengar ucapan sang mamah, orang yang menyelamatkan nyawanya hingga tak memikirkan nyawanya sendiri kini masih koma bahkan belum keluar dari masa kritisnya. Pria itu memejamkan mata, bayangan saat menghadiri pernikahan Sella dan kecelakaan yang ia alami begitu jelas di ingatan. Ada rasa penyesalan dan rasa bersalah yang begitu mendominasi di hati.

"Mah, tolong antarkan aku ke ruangannya. Aku mau menjenguk dan mengucapkan terimakasih."

Tio di antar oleh sang mamah ke ruangan Pak Bima yang berada beda lantai dari ruangannya. Masuk kedalam kamar yang hanya memperlihatkan seorang pria paruh baya seumuran sang Papah. Tio menatap ruangan itu mencari keluarga yang bisa ia temui untuk meminta maaf dan berterima kasih tetapi tak ada siapapun di sana.

"Nggak ada yang nungguin sama sekali, makin nyesek aja gue lihatnya."

Tio menatap nanar orang tersebut, rasa bersalah semakin mendalam. Hatinya yang memang sedang patah sebelum kejadian itu semakin tertekan dengan rasa penyesalan dan bersalah.

"Om, maafkan aku. Kerena aku om terbaring lemah di sini. Aku nggak nyangka jika masih ada orang yang mau berkorban untuk menyelamatkan orang lain. Om, makasih sudah menjadi penyelamat untukku. Aku berhutang nyawa pada Om," lirih Tio dengan wajah sendu.

Tio menoleh ke belakang tepat sang mamah berdiri memperhatikan. Kemudian kembali menatap pria yang masih memejamkan matanya. Tapi Tio yakin ia mendengarkan ucapannya.

"Andai orang tua gue yang menjadi korban seperti ini, gue sebagai anak pasti nggak terima. Tapi kemana anak-anaknya? apa beliau nggak punya sanak saudara?"

Setelah memastikan Regan tertidur pulas, Ceri mengambil sweater, tas dan kunci mobil untuk segera kembali ke rumah sakit. Tak perduli jika hari sudah malam dan nanti akan kembali sebelum subuh berkumandang.

"Non, mau kemana?" tanya Bibi saat melihat Ceri turun dari tangga dengan menenteng tasnya.

"Bi, aku titip Regan ya. Aku mau ke rumah sakit. Nanti aku tidur di sana Bi, kasian Papah sendirian."

"Tapi ini sudah malam non, apa nggak sebaiknya besok pagi saja setelah mengantar tuan muda berangkat sekolah?"

"Nggak Bi, nanti aku malah nggak bisa tidur. Bibi tenang aja ya. Aku baik-baik saja."

Ceri mengendarai mobilnya sendiri di tengah malam tanpa sopir yang mengantar. Tak perduli gerimis mengguyur, dia ingin menemani Papah. Sedikit berlari saat memasuki lobby rumah sakit.

"Bu, hati-hati!" ucap scurity yang menjaga pintu masuk.

"Makasih pak, saya nggak bawa payung soalnya. Mari saya masuk dulu."

"Iya Bu." Scurity menatap iba. "Kasian banget malem-malem datang sendirian, mana lagi hamil lagi. Lakinya nggak waras nich!"

Masuk ke kamar Pak Bima masih dengan keadaan yang sama, posisi yang sama, dan situasi yang sama. Belum ada perubahan sama sekali. Papah yang biasanya giat bekerja, kini terbaring tak berdaya. Beruntung ada asisten Papah yang menghandle perusahaan. Setidaknya Ceri tidak harus terjun langsung untuk menggantikan Papahnya.

"Pah, maaf Ceri baru sampai. Bagaimana kondisi Papah? Ceri rindu Pah, Regan juga menanyakan keberadaan Papah. Cepat sadar ya Pah, Ceri nggak bisa tanpa Papah." Ceri duduk di samping ranjang Pak Bima, tangannya menggenggam dan bersandar lengan sang Papah dengan air mata yang kembali terurai.

Ceri tertidur tanpa memikirkan tubuhnya yang akan sakit dengan posisi terduduk. Dia tak ingin berjauhan dengan sang Papah, ntah apa yang ia pikirkan. Tapi hatinya, seakan trauma akan kehilangan. Wanita cantik dengan mata lentik dan lesung pipi itu merasa lemah saat harus kembali ke rumah sakit, dua orang yang ia cinta berakhir di sana. Dan kini Papah, satu-satunya orang tua yang ia miliki harus kritis di rumah sakit.

"Pah, aku pulang ya. Aku antar Regan ke sekolah dulu. Nanti setelah itu aku kembali kesini, Papah cepat pulih ya. Agar kita bisa sama-sama lagi." Ceri mengecup kening sang Papah sebelum akhirnya pulang untuk mengurus anak laki-lakinya.

"Eugh badan aku..." keluhnya saat sudah berada di dalam mobil. Tidur tiga jam dengan posisi terduduk membuat tubuhnya sakit semua. Dan selama satu Minggu ini menjadi kebiasaannya.

"Sehat ya nak, kuat di dalam sana. Opa lagi butuh perhatian kita, Abang Regan juga nggak bisa di tinggal. Dan dedek harus kuat sama mamah." Ceri mengusap lembut perutnya, sedikit tendangan yang membuat dirinya tersenyum.

"Abang, nak ayo bangun. Kita siap-siap berangkat ke sekolah. Mamah udah beliin kue cubit kesukaan Regan, nanti buat sarapan ya sayang."

"Opa mana mah? Legan nggak liat Opa dali kemalin. Opa pelgi nggak pulang-pulang kayak Papah ya mah?" rengek Regan membuat hati Ceri ingin menjerit. Sekuat tenaga ia menahan air mata, mencoba memberi pengertian pada sang anak.

"Sayang, Opa sedang tugas di luar kota. Nanti Opa pasti pulang, Regan doain ya supaya pekerjaannya cepat selesai."

Setelah mengantarkan Regan ke sekolah, seperti biasa Ceri menuju rumah sakit. Kegiatan yang akan menjadi rutinitas untuk nya saat ini dan berharap akan segera berakhir. Sebelum masuk ke ruangan Papah ia menyempatkan diri untuk mampir ke kantin karena tadi di rumah belum sempat sarapan.

"Nak Ceri!"

Ceri menoleh ke sumber suara, "Om..."

"Iya, baru sampai?" tanyanya lagi.

"Iya Om, mau beli makanan dulu sebelum ke kamar Papah. Om.."

"Panggil saya Om Juna, nama saya Arjuna Weda."

"Oh...iya Om Juna, om sedang apa?" tanya Ceri yang tidak melihat tentengan apa-apa di tangan Pak Juna.

"Saya lagi pesan soto, anak saya minta makan soto." Keduanya duduk di meja yang sama menunggu pesanan datang.

"Anak om sudah sadar?"

"Iya, dua hari yang lalu dan besok sudah boleh pulang. Lukanya nggak parah, hanya benturan di kepala yang cukup keras membuat ia sempat tak sadarkan diri seminggu lamanya. Nak Ceri, kemarin anak saya datang ke kamar Papah kamu tapi kamunya nggak ada. Sama halnya dengan saya, dia juga ingin meminta maaf dan mengucapkan terimakasih."

"Oh, mungkin saya pulang Om. Salam saja pada anak om dan ucapkan jika saya sudah memaafkan," ucap Ceri tulus.

"Makasih ya nak, nanti om sampaikan."

Terpopuler

Comments

Naura Kamila

Naura Kamila

🥺🥺🥺🥺

2023-06-27

0

Neulis Saja

Neulis Saja

can Tio be cery's soulmate ?

2023-02-08

2

Nani Rodiah

Nani Rodiah

lanjuut thoor💪💪💪

2023-01-02

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!